Suyadi nyatanya tak datang seorang diri. Ia membawa serta tujuh orang gadis yang masih muda; mereka gadis-gadis yang harusnya bekerja di kelab malamnya. Betapa tak menyangka Mawar akan menyambut lelaki itu, lengkap dengan 'bala bantuan' yang amat ia butuhkan!
"Mereka datang dari kampung-kampung, Mawar," kata Suyadi. "Bahkan ada tiga di antaranya yang datang dari Jawa Timur juga. Dua yang lain asli Sunda, sedangkan dua lainnya lagi dari Jakarta dan Semarang."
"Oh, begitu? Wah, mari, mari masuk!" sambut Mawar dengan penuh suka cita.
Mawar begitu terpesona akan penampilan gadis-gadis itu. Mereka memang tidak lebih cantik darinya, tapi jelas lebih muda dan menawan. Para calon tamu tentulah tidak akan berpikir dua kali untuk berbelok masuk ke wismanya saat melihat gadis-gadis ini duduk bercengkrama di ruang tamu; di mana di sanalah tempat para pemilik wisma memajang gadis-gadis andalan mereka. Usia para gadis yang dibawa Suyadi kisaran sembilan belas sampai dua puluh satu tahun. Mereka lebih muda sembilan tahun dari usia Mawar.
Lain halnya dengan sang istri, Yanto justru tampak termangu melihat betapa di luar sana, dunia begitu kejam untuk sebagian orang. Dalam hati, ia yakin gadis-gadis muda itu terpaksa memilih dunia macam ini. Demi hidup yang lebih baik. Demi menghujani diri mereka sendiri dengan uang. Sebab, tanpa uang, kehidupan tak akan baik-baik saja. Tanpa uang, orang bisa mati dan tertindas.
"Lalu bagaimana dengan kelab malam Om Suyadi sendiri?" tanya Mawar di sela obrolan seru mereka.
"Yah, aku masih punya beberapa gadis. Tempatku juga lumayan sepi. Barangkali juga tak lama lagi aku akan berhenti, Mawar," kata lelaki paruh baya itu dengan muram. "Tapi, tidak apa. Sebelum aku mengakhiri petualanganku, toh aku sempat membantumu, bukan?"
"Ya, Om. Sungguh aku sangat berterima kasih."
"Percayalah, aku yakin tempatmu ini bakal berjaya, Mawar. Kalian tinggal perbaiki beberapa bagian bangunan wisma, lalu mungkin dicat yang baru, ditambah fasilitas lain seperti karaoke dan bar. Dijamin tidak akan lama bisnismu akan meroket!" kata lelaki itu sembari berdiri dari tempatnya duduk, lalu memandangi ruang tamu wisma itu, dan berjalan ke lorong dalam, menengok ke setiap kamar yang tersedia.
"Aku harus banyak belajar dari Om Suyadi," kata Mawar, menggenggam telapak tangan sang suami yang berjalan di sampingnya, mengikuti Suyadi seolah mengantar tamu itu tur singkat mengamati setiap jengkal bagian wisma.
Yanto hanya mengangguk-angguk, tersenyum canggung.
"Ya, kukira tempat ini sudah cukup bagus, Mawar. Cuma perlu sedikit dipoles. Ah, ya, satu lagi. Kamu harus punya nama baru untuk wismamu," kata Suyadi dengan cukup serius.
Mawar dan sang suami berhenti, saling berpandangan.