Aku ingin menjadi bos. Itulah yang kukatakan. Tak ada sedikit pun keraguan akan hal itu. Aku tak perlu berpikir lama. Bagaimana semua mimpiku untuk memakmurkan keluargaku dapat tercapai kalau kami bekerja keras banting tulang hanya untuk sesuap nasi?
Tentu saja aku tidak langsung memikirkan itu sebagai jalan keluar. Tadinya aku sudah benar-benar lupa akan dunia malam, walau sempat kususuri kembali kisah lamaku hanya untuk kuperdengarkan ke Mas Yanto. Namun, suatu hari, ketika sedang bekerja di pasar, kudengar seorang penjual yang asyik menggunjing anak tetangganya.
"Bisa-bisanya anak gadis itu bekerja di tempat kotor!" ucap si penjual. Aku sedang mencuci piring kotor di warung yang persis bersebelahan dengan lapak sayurnya.
"Tempat kotor macam apa?" sahut penjual lainnya yang tengah sibuk melayani satu pembeli.
"Ya, tempat maksiat begitu! Tempat di mana dosa bersumber! Kamu pastilah tahu, bukan? Di Surabaya ada tempat seperti itu loh!"
"Oalah, di sebuah gang, bukan?"
"Ya!"
"Kamu serius?! Putrinya Pak Satuman bekerja di situ?!"
"Ya! Tidak salah lagi! Memangnya mau kerja apa dia di situ?! Jual makanan? Jadi tukang cuci piring? Omong kosong! Gadis secantik itu pastilah kerja jadi penghibur buat para lelaki bejat! Oalah, Gusti, sayang sekali kecantikannya sia-sia! Kasihan bapak dan ibunya sampai mereka sekarang sakit-sakitan setelah tahu kenyataan! Semoga saja anak cucuku tidak ada yang tersesat begitu!"
Aku terus menyimak obrolan itu. Entahlah siapa yang mereka sebut Pak Satuman itu. Aku juga tidak tahu siapa anak gadisnya yang jadi bahan gunjingan karena desa ini begitu luas dan tak semua orang aku kenal. Aku hanya tiba-tiba terseret lagi ke momen ketika aku merasa tak ada jalan keluar. Om Suyadi saat itu muncul, memberiku tawaran, dan aku menerima. Dan, mungkin seperti itu situasi gadis yang mereka bicarakan itu. Tak ada pilihan. Maka, jalan satu-satunya adalah menggunakan anugerah dari Tuhan. Begitulah aku dulu. Dan, mungkin, mungkin saja, begitu pula seharusnya aku sekarang.
Itu yang membuatku tak bisa tidur suatu malam, apalagi Mas Yanto menyodorkan gagasan bahwa kami mungkin akan berhasil jika merantau.
Merantau adalah mengadu nasib di kota. Ditambah pagi harinya aku dengar gosip tentang putri Pak Satuman, tibalah aku ke gagasan yang satu itu. Bahwa aku bisa terjun lagi ke dunia malam, ke jurang gelap yang sama, di mana anugerah Tuhan menjadi senjata paling ampuh untuk membasmi setiap masalah.
"Tapi, aku tak mau menjadi primadona seperti dulu," pikirku, resah. "Aku tak harus berkalang debu dan lumpur di dasar jurang! Bisakah begitu?"