Wisma Mawar dan Melati. Kedua nama itu tertulis di masing-masing papan yang terpasang di bagian depan wisma. Selain Rusman, seorang lagi yang dipercaya menjaga keamanan adalah sepupu Yanto sendiri. Mawar dan Yanto mendatangkan lelaki itu dua hari usai Suyadi kembali ke Jakarta.
"Tak ada yang lain yang bisa kita percaya selain Aji," kata Yanto saat mengusulkan sang sepupu. "Dia masih sangat muda. Dia juga tak banyak omong. Kukira dialah yang kita butuhkan."
"Apa Aji bisa... berkelahi? Maksudku, kiranya kita butuh bantuan?" Mawar terlihat ragu. "Masalahnya kita belum kenal betul dengan si Rusman itu, Mas."
"Ya, aku yakin Aji bisa kalau cuma berkelahi. Sepupuku itu mungkin masih sangat muda, tapi tubuhnya kuat. Kamu percaya kata-kataku, Sayang. Begitu dia sampai kesini, tak ada lagi yang kamu ragukan."
Memang benar ucapan Yanto. Aji tiba dua hari setelah diskusi itu berlangsung tak kurang dari dua malam. Mawar melihat Aji memang tampak masih sangat polos tetapi si pemuda memiliki perawakan tinggi dan cukup liat ototnya. Pemuda seperti itu pastilah tak akan kewalahan kalau harus berkelahi.
"Kita tak berharap harus ada ribut atau rusuh ke depannya," kata Mawar ketika ia mengajak ngobrol Aji. "Tapi, kalau-kalau terpaksa, mungkin kamu juga harus berkelahi, Aji."
"Melawan para preman?"
"Tidak juga. Preman-preman di sini sudah dipekerjakan oleh masing-masing wisma. Yah, palingan kalau harus berkelahi, yang kamu lawan para tamu-tamu nakal itu," jelas Mawar.
"Dan semoga saja tak ada tamu-tamu nakal. Selagi pelayanan para gadis bagus, tak semestinya ada keributan," sela Yanto, berusaha menenangkan sang sepupu.
Aji hanya tertawa singkat. "Tak apa, Mas Yanto. Ya, ya, aku siap membantu, kok. Lagi pula lebih baik hidup di sini, menjadi tukang pukul, ketimbang harus tetap berada di kampung."
"Untuk makan dan tempat tinggal, kamu jangan khawatir. Ada satu kamar khusus yang kami sediakan buatmu sendiri. Jadi kamar itu tidak bakal dipakai untuk menjamu para tamu," jelas Mawar.
"Kalau Pak Rusman? Dia tidur di mana?"