Mami Rose

Ken Hanggara
Chapter #30

Tamu Tak Diundang

Ali Subeni tahu betul bagaimana memanfaatkan penampilannya. Orang-orang akan selalu menganggapnya tidak waras. Begitupun semua guru dan siswa sekolah tempat di mana putri semata wayang pemilik toko perabot rumah tangga tadi menuntut ilmu. Jadi, begitu para siswa sekolah menengah atas itu berduyun-duyun pulang, ia mulai menangis.

"Ya, ya, silakan tertawa. Dan jauh-jauh dariku! Benar begitu! Benar yang kalian lakukan!" batin Ali Subeni sambil mencurahkan air mata palsunya. Para siswa cekikikan geli, sedikit takut, juga sekaligus iba saat melihat Ali Subeni menangis sambil berguling-guling di bawah pohon.

Ini bukan sesuatu yang asing bagi seorang Ali Subeni. Air mata palsu kadang bisa jadi cara singkat untuk meraup lebih banyak uang receh. Namun, kali ini, bukan itu yang ia inginkan. Memang gemerincing itu terjadi; beberapa siswa yang iba hanya berlalu dan melempar koin untuknya. Ia tak peduli. Ia terus menangis. Ia tak kumpulkan koin-koin itu.

"Hari apa sekarang? Oh, ya, hari saat gadis itu seharusnya pulang sedikit terlambat. Entah kegiatan sialan macam apa yang harus ia lakukan di sekolah, tapi itu bagus! Ya, cuma dengan cara itu, dia bisa ikut bersamaku!" pikir Ali Subeni dengan puas.

Maka, meski ia tahu sang gadis--putri semata wayang pemilik toko perabot rumah tangga tadi, pulang sedikit lebih siang, Ali Subeni tetap mencurahkan air mata. Ia tetap menjadi pusat perhatian orang-orang yang melintas, para siswa yang berbondong keluar dari gerbang sekolah. Ia tahu hanya dedikasi macam ini yang akan membuatnya tidak dicurigai siapa pun. Ia tahu ia hanya perlu berlelah-lelah sekarang sebelum nanti malam bersenang-senang.

Nyaris satu jam berlalu. Matahari semakin merangkak naik. Seolah sumber cahaya itu bertengger di atas kepala. Di momen ini, air mata Ali Subeni sudah cukup kering, jadi ia hanya merintih, seakan menanggung beban kesedihan yang teramat dahsyat. Ia tetap begitu sampai seluruh siswa telah pergi, sampai semua orang yang melintas sudah tak mempedulikannya lagi. Di kepala mereka, orang yang tak waras memang begini. Ali Subeni diam-diam tersenyum memikirkan betapa cerdik dirinya. Dan, senyumnya makin melebar saat akhirnya ia melihat gadis itu keluar dari gerbang sekolah.

***

Sartini, enam belas tahun usianya. Ia bergegas menyeberang jalan begitu melihat Ali Subeni berbaring melingkar seperti seekor trenggiling di bawah pohon.

"Mas Ali? Kenapa? Siapa yang bikin Mas Ali begini?" tanya Sartini.

Gadis itu tak pernah menyukai perlakuan kasar sang ayah terhadap Ali selama ini. Bukan sekali dua kali lelaki yang dikenal tak waras itu diusir ayahnya ketika mengemis di toko. Suatu kali malah ayahnya menyiram Ali Subeni dengan air bekas cuci piring.

Sejak itu, jika tidak sengaja bertemu Ali Subeni di jalan, Sartini selalu memberinya uang receh. Kadang, uang sakunya sepenuhnya ia berikan untuk pemuda itu karena sang gadis jarang membeli jajan. Ia selalu membawa bekal ke sekolah.

Kebaikan-kebaikan itu pada dasarnya dianggap Sartini sebagai penebus dosa sang ayah. Sebab, ia tahu karma buruk akan selalu bekerja untuk siapa pun, tanpa terkecuali. Sekalipun ayahnya orang yang begitu rajin bersembahyang, tetap saja hal-hal buruk bisa terjadi atas perbuatan jahat sekecil apa pun. Termasuk perbuatan jahat pada Ali Subeni.

Begitupun sekarang. Sartini, seperti biasa, akan melihat Ali Subeni layaknya orang yang butuh pertolongan. Rintihan pilu sang pemuda yang tak waras membuat hati gadis ini bagai disayat.

"Ada apa, Mas Ali? Siapa yang bikin Mas Ali menangis? Apa ada yang menyakiti? Siapa?" tanya Sartini bertubi-tubi.

"Itu. Itu. Itu!" ucap Ali Subeni seraya menunjuk ke tanah kosong di belakang pagar, di mana pohon tempatnya berteduh tadi menjulang.

"Itu apa, Mas Ali? Orangnya lari ke situ?"

"Itu. Itu. Di situ! Bapaknya di situ!" kata Ali Subeni lagi, kembali mengucurkan air mata tipu daya untuk Sartini.

"Bapaknya? Siapa?"

Lihat selengkapnya