Mami Rose

Ken Hanggara
Chapter #5

Masa Lalu Setangkai Mawar

Di mataku sebagai wanita yang cukup lama menggeluti dunia malam, Ali Subeni adalah gambaran lelaki yang paling umum. Hanya peristiwa-peristiwa besar saja yang akan meredamnya, seperti kecelakaan yang mengakibatkan luka-luka parah, dihajar pria lain yang lebih kuat, atau diringkus polisi. Dan, hal yang benar-benar menghentikannya cuma satu: kematian.

Aku belum akan berbicara tentang Ali Subeni. Aku hanya mau menyebutkan jika orang sepertinya terlalu banyak kujumpai dalam hidup. Bagaimana tidak begitu? Sejak muda aku merelakan diri pada dunia malam. Tentu aku tidak serta merta memilih jalan itu. Tadinya aku hanya gadis desa yang begitu lugu dan polos. Begitu tak mengerti seluk beluk dosa. Aku hanya tahu andai suatu waktu ada seorang pemuda datang baik-baik menemui orang tuaku untuk melamarku, maka artinya hidupku akan bahagia.

Suatu hari seorang pemuda datang ke rumahku. Namanya sebut saja Sapono. Ia bekerja di pabrik besar di luar kota. Tidak ada warga dusun yang tak tahu siapa Sapono. Tentang bagaimana bagusnya pekerjaan lelaki itu, warga desa tahu belaka, bahkan tak ayal bisik-bisik pujian untukku kudengar karena parasku menarik hati orang yang cukup disegani. Maka, orang tuaku tak perlu berpikir lama. Mereka langsung setuju. Lamaran Sapono diterima.

Sebenarnya, Sapono bukanlah yang pertama datang untuk meminangku. Entahlah tak terhitung berapa lelaki yang berminat padaku, tapi kebanyakan dari mereka hanyalah para lelaki yang tak lurus hidupnya. Terkadang, kalaupun mereka pria baik-baik, mereka juga sama susahnya dengan keluargaku. Sapono adalah pilihan terbaik yang datang dan tak perlu lama bagiku dan keluarga untuk menerimanya.

Kami menikah sebulan setelah Sapono datang melamarku. Sebuah pernikahan yang tak terlalu mewah, karena di desa kami kemewahan adalah barang langka. Namun, aku bahagia. Hatiku berbunga-bunga melihat lelaki itu duduk di sampingku, di pelaminan, tersenyum gagah seolah senyum itu janji pasti untuk surga yang akan kami tempati hanya untuk berdua saja. Surga yang menjanjikan rasa nyaman dan aman.

Namun, harapan tinggallah harapan. Sapono menunjukkan belangnya tak lama usai kami menikah. Ia mudah sekali tersulut amarah. Suatu keteledoran yang sangat sepele, akan membuat tangan kekarnya melayang, menghantamku telak. Tak terhitung pukulan mendarat di wajah atau tubuhku. Tak terhitung berapa kali nyawaku nyaris amblas usai menjadi sasaran amukannya.

"Wanita bodoh! Tak berguna!"

"Ampun, Mas! Ampun!" Aku tak pernah melawan tentu saja. Aku tak berani. Dan tak bisa melawan. Dan tak mau melawan.

"Kenapa kau begitu bodoh?! Kau selalu membuatku marah!"

"Ampun, Mas! Ampun!" Namun aku percaya suatu hari nanti, entah kapan, Sapono mungkin akan berubah. Aku percaya ia mencintaiku dan amarahnya ini hanyalah sesaat meski setiap hari ada saja sesuatu yang membuatnya naik pitam.

"Kau tak becus jadi istri! Bagaimana bisa orang tuamu membesarkan gadis bodoh seperti kau ini, hah?!"

"Ampun, Mas! Ampun!" Aku hanya terus menjaga kepercayaanku. Aku tetap yakin sosok ganas bertangan besi itu bukan sosok asli Sapono. Kelak sosok asli yang lembut dan penuh cinta itu akan muncul, dan mungkin, mungkin, aku hanya perlu terus bersabar. Maka, balasanku atas kekerasan yang terjadi hanya cinta dan kesabaranku yang semakin meluap-luap.

Ya, cinta. Atas dasar itu, aku membawa keyakinan yang sebegitu besar bahwa pria yang menjadi suamiku itu akan berubah pada saatnya nanti. Dan, entah bagaimana, aku berpikir, "Mungkin ia begini karena aku tak kunjung hamil."

Lihat selengkapnya