Tentu saja tidak secepat itu aku tahu dustanya. Om Rudi terkadang menyempatkan diri untuk lebih sering berada di rumah kami ketimbang rumah sebelumnya. Ia bercerita bahwa jika ia punya waktu luang, ia akan lebih senang bersama kami.
"Aku ingin kapan-kapan pergi ke tempat kerjamu," kataku.
"Kamu tak akan betah. Itu dekat pelabuhan dan hawanya sangat panas."
"Yah, ada kipas angin di ruanganmu, bukan? Tenang saja aku terbiasa hidup susah dari kecil. Udara panas Jakarta Utara tak akan membuatku kesusahan," ucapku, ngeyel.
"Mirna lain lagi, Sayang. Dia pasti rewel kalau harus pergi ke sana. Percayalah tak ada apa-apa di kantorku selain para bawahan yang tak sedap dipandang, tempat yang panas dan juga bau. Lebih baik aku menemuimu di sini saja. Buat apa rumah ini kalau bukan untuk berkumpul?"
Aku tak bisa membantah itu, tapi aku penasaran suasana tempat kerja suamiku. Tak lebih dari itu. Aku hanya ingin tahu. Tak lebih dari itu. Mungkin Om Rudi memang tahu kalau aku dan Mirna tak akan betah di situ. Mungkin memang itu alasan sesungguhnya. Entahlah. Seiring waktu berlalu, aku merasa ada yang ditutupi. Aku merasa tidak semua yang Om Rudi katakan itu jujur.
Hanya saja aku tak mungkin mencecar suamiku. Aku tak punya bukti. Dan aku tak bisa membuktikan pikiran buruk apa pun. Ia juga tak mungkin selingkuh. Ia masih amat memujaku serta menggilaiku; aku tahu itu. Oh, ya, sangat tahu itu, sebab dalam setiap kebersamaan kami, ketika ia menggauliku sebagai istrinya di malam-malam yang terasa penuh makna saking jarangnya ia pulang, ia masih menjadi lelaki tak berdaya yang dimabuk kepayang.
Lalu, apa semua ini? Kenapa aku berpikir yang tidak-tidak tentang suamiku?
"Apa kamu benar sudah menceraikan wanita itu?" Pertanyaan inilah yang mau tak mau menggema di kepalaku, tanpa henti, nyaris terasa seperti sebuah musik yang terus-menerus diputar tanpa henti, dan musik itu mengandung dentuman genderang yang begitu mengganggu dan tak nyaman. Irama dan temponya serasa digubah hanya untuk bikin pecah gendang telinga.
Namun, serusuh apa pun kegaduhan pertanyaan itu dalam kepala, sekacau apa pun 'musik' berisik yang mengiringinya, aku membiarkan setiap kata yang mampu menyusun kalimat itu tetap bergumul di belakang bibir dan pangkal lidahku. Aku tak melontarkan pertanyaan macam itu. Sebab, ada bagian dari diriku yang percaya suamiku tak mungkin berdusta.
"Kalau saja aku sibuk, aku janji akan mengganti waktumu yang berlalu tanpaku dengan hadiah-hadiah atau apa pun yang kamu inginkan," ucap Om Rudi suatu kali, di hari ulang tahun pertama putri kami.
"Aku mau mampir ke tempat kerjamu," balasku, tanpa ragu.
Om Rudi menyerah. Akhirnya setelah berbulan-bulan membujuknya agar ia sudi membawaku ke tempat kerjanya, aku injakkan kaki juga di tempat itu.