Sejak kejadian pagi itu, Yanto dan Mawar cukup sering bertemu. Mereka bukanlah sengaja bertemu. Persisnya mereka tidak mau terlihat dengan sengaja bertemu, apalagi sampai membuat janji temu pada pukul berapa, di mana, serta hari apa. Mereka hanya menjebakkan diri ke peluang-peluang yang seolah tanpa sengaja untuk dapat bertemu, lagi dan lagi. Ya, mereka mendamba pertemuan-pertemuan singkat, tapi sama-sama tak mau terlihat mencolok. Tak ada kesepakatan. Hanya isi hati dan pikiran mereka sajalah yang kebetulan sejalan.
Seperti Yanto, misalnya, yang biasanya tak begitu sering duduk menikmati pagi di teras rumahnya. Sejak peristiwa tabrakan yang membuat cangkir jahenya jatuh, ia malah selalu menjadwalkan minum jahe setiap pagi di tempat yang sama. Juga posisi tubuhnya yang sengaja ia buat sama; membelakangi halaman rumahnya dan jalanan kampung dan terkadang berharap Mawar tiba-tiba menabraknya dari belakang, lantas mereka berdua memunguti beling dari cangkir jahe yang berserakan.
Mawar sendiri sengaja berjalan lagi melewati rute yang sama, meski ia tahu pada akhirnya, hingga ujung perjalanan itu, ia tak akan menemui pekerjaan yang ia butuhkan. Ia toh bisa bekerja apa saja, tapi mendadak perkara itu menjadi nomor dua; bisa ditunda sebab momen langka seperti ia menabrak lelaki dengan secangkir jahe tak akan terulang lagi dalam seratus tahun ke depan. Seolah hal itu jauh lebih genting untuk segera ia atasi; perasaannya yang aneh ketika duduk bersama Yanto dan menikmati jahe hangat.
Mawar tak mau menganggap itu cinta. Ia hanya merasa nyaman. Ia sempat seperti hilang arah usai kembali dari Jakarta. Dan, begitu Yanto mengajaknya duduk berdua dan minum jahe hangat, perasaan buruk itu perlahan seperti luruh, lenyap, mengalir entah ke mana, dan membuat hatinya seperti terlahir lagi sebagai pribadi yang baru.
Alhasil, Mawar ingin mendapati momen yang sama lagi; bahwa Yanto akan bilang, "Sedikit jahe akan bikin hati dan pikiran jadi lebih tenang, Asih."
Akan tetapi, bagaimana mungkin ia harus menabrak lelaki itu lagi? Membuatnya harus canggung lagi karena menjadi penyebab utama pecahnya cangkir jahe milik sang lelaki? Membereskan pecahan dan serpih beling dari cangkir itu dengan perasaan malu, canggung, dan entah apa lagi--begitu campur aduk yang ia rasa?
Mawar tetap berjalan kaki di rute yang sama, tapi di hari kedua itu ia tak memiliki film bisu hitam putih yang menghalangi pandangan matanya. Ia melihat dengan jernih segala sesuatu yang terhampar di depannya. Ia melihat sosok itu, lelaki itu, berdiri dari jarak yang masih terlalu jauh untuk membuat sang lelaki mendengar langkahnya, namun Mawar tahu-tahu sudah merasa berdebar saja jantungnya. Debar yang tak keruan sinting, seperti orang yang mau berjumpa tambatan hati.
"Apa mungkin ini yang disebut cinta?" pikir Mawar sambil terus berjalan, tak henti memangkas jarak antara ia dan punggung lelaki itu, tapi untuk mencapai ke sana saja ia harus berbelok, keluar dari jalan kampung.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
Demi Tuhan, menabrak Yanto lagi mungkin adalah satu-satunya cara agar mereka kembali bisa berdua lagi, meskipun dalam kebersamaan singkat itu tak ada obrolan dan hanya ada dua cangkir jahe hangat yang menjelma bahasa.
Dan, mungkin karena terlalu aneh bagi Yanto untuk tetap membelakangi halaman rumah dan jalan, lelaki itu akhirnya menoleh begitu mendengar langkah kaki seseorang di belakangnya.
"Asih?"
"Mas Yanto?"