Aku meyakini tak ada cinta di dunia ini, kecuali cinta seorang ibu untuk anak-anaknya. Namun, aku tahu bagaimana membalas perbuatan baik seseorang. Ya, itulah yang kulakukan; membalas perbuatan baik Om Rudi kepadaku. Ia memintaku menjadi istrinya, maka aku melakoni peranku dengan sangat baik.
Aku menjadi istri yang ia harapkan. Aku menerima cintanya yang meluap-luap dan aku balas itu dengan meluangkan seluruh waktuku untuknya. Maka, setelah sekian tahun dunia malam kuakrabi, kali ini giliran kehidupan rumah tangga yang kujalani. Dan aku baik-baik saja. Om Rudi menjamin kehidupanku seutuhnya. Segala kebutuhanku selalu dicukupinya, bahkan sering kali melebihi yang seharusnya. Uang yang kukirim untuk anakku, Aris, juga tak pernah telat ia sediakan.
Kami menikah tanpa sepengetahuan siapa-siapa, kecuali beberapa anak buah Om Rudi. Kedua orang tuaku juga belum tahu. Aku masih harus memikirkan sebuah jalan cerita tentang gadis kampung yang terjebak di belantara Jakarta, lalu menemukan pria yang usianya lebih tua seperempat abad dariku.
Cerita itu harus terdengar meyakinkan di telinga Ayah dan Ibu, karena akan lebih sulit menjelaskan ke mereka soal kehidupanku sebagai kupu-kupu malam. Ya, selama nyaris empat tahun aku bekerja di kelab malam Om Suyadi, ayah dan ibuku tak pernah tahu sepak terjangku. Mereka hanya tahu kalau aku bekerja apa saja yang aku bisa di Jakarta.
Dan, yah, kiriman uang rutin setiap bulan untuk Aris pun juga tampak sewajarnya, tidak berlebihan, karena aku harus membaginya untuk merawat diriku agar para tamuku selalu bahagia ketika kulayani.
Setelah Om Rudi menikahiku, uang berlebih yang kukirim untuk Aris harus punya penjelasan. Mau tak mau, pernikahan ini harus segera kukabarkan pada orang tuaku.
Setelah dua bulan lamanya memikirkan 'cerita' dan mempertimbangkan bagaimana mengatakan situasi terbaruku ke kedua orang tuaku, akhirnya aku menulis surat untuk mereka. Aku bilang kalau bosku selama ini ternyata menyukaiku dan ingin menikahiku. Aku tak perlu berpikir lama, karena ia bos yang sangat baik dan menjamin kehidupanku.
"Sekarang kami tinggal di rumah baru yang lebih besar dan lebih bagus dari kamar kosku sebelumnya," tulisku dalam surat itu. "Ayah dan Ibu jangan khawatir. Di sini semua baik-baik saja. Malah semakin membaik. Aku pulang kampung minggu depan, menengok Aris, lalu mungkin Aris akan kubawa ke Jakarta."
Om Rudi-lah yang sejak awal mengusulkan itu, bahwa sebaiknya Aris dibawa saja ke sini, supaya aku bisa membesarkannya langsung dengan kasih sayangku sebagai ibu. Aku tak bisa lebih bahagia dari itu.
Begitulah.
Aris kuboyong ke Jakarta bersama harapan baru bahwa semua akan baik-baik saja. Om Rudi orang yang sangat kaya. Bisnisnya berjalan sangat lancar. Uangnya seakan tak mungkin habis. Selalu saja ada yang ia bawa pulang untuk memberiku dan Aris hadiah-hadiah. Kendaraan baru disediakan untuk kami sebulan usai anakku pindah kemari. Aku, yang tadinya tak meyakini ada cinta di dunia ini kecuali cinta ibu pada anak-anaknya, mulai merasa goyah. Bahwa nyatanya memang ada jenis cinta lain selain cinta ibu pada anak-anaknya.