Ayah dan ibuku tidak tahu rumah seperti apa yang mereka mau. Maka, ketika niat itu terlaksana, akulah yang menentukan pilihan. Om Rudi membayar seorang kenalan untuk 'menggambarkan' rumah tersebut sesuai keinginanku. Aku mau rumah itu terlihat modern dan berbeda dari rumah pada umumnya.
Namun, tentunya karena Om Rudi juga sibuk mengurus pekerjaannya, aku sendiri yang harus pulang ke Jombang untuk memastikan proses pembangunan berjalan lancar. Tukang-tukang yang dipekerjakan adalah kenalan Ayah yang bisa dipercaya dan sangat berpengalaman. Jadi hanya perlu sedikit arahan, mereka tahu apa yang mestinya mereka kerjakan.
"Suamimu itu orang kaya, Sih? Ibu tidak menyangka tahu-tahu dibelikan tanah dan dibuatkan rumah!" sambut ibuku dengan senang dan bangga begitu aku tiba di kampung.
"Iya, Bu. Bisnisnya lancar."
"Syukurlah!"
"Ini bayiku, Bu. Namanya Mirna."
"Wah, Mirna? Mukanya mirip kamu, Asih!"
Ayah dan ibuku tampak bahagia selama aku berada di Jombang sebulan penuh. Ya, tentu proses pembangunan itu akan berjalan lebih dari sebulan. Namun, setelah melihat cara kerja dan bagaimana berpengalamannya para tukang itu, aku percaya mereka tidak akan mengecewakan. Seorang tetangga yang juga masih kerabat, kumintai tolong untuk memantau para tukang itu bekerja setelah nanti aku balik ke Jakarta.
"Nanti kuberi bayaran. Jangan pikirkan itu," kataku.
"Wah, beres! Pasti akan kuawasi pekerjaan mereka."
"Kalau ada apa-apa, telepon saja ke Jakarta," kataku lagi, nyaris lupa kalau seluruh rumah di lingkungan dusunku itu belum ada satu pun yang memiliki pesawat telepon, kecuali Pak Lurah.
"Eh, bagaimana bisa telepon? Di sini yang punya telepon cuma Pak Lurah, Asih," sahut kerabatku.
"Ah, iya. Ya, mungkin nanti kamu bisa tulis surat saja. Kalau semua lancar, tidak perlu beri kabar. Bulan depannya lagi aku balik ke sini, kok."
Namun tetap saja kerabatku itu menghubungi nomor telepon rumah yang sempat aku sodorkan padanya.
"Semua lancar, Sih," ujarnya di seberang sambungan telepon.