Tidak penting siapa nama saya yang sebenarnya. Panggil saja saya Rudi. Saya mengenalnya di sudut remang itu di tahun kedua kedatangan saya ke ibukota untuk urusan bisnis. Ia duduk sendirian. Saya hampiri gadis itu, lantas saya ajak mengobrol. Ia begitu hangat dan ceria. Saya tidak bisa berpikir kalau ia memiliki masalah-masalah berat dalam hidupnya. Pastilah ia tak memiliki kecemasan apa-apa. Dan, barangkali juga ia menikmati peran hidupnya di kota ini. Lagi pula, ia masih sangat muda.
"Nama saya Mawar, Om." Itulah yang ia ucapkan saat saya dekati. Saya duduk di sampingnya dengan wajah lelah sehabis mengurus bisnis hari itu.
"Nama saya Rudi." Itulah yang saya ucapkan sambil berharap malam itu ia berhasil menghalau kesepian yang mencengkram kepala saya hingga bikin saya hampir gila.
Kami bicara ngalor-ngidul tentang hal-hal yang saya kerjakan di Jakarta. Karena ia terlihat begitu berminat mendengar seluruh cerita, saya pun seolah sebuah mulut kran yang terus mengucurkan air. Saya lekas menjadi sebuah buku yang terbuka. Saya sontak mengempaskan seluruh kartu yang saya simpan.
Semua itu bukan hanya tentang pekerjaan yang bikin otak seperti diremas-remas. Tapi juga tentang istri yang tak pernah bisa memberi saya kedamaian. Ya, saya tak ragu menceritakan perihal itu. Seluruh rahasia saya bahkan rela saya sodorkan untuk Mawar sebab saya tahu, begitu saya melihatnya dari dekat, saya akan dipuaskannya lahir hingga batin olehnya. Alhasil, semua rahasia tumpah hanya untuknya.
"Memangnya istrinya Om tidak marah? Jam segini belum pulang. Katanya, istrinya suka mengomel?" tanya Mawar.
"Oh, jangan khawatir! Satu keberuntungan saya kali ini adalah dia dan anak saya sudah balik ke Palembang!" jawab saya dengan mantap.
"Hm, begitu."
"Nah, karena semua sudah saya ceritakan, bagaimana kalau sekarang giliran kamu, Mawar?"
Tentu saja Mawar juga bercerita banyak malam itu. Tentang bagaimana ia akhirnya bekerja di kelab malam ini sebagai salah satu gadis penghibur. Semua itu terjadi di luar perkiraannya.
"Saya terpaksa harus merantau karena di kampung keadaan sedang susah. Semoga saja Om Rudi tidak menjauh, ya."
"Kenapa harus menjauh?"
"Saya sudah punya anak. Masih kecil, sih. Bulan depan umurnya empat tahun."
Saya tertawa mendengar itu. Saya bilang kalau saya telah bertemu beberapa wanita seperti Mawar yang memiliki anak dan itu bukan masalah. Lagi pula, apa yang terjadi di kelab malam ini, biarlah tetap tertinggal di sini. Bukankah seperti itu aturan mainnya?