Surabaya, 1975
Betapa terasa singkat waktu berlalu. Seolah baru kemarin lusa saja Mawar masih menyandang nama Sumiarsih dan pergi ke Jakarta berbekal nekat. Lalu kini, wanita itu, dengan julukan baru yang ia tentukan, pergi ke Surabaya berbekal keyakinan.
Mawar yakin ia tak akan terhalang apa pun, kecuali harus melakukan kompromi atau kesepakatan. Tentu tempat itu mungkin memiliki para preman sebagai penjaganya. Ia tak yakin dan ia tak mau memusingkan juga.
"Segala urusan nanti kita pikirkan di sana," ucapnya, meyakinkan Yanto.
Mungkin memang semesta mendukungnya sejak awal. Begitu tiba di gang yang mereka tahu adalah gang tempat rumah-rumah prostitusi beroperasi, mereka berjumpa seorang kawan lama Yanto. Sebut saja Tejo. Yanto bukan pemuda berandalan, tetapi ia memiliki beberapa teman yang 'nakal'.
Saat itu Mawar dan sang suami yang baru saja tiba di Surabaya, menyewa kamar kost kecil di luar area gang prostitusi. Sorenya mereka berjalan kaki ke gang itu, untuk melihat-lihat, menggali sebanyak mungkin informasi, karena jujur saja, mereka tak tahu bagaimana cara membeli sebuah wisma, serta dari siapa, dan apa saja yang mungkin dibutuhkan bagi seorang pemilik Wisma. Tiba-tiba, Tejo yang masih mengenali Yanto, menyapanya dengan penuh keterkejutan.
"Yanto! Sejak kapan kau pergi ke tempat macam ini? Hahaha!"
Mawar dan Yanto serempak menoleh, kaget. Yanto segera mengenali wajah kawan lamanya.
"Tejo? Kau juga sedang apa di sini?!" balas Yanto. "Ah, kau jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku hanya sedang berjalan kaki, menikmati sore, bersama istriku."
Tejo, yang juga berasal dari kampung mereka, memang tahu siapa Sumiarsih atau Asih. Tentu saja ia tercengang sesaat demi melihat seorang Yanto, yang dahulu tak ikut terjun ke medan 'perang' untuk merebut hati Sumiarsih, kini malah menikahi wanita itu.
"Eh? Benar juga! Aku baru sadar kalau ini Sumiarsih!" ucap Tejo seraya menepuk jidatnya sendiri. "Bagaimana kalian menikah?"
"Panjang ceritanya," sahut Yanto, terkekeh pelan. "Singkatnya, kami berjodoh."