Suyadi begitu terkejut saat mendengar nama Mawar sekali lagi. Ia seperti terseret ke masa lalu ketika kelab malamnya masih berjaya.
"Orang-orang sepertimu yang membuat tempatku selalu menyala, Mawar," keluh pria paruh baya itu. "Dan, sekarang, setelah kalian semua pergi satu per satu, aku harus mencari cara untuk menjaga agar nyala itu tak padam."
"Maksudnya bisnis Om Suyadi sedang tidak baik-baik saja?"
"Belum sampai ke situ, tapi jelas kami kini goyah dan menuju ke arah itu, Mawar." Suyadi terdengar pasrah sembari terkekeh pelan saat mengatakan ini. "Yah, bagaimana pun tak ada yang lebih digemari orang selain gadis-gadis baru, bukan? Maka, begitulah caraku. Aku tetap merekrut gadis-gadis baru dan tak menahan mereka yang cukup lama--bilamana mereka bosan dengan dunia malam."
"Bukankah dengan gadis-gadis baru itu, harusnya keadaan membaik?"
"Tidak selalu, Mawar. Tempat ini sudah busuk. Orang-orang banyak berpaling ke kelab malam pesaing kita dulu."
"Yang di seberang toko roti?"
"Ya, Mawar. Kamu masih ingat, ya."
"Tentu saja. Om Suyadi berulang kali membicarakan pemiliknya yang tidak paham cara berbisnis," ujar Mawar.
"Dan kali ini mungkin giliran orang itu yang membicarakanku bersama anak-anak buahnya, bahwa aku pebisnis yang tidak paham cara menahkodai kapalku," balas lelaki itu, lesu. "Ya, selama ada gadis-gadis muda itu, tempatku tetap menyala, Mawar. Tidak ada yang bisa menutupnya. Aparat juga selalu kenyang menerima uang bulananku. Dan, tidak ada yang kusyukuri selain bahwa bisnis tetap berjalan walau terpincang-pincang."
"Apakah tempat di seberang toko roti itu fasilitasnya dikembangkan?"
"Ya, ya, tentu. Tempatku--tempat kita dulu, Mawar--tetap sama seperti saat kamu pergi meninggalkanku," kata Suyadi dengan sedih. Lalu, lelaki itu terisak pelan. Mawar tahu lawan bicaranya sedang menangis, entah meratapi apa; keadaan bisnisnya yang tak semulus dahulu ataukah penyesalan bahwa ia ketika itu tidak bisa berusaha lebih keras lagi supaya sang primadona yang ia juluki Mawar ini tidak pergi.
"Hm, begitu." Mawar sungguh bingung harus membalas dengan kalimat apa. Ia sendiri juga harus memikirkan cara mengungkapkan niatannya. Bahwa ia butuh bantuan Suyadi untuk merekrut gadis-gadis baru. Atau, mungkin, setidaknya Suyadi bisa beri ia saran tentang cara mengumpulkan gadis-gadis yang mau untuk bekerja di wisma hiburan malam.
Setelah jeda beberapa lama, Suyadi kembali bersuara, "Ah, ya, maaf aku sedari tadi terlalu banyak bercerita, mengeluhkan keadaan di sini, sampai lupa kalau kamu pastilah ingin membicarakan sesuatu, ya, Mawar?"
"Eh, iya, Om Suyadi."
"Apa itu? Silakan. Aku harap apa yang kamu bicarakan ini sesuatu yang... yah, bisa dibilang... membahagiakan."
Mawar tertawa pelan. "Maksud Om Suyadi bagaimana? Membahagiakan?"