Mami Rose

Ken Hanggara
Chapter #13

Lembaran Baru

Mawar kembali ke kampungnya sebagai setangkai bunga yang layu. Tak ayal tiap mata yang memandangnya bertanya-tanya dalam hati tentang lelaki kaya raya nan baik hati itu? Bagaimana mungkin lelaki itu membiarkannya layu? Apa yang terjadi? Kenapa Mawar kembali sebagai setangkai layu, sedangkan lelaki itu tak ikut kemari sesuai apa yang selalu orang-orang harapkan?

"Ayah dan Ibu tak perlu berharap bertemu lelaki itu lagi," kata Mawar. "Sebab kini kami sudah berpisah."

"Berpisah?"

"Iya, Pak, Bu. Sudah cerai," kata Mawar dengan datar, nyaris tanpa emosi dan tak ada titik air mata, meski jauh di dalam hatinya, ia masih lumat oleh kekecewaan.

Ayah dan ibunya tak pernah melihat Mawar seterpuruk itu. Maka mereka mengerti bahwa mempertanyakan kejadian yang sebenarnya hanya akan bikin anak mereka makin terpuruk. Jadi berhari-hari, berminggu-minggu usai Mawar pulang bersama Mirna yang masih berumur dua tahun, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dan, orang-orang hanya dapat menduga, menebak-nebak, tetapi itu pun tak pernah menghasilkan konklusi yang memuaskan karena semua jalan cerita yang mereka yakini hanya terjadi dalam khayalan mereka. Seperti misalnya, bahwa suami Mawar mungkin telah bertindak kasar, memukuli wanita itu, memaksa Mawar pergi agar tidak melukai atau mencelakai anaknya. Atau, bahwa suami Mawar mungkin sering pergi ke tempat-tempat hiburan malam, karena orang banyak harta begitu bisa saja melakukan itu. Dan, yang paling ekstrem, ada yang sampai mengira suami Mawar meninggal tetapi Mawar sudah tak peduli dan membiarkan seluruh harta peninggalan sang suami tetap di Jakarta, sebab keluarga suaminyalah yang mengurus pemakaman itu dan mungkin Mawar sudah goyah imannya, serta menjadi terganggu kejiwaannya.

"Coba saja lihat. Dia tak bicara sama sekali sejak pulang," bisik seseorang di antara para penggosip.

"Kalau memang Asih gila, kenapa bisa pulang ke sini? Bawa anaknya yang sekecil itu pula! Kok tidak tersesat di jalan?" protes salah satu yang hadir.

"Iya juga."

"Kalau Asih terganggu jiwanya, harusnya dia sudah berkeliaran di jalanan, bukan?"

"Iya juga."

Lihat selengkapnya