"Ia tak pernah puas. Dan tak akan puas. Ia selalu meminta lebih. Dan tak berhenti. Ia rakus. Kita tahu batas. Ia tak pernah kenyang. Kita mengerti rasa lapar. Itulah kenapa kita harus menabung, Mas."
"Tapi, kita masih mampu? Menabung juga tak akan berguna jika pada akhirnya kita terus-menerus membuat perut lelaki itu makin buncit! Akan ada saatnya badai datang, Asih. Kita tak pernah tahu itu!"
"Kita amat sangat mampu, Mas Yanto. Kita mata air yang tak mungkin kekeringan. Kitalah nama lain dari uang itu sendiri. Badai mungkin akan terjadi bila memang itu tiba saatnya harus terjadi, tapi kita dibentuk setangguh ini oleh alam. Kita mata air yang tak akan kerontang meskipun diterjang badai. Kemarau? Itu tidak akan berlangsung lama di sini, karena kupu-kupu indah berdatangan dan bernaung di tempat kita. Sejujurnya aku masih bisa tidur nyenyak. Aku dicintai dan dihormati para gadisku. Itu bekal yang cukup untuk menjalani ini, bukan?"
"Tapi, sampai kapan harus begini, Asih? Aku yakin tahun depan si Kancing bakal menaikkan lagi harga jasanya seperti tahun lalu, juga tahun-tahun sebelumnya. Dan, ya, aku kembali merasa yakin bahwa setahun setelah tahun depan, Kancing kembali akan menaikkan harga. Ia tak akan berhenti."
"Dan kita pun juga semakin tak terbendung, bukan?"
"Ya, tapi kita jarang menaikkan harga jasa dan kamar di sini. Kita terlalu mencintai para tamu, sementara Kancing tak mau tahu itu!"