"Hanya lelaki bodoh yang tak pernah tertarik melihat Sumiarsih!"
Kalimat sindiran macam itu cukup kenyang saya telan sejak beberapa tahun silam, persis ketika para pemuda seumuran saya berbaris pulang dengan hati dan perasaan yang tercabik-cabik oleh penolakan gadis kembang desa bernama Sumiarsih itu. Seolah-olah para pemuda itu habis pulang berperang melawan pasukan Jepang. Seakan-akan usaha itu satu-satunya pembuktian bagi kaum Adam bahwa mereka lelaki sejati, dan jika tidak berbuat maka patutlah dipertanyakan kejantanannya.
Nama saya Yanto. Saya cuma lelaki biasa. Dan, inilah sedikit cerita tentang saya dan Asih.
Mendengar sindiran dan ledekan macam itu, saya hanya diam dan tertawa dengan santai. Setiap pemuda memang pergi 'berperang' untuk Sumiarsih, kecuali saya. Dicap bodoh atau payah bukanlah akhir dari segalanya. Saya hanya punya kesadaran bahwa saya tak pantas untuk gadis secantik itu. Dengan pekerjaan serabutan dan keuangan yang serba sulit, akan sangat tidak adil bagi Sumiarsih untuk membina rumah tangga bersama lelaki macam saya. Orang yang pantas melakoni peran sebagai suaminya tidak lain hanyalah Sapono.
Oh, ya, jelas. Sapono memiliki pekerjaan yang cukup mapan. Ia belum sekaya Pak Lurah, tapi pekerjaannya cukup menyilaukan bagi mata kami, para pemuda desa itu, dan apabila sistem kasta diberlakukan, saya yakin kedudukan Sapono setara dengan mereka yang berhasil mendaftarkan diri menjadi aparat negara.
Sementara saya sendiri apa? Saya tak lebih cuma lelaki sederhana, buruh serabutan, yang bekerja apa saja semampunya, jika memang dibutuhkan. Kadang saya berkebun di tanah orang, kadang menggarap sawah milik juragan desa sebelah bersama paman saya, kadang pergi ke Surabaya atau Malang bersama orang-orang lain dengan menumpang bak truk untuk mengerjakan rumah milik pengusaha berduit. Apa pun pekerjaan dengan upah kecil saya bisa lakoni. Dan, semua itu, saya kira tak akan bisa mencukupi segala kebutuhan gadis seindah Sumiarsih.