Beberapa tahun yang lalu, ketika nama Mawar masih sesegar bunga yang baru saja mekar....
"Apa kamu yakin, Mawar? Kamu masih muda dan cantik. Masihlah panjang jalan yang terbentang untukmu di depan," ucap lelaki itu, dengan sedih.
"Yakin, Om Suyadi."
"Bagaimana kalau menunggu satu atau dua tahun lagi? Baru setelah itu, kamu... pensiun? Ah, kata itu, pensiun, rasa-rasanya sangat tidak pas untuk orang semuda dirimu, Mawar. Sungguh sangat disayangkan. Akan ada banyak yang merindukanmu di sini."
"Apa mau dikata, Om. Barangkali memang takdir saya begini. Bekerja di kelabnya Om Suyadi, lalu bertemu lelaki itu. Sepertinya tidak bisa kalau harus menunggu satu atau dua tahun lagi, Om."
"Kamu tidak keberatan menjalani kehidupan malam di sini, bukan?"
"Maksudnya, Om?"
"Yah, kita berandai-andai saja. Seandainya tak ada si Rudi itu, atau katakanlah tak ada seorang lelaki mana pun yang mengajakmu menikah, memaksamu untuk keluar dari sini, apa kamu masih nyaman berada di sini?"
"Tentunya nyaman, Om Suyadi. Perlakuan Om sangat baik padaku. Teman-teman juga baik kepadaku."
"Tapi, karena lelaki itu, kamu lebih memilih meninggalkan tempat ini?"
"Ya, dia menjamin kehidupanku dan juga keluargaku di kampung. Hanya itu yang selama ini jadi semangatku, Om Suyadi. Untuk apa lagi berjuang kalau bukan demi anak dan orang tua?"
Terjadi jeda sejenak. Suyadi memandangi pintunya yang terbuat dari kaca.
"Lihat saja dia. Lagaknya seolah-olah kamu miliknya seorang. Seolah kamu orang yang harus dia kuasai," ucap lelaki itu lagi dengan masam. Kedua matanya seolah dapat menembus pintu berlapis kaca di ruang kantornya, di mana di sisi luar pintu itu, berjalan mondar-mandir seorang Rudi.
"Aku tidak menyuruhnya masuk ke kantorku ini, karena ingin mengajakmu bicara terlebih dulu, Mawar. Menegaskan apa memang benar ini yang kamu inginkan? Kalau ada dia, aku yakin dia akan menyela omonganmu. Dia akan bilang mewakili semua yang kamu ingin sampaikan. Nah, aku cuma ingin dengar sendiri langsung dari mulutmu."
"Ya, Om Suyadi. Seperti yang sudah aku sampaikan tadi," sahut Mawar, "aku tidak memutuskan ini hanya karena bujukan Om Rudi. Aku mempertimbangkan peluang masa depanku sendiri, Om."
"Yah, di tempat macam ini... masa depan akan selalu tampak buram."
"Bukan hanya itu, Om. Dia menjamin kehidupanku. Kalau boleh memilih, hidup di sebuah rumah tangga yang tenang, sebagai istri seseorang yang mapan dan baik, tanpa harus memikirkan uang, tanpa perlu merasa cemas akan kemiskinan, tentu saja aku akan memilih itu. Bekerja di tempat Om Suyadi bukan hal yang buruk, tapi aku tak mungkin terus-menerus begini, Om."