Mami Rose

Ken Hanggara
Chapter #6

Sebelum Primadona

Jakarta, 1964.

Aku tak ingat betul tanggal berapa untuk kali pertama kuinjakkan kakiku di ibukota, tapi tahun itu tak mungkin kulupa. Aku datang tanpa berbekal apa-apa selain segenggam harapan. Kubawa harapan itu setiap kali kusinggahi tempat-tempat untuk melamar kerja.

"Tolong beri saya pekerjaan apa pun. Saya akan lakukan itu dengan bayaran berapa pun," pintaku seraya membuka telapak tangan, memamerkan segenggam harapan yang kubawa dari kampung.

"Maaf, Mbak. Di sini tidak ada pekerjaan," kata orang-orang itu, selalu.

Aku singgah ke toko-toko baju, ke rumah makan, ke warung-warung pinggir jalan, ke mana pun kiranya tempat yang sudi menampung untuk memberiku pekerjaan, namun orang-orang itu selalu berpaling saat kutunjukkan segenggam harapanku.

Entah apa yang mereka lihat di telapak tanganku. Barangkali mereka tidak melihat apa-apa. Barangkali mereka melihat sesuatu yang buruk. Tapi, aku selalu pergi tanpa membawa hasil apa-apa. Maksudku, aku pergi untuk tidur di bawah langit malam, di sembarang tempat, di Jakarta yang tak sudi menyambut.

Itulah yang terjadi selama berhari-hari.

Suatu siang aku dengan putus asa menghampiri sebuah warung soto. Aku tidak lagi menggenggam harapan. 'Benda' itu telah kusingkirkan tanpa sadar, entah jatuh ke mana dan aku sudah tidak peduli lagi. Dengan sisa uang receh di kantungku, kumohon pemilik warung itu agar sedia memberiku sedikit makanan.

"Rumahnya di mana, Dik?"

"Jombang, Bu," kataku, dengan lesu.

"Oh, saya juga dari Jombang! Kok jauh sekali ke sini? Mari, mari, silakan duduk! Saya ambilkan makannya, ya!"

Aku hanya mengangguk. Kusodorkan keping-keping receh terakhirku di atas meja warungnya. "Saya hanya bisa bayar segini, Bu. Tolong beri seadanya, yang penting saya bisa makan."

"Wah, tak usah dipikirkan itu, Dik!" sahut si pemilik warung sembari mengambil piring dan mencidukkan nasi yang masih tampak panas. Kepulan uap dari wadah nasi itu terlihat seperti sebuah harapan dalam wujud baru.

Aku tak menyahut karena tubuhku terlalu lelah. Aku makan semangkuk soto yang orang itu sajikan tanpa ia mengambil uang recehanku. Selesai aku makan, meluncurlah pertanyaan-pertanyaan dari bibir wanita paruh baya itu.

"Memangnya ada perlu apa ke Jakarta, sih? Kok kayaknya Adik tersesat begini?"

"Saya mau cari kerja, Bu."

"Oalah, oalah. Begitu ternyata."

"Iya, Bu. Buat anak saya yang masih bayi. Saya sudah cerai," kataku.

"Dan Adik sudah cari kerja ke mana-mana di Jakarta, tapi belum dapat?"

"Benar, Bu."

Wanita paruh baya itu memandangku sesaat dengan penuh perhatian. Lalu, ia hela napas panjangnya sebelum berujar, "Kalau begitu kerja di saya saja bagaimana? Warung ini kebetulan ramai, Dik. Dan suami saya belakangan ini lagi sakit, jadi tidak bisa bantu saya. Yah, itu kalau Adik bersedia."

"Wah, yang benar, Bu?!" Aku seketika seperti mendapat suntikan daya hidup yang besar dan luar biasa.

"Benar. Apa Adik mau kerja di sini? Bantu-bantu di warung saya ini?"

"Mau, Bu! Mau!"

Lihat selengkapnya