Jodoh dan takdirnya itu ada dalam secangkir jahe hangat yang tumpah. Secangkir minuman bisa tumpah kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun. Mawar tak pernah mengira dia akan terlibat, bahkan menjadi pelaku utama, atas tumpahnya secangkir jahe hangat milik orang lain.
Saat itu, saking peliknya pikiran, Mawar berjalan tanpa melihat apa yang harusnya matanya sanggup lihat. Ia hanya melihat gambaran masa depan yang buram dan suram di depannya. Seperti hamparan padang pasir yang tanpa batas, sejauh mata memandang, meskipun katakanlah di momen itu ia harusnya melihat jalanan kampungnya yang amat asri dan sederhana.
Dalam detik-detik itu, Mawar terus melihat gambaran suram masa depan. Entahlah berapa kali ia bertemu muka dengan tetangganya yang berjalan kaki berlawanan arah; ia tak menyahut, tak sadar, walau disapa. Para tetangga ini tentulah cukup tahu diri untuk tak melontarkan dugaan-dugaan bahwa Mawar mungkin memang sudah sinting melalui bibir yang bersuara; mereka hanya memendamnya dalam hati dan merasa iba.
Mawar tak tahu pikiran orang-orang yang berpapasan dengannya itu. Kalaupun ia tahu mereka tadi melihatnya dengan cara yang berbeda, ia juga tak peduli. Mawar hanya terus melihat kelebat-kelebat adegan dari masa depan yang entah dikirim Tuhan melalui tangan para malaikat untuk memberinya peringatan, atau itu cuma tipuan setan-setan. Mawar tak yakin dan tak ambil pusing, tapi ia sangat ketakutan. Semua itu seperti film-film bisu tanpa warna yang begitu jelas dan nyata seolah Mawar mampu menjulurkan tangannya untuk memegang objek apa pun di dalamnya jika ia mau. Hanya ketakutanlah yang mencegahnya melakukan itu.
Ya, Mawar sangat ketakutan. Semakin banyak adegan-adegan itu muncul, semakin liar dan mengerikan rasanya.
"Bagaimana kalau 'itu' terjadi padaku dan anak-anakku?" pikir Mawar saat dalam salah satu adegan itu ia melihat kedua anaknya mengemis di pinggir jalan, lalu ia sendiri terlihat memanggul karung berisi sampah di jalan masuk sebuah pasar.
"Bagaimana kalau ternyata 'itu' yang terjadi kelak?!" pikir Mawar, lebih ketakutan saat melihat seolah-olah kedua anaknya tampak berbaring lemah di atas tikar di sebuah gubuk terbengkalai. Dan, dalam penglihatannya itu, Aris dan Mirna terlihat sangat kurus dan kurang gizi. Sampai-sampai kedua bocah itu seolah diciptakan Tuhan dengan bahan hanya kulit dan tulang-belulang tanpa daging.
"Bagaimana kalau anak-anakku ternyata 'begini'?!" pikir Mawar seraya menangis dalam hati saat melihat anak-anaknya kabur entah ke mana karena mereka tak merasa ia bisa menjadi ibu yang baik. Di penglihatan yang ini, ia melihat anak-anaknya pergi ke pelukan wanita lain yang tak dikenal, yang kaya raya, berlimpah uang dan masa depan cerah; sementara ia hanya terpuruk di tepi jalan, menatap tak berdaya ketika wanita yang tak terlihat wajahnya itu membawa kedua anaknya pergi dengan mobil mewah.
"Aku tak mau! Tuhan, bagaimana caranya agar aku bisa menjadi ibu yang memiliki masa depan!"
Tepat ketika itulah, melalui segala kelebat adegan-adegan dalam kepalanya, ia tak sengaja menabrak seseorang. Bunyi cangkir pecah lantaran menghantam sebongkah batu, membuat seluruh film hitam putih tadi lenyap seolah bioskop di dalam kepala Mawar mendadak digondol setan!
Pyar!
"Wah!" Si lelaki pemilik cangkir, yang ditabrak Mawar, terkejut. Ia menoleh ke balik punggungnya, di mana Mawar berdiri gugup dan tak kalah kaget.