Badai itu datang dalam bentuk lelaki kurus bermata agak juling; Ali Subeni. Tidak ada yang tidak kenal seorang Ali Subeni. Ia biasa berkeliling, mendatangi setiap warung dan toko hanya untuk menepuk atau mencolek punggung tiap orang. Dan jika seseorang ditepuk atau dicolek oleh Ali Subeni, artinya orang itu dianggapnya bernasib baik walau miskin. Pasalnya, Ali Subeni hanya ingin meminta makan. Dan, siapa lagi orang yang ia anggap memiliki setidaknya sedikit recehan untuk membantunya makan selain mereka yang mungkin lebih beruntung? Ya, itulah tujuannya menepuk dan mencolek siapa pun yang tak ia kenal, entah di warung-warung kaki lima, di toko kelontong, di tepi jalan dan jembatan penyeberangan; di mana pun ia melangkah nyaris tanpa tujuan sepanjang pagi hingga sore; dia hanya ingin meminta uang receh.
"Buat makan. Buat makan," begitu kata Ali Subeni dengan barisan gigi yang tidak lagi utuh. Satu tangannya membuat gerakan menunjuk-nunjuk rongga mulutnya yang bau dan berliur.
Usia Ali Subeni terbilang cukup muda. Mungkin tak sampai tiga puluh tahun. Dan orang meyakini belaka sebab tak ada kerut yang terlalu banyak di wajah kusamnya. Tapi, giginya sudah tidak utuh. Beberapa bilah gigi telah lenyap entah ke mana. Sebagian gigi itu keropos tak keruan bentuknya. Dan ia selalu memamerkannya dalam setiap ucapan 'buat makan'-nya tadi.
Alhasil, orang akan selalu iba atau risih. Mereka akan memberinya, paling tidak, receh terkecil yang ada di saku. Ali Subeni akan berterima kasih sambil berulang kali ia ciumi koin itu seakan-akan baru saja menemukan harta karun paling berharga.
Ali Subeni baru akan menikmati makanan pertamanya dalam satu hari sekitar jam 10. Setelah makan, tentu saja, ia akan kembali berkeliling, nyaris tanpa tujuan, menepuk atau mencolek punggung setiap orang yang ia jumpai, dan kepada setiap orang ia pasti berkata, "Buat makan, buat makan."
Orang-orang di Gang Dolly tahu belaka siapa Ali Subeni. Ia bukan warga situ, tapi sebagian besar orang yang biasa berkeliaran di dalam gang sepanjang malam, pastilah sering melihatnya. Jika sepanjang pagi hingga sore ia berjalan kaki ke mana pun tanpa terlihat ada tujuan, maka malam hari Gang Dolly adalah tujuan yang pasti. Gang Dolly akan selalu menyambut Ali Subeni; bukan sebagai tamu, melainkan orang yang sedang butuh makan, yang mencari receh demi receh dengan menepuk atau mencolek punggung orang lain.
Begitulah.
Namun, terkadang, Ali Subeni juga menjadi tamu jika saja suatu hari ia beruntung memperoleh uang lebih dari kaum dermawan. Ya, tentu saja. Ia lelaki dengan fisik yang sehat. Ia memiliki hasrat sebagaimana para pria pada umumnya. Dan, terlebih lagi: Ali Subeni orang yang waras.
Banyak yang mengira Ali Subeni tidak waras akalnya, tapi sering kali keadaan diri yang seperti itu malah ia pergunakan untuk membuat orang-orang yang tak ia kenal jadi iba. Tujuannya jelas: agar ia memperoleh lebih banyak uang. Lebih banyak uang hanya berarti satu hal: ia bisa bersenang-senang dengan salah satu gadis di gang itu.
Maka, kunjungan malam hari ke Gang Dolly adalah kunjungan yang sesekali juga membikin Ali Subeni merasakan surga duniawi. Ia akan memasuki wisma-wisma yang bertarif paling murah, memilih perempuan yang berkulit paling cerah di antara pilihan-pilihan tak menarik yang tersedia. Memang hanya Wisma Mawar dan Melati saja yang punya gadis-gadis terbaik di gang ini. Hanya saja tarif memasuki kedua wisma itu amat mahal. Ali Subeni, dengan uang recehnya, tidak pernah tahu rasanya mengencani gadis-gadisnya Mami Rose.
"Padahal aku ingin," ujar Ali Subeni selalu, kepada nyaris setiap orang yang duduk di sepanjang gang itu. Dan mereka hanya akan menertawakannya. Orang-orang di gang ini memang tahu Ali bukanlah orang tak waras. Dan karena itulah mereka mengoloknya.
"Lagi pula kalaupun kau ada uang, gadis-gadisnya Mami Rose belum tentu mau juga sama kau!" ledek orang-orang itu.
"Aku buktikan mereka mau! Aku kumpulkan uang dulu yang banyak!" kata Ali Subeni.
Namun, toh ia sering tak sabaran. Begitu uangnya terkumpul sedikit saja, nafsunya membuncah dan sukar untuk dibendung. Lagi-lagi, demi melepaskan semua itu, ia pun pergi ke wisma-wisma yang paling murah.