Setiap manusia berharga. Itulah yang Mami Rose yakini. Sejak awal, ia tak pernah melihat gadis-gadisnya sebagai properti yang ia miliki dan kuasai. Ia tak pernah berlaku seolah gadis-gadis itu bukan manusia. Ia menganggap mereka seperti anak-anaknya. Ia memperlakukan mereka seperti ia ingin diperlakukan.
"Jika dulu Om Suyadi memperlakukanku dengan baik, kini aku akan berbuat jauh lebih baik untuk gadis-gadisku," begitulah ucap Mami Rose selalu.
Maka, para gadis yang bekerja di Wisma Mawar dan Melati tak pernah kekurangan suatu apa pun. Kalau ada di antara mereka yang sakit, Mami Rose akan membawanya ke klinik atau puskesmas. Kalau ada di antara mereka yang rindu kampung halaman, Mami Rose akan memberinya uang saku dan karcis untuk pulang kampung.
Sikap hangat dan tulus selayaknya seorang ibu kandung bagi anak-anak yang haus kasih sayang itu, ditambah ketenaran Wisma Mawar dan Melati yang terus jadi bahan perbincangan para pelakon dunia malam, menjadikan gadis-gadis itu betah. Tak perlu waktu lama untuk Mami Rose menampung gadis-gadis lain yang berminat 'menumpang' padanya.
"Tak terbayang betapa sulit mencari gadis-gadis secantik mereka ini," bisik Mami Rose ke suaminya suatu malam. "Dan, lihatlah sekarang. Mereka berbaris masuk seolah hanya di tempat kitalah harapan mereka terjaga."
Tentu saja harapan akan masa depan yang lebih baik akan selalu terngiang di setiap kepala manusia. Begitu pula gadis-gadis itu. Mereka mengaku dengan terus terang soal keputusan terjun ke dunia malam; semua tentang ekonomi, tentang ketiadaan fasilitas dan keterampilan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Melihat pengalamannya sendiri yang tidak jauh berbeda dari gadis-gadisnya, Mami Rose memiliki gagasan. Ia ingin menjaga, merawat, dan membesarkan harapan mereka sedemikian rupa dengan program kursus.
"Bagaimana program itu kita jalankan, Sayang? Apa kita harus mendatangkan para guru?" tanya Yanto, yang tentu saja kaget tak kepalang ketika sang istri mengajukan ide itu. Para gadis penghibur di wisma mereka akan diberikan kursus? Untuk apa? Dengan cara apa?
Mami Rose tersenyum mendengar pertanyaan itu. Ia jawab, "Bila memang perlu, ya, kita datangkan para guru. Tapi, kita lihat terlebih dahulu; apa saja yang gadis-gadis itu harapkan. Apa yang mereka damba dalam hidup? Kelak mereka ingin menjadi apa? Pekerjaan apa yang mereka ingin lakoni setelah lepas dari dunia malam? Kita harus tahu itu."
"Oh, ya, sepertinya aku paham tujuanmu," kata Yanto.
"Mereka tidak mungkin terus-menerus berada di sini, Mas," ucap Mami Rose lagi seraya menghela napas panjang dan tersenyum. Sorot matanya menerawang, menembus tembok kamar mereka. "Jikapun ada di antara mereka yang sudah jenuh, sudah tak ada lagi yang dicari di sini, dan mereka ingin pergi, aku akan lepaskan mereka. Dan dengan bekal ilmu dari kursus itu, kelak mereka tak akan kebingungan untuk memulai pekerjaan baru, Mas."
"Kamu benar-benar memikirkan sampai sejauh itu, Sayang. Aku bangga padamu," puji Yanto.
"Ah, itu biasa saja, Mas Yanto."
"Tidak, Asih. Idemu ini bukan hal yang biasa dan menurutku sangat mulia! Apa yang kamu lakukan ini, mana mungkin diperbuat juga oleh orang-orang itu? Oleh para pemilik wisma lain itu? Tidak! Mana ada mereka peduli dengan nasib dan masa depan gadis-gadis mereka? Mereka hanya tahu para gadis itu harus mengeruk tambang uang dari dompet para pria hidung belang! Tak lebih! Terus-menerus gadis-gadis itu harus menghasilkan uang! Tak ada yang memikirkan masa depan mereka sepertimu."
"Aku hanya berkaca dari pengalamanku, Mas Yanto. Betapapun, gadis-gadis ini, di luar sana, juga memiliki keluarga. Kita tak tahu mungkin di antara mereka ada yang juga punya anak--sama sepertiku dulu ketika Aris masih bayi. Mungkin juga orang tua gadis-gadis ini sakit dan mereka harus mencari biaya yang besar buat berobat. Siapa tahu, kan? Mereka toh tak pernah cerita apa-apa tentang kehidupan pribadi mereka, tapi aku tahu, di dalam benakku aku tahu, mereka pasti mencemaskan masa depan mereka sendiri. Tak ada orang yang mau seumur hidupnya bekerja menggadaikan perasaan, merelakan tubuh dan jiwanya dijamah orang-orang asing, hanya demi sesuap nasi."