Tak butuh berbulan-bulan, bahkan kurang dari sebulan, pria paruh baya itu kembali datang. Keadaan wisma sedang ramai, jadi Mami Rose dan sang suami tak segera tahu si Seragam Sakti singgah.
Aji-lah yang menyambut pria itu seperti biasa. "Pak Kancing? Selamat datang. Silakan!"
Kancing hanya tersenyum tipis. Ia tak setegang setahun belakangan ketika harus sering memperdebatkan tentang tarif jasanya dengan Mami Rose. Bahkan malam ini ia terkesan sangat santai. Jika biasanya Mami Rose atau sang suami tak langsung tahu kedatangannya, ia bakal menyuruh Aji bergegas memanggilkan bosnya.
Namun, kali itu, Kancing seperti memiliki seluruh waktu di dunia ini. Seolah-olah bukan perkara besar andai saja ia harus menunggu berjam-jam lamanya. Alhasil, lelaki itu mengambil tempat di pojok area karaoke, lantas duduk begitu saja, menggeleng tiap ada gadis yang mendekat menawarkan pelayanan. Ia tetap tersenyum setiap kali gerak penolakan itu terjadi.
"Mohon ditunggu sebentar, Pak Kancing," ucap Aji. "Saya panggilkan Mami dulu, ya."
"Oh, kau tak perlu mengganggunya bila memang Mami masih repot. Nanti saja, ya. Biarkan Mami mengurus urusannya dulu. Toh kalau sudah luang, dia bakal keluar ke ruang karaoke ini, bukan?" balas Kancing dengan senyuman hangat. Sesuatu yang tak pernah Aji peroleh dari lelaki itu, sebab selama ini Aji hanya dicap sebagai jongos. Dan, jongos selalu rendah di mata seorang Kancing.
"Eh? Ba-baiklah, Pak Kancing."
Namun begitu Aji tetap mengabarkan kedatangan si Seragam Sakti ke Mami Rose. Seperti biasa, Mami Rose mengubah raut wajahnya menjadi datar, nyaris terlihat muak, sembari mengulurkan tangan untuk mengambil amplop cokelat tebal yang sebelumnya ia sudah sediakan.
"Kenapa tidak dipersilakan ke kantorku, Aji?" tanya Mami Rose.
"Eh, beliau masih bersantai di ruang karaoke, Mami. Yah, katanya sih Mami Rose tak perlu buru-buru kalau memang masih repot. Toh nanti juga akan melihatnya ketika Mami sudah keluar."
"Aneh sekali," gumam Mami Rose.
Yanto sejak tadi duduk diam sambil merokok di seberang meja. Ia mencibir, "Pasti ada sesuatu lagi. Kabar buruk lagi, hal-hal yang mesti memaksa kita membayar lebih ke dia. Sudah pasti!"
"Sabar, Mas." Mami Rose berdiri seraya menghela napas panjang. Ia raih amplop cokelat itu dengan gerakan agak kasar. "Besok sore kita sudah janjian bertemu dengan orang tua si Putra itu. Besoklah saatnya penentuan, Mas. Kita harus berhasil meyakinkan dia! Terutama keluarganya!"
"Memangnya kenapa dengan Putra, Mas?" tanya Aji, yang memang sama sekali tak tahu apa-apa tentang rencana perjodohan yang dirancang antara Mirna dan sang polisi muda.
"Heh, kamu diam saja, Ji. Jangan ikut campur!" tegur Yanto, terkekeh pelan.
"Serius, Mas? Memangnya ada apa?"
"Mirna mau kami nikahkan dengan Putra!" Mami Rose tak mau lagi memendam ini, apalagi Aji orang yang sudah mereka percaya. "Tapi, jangan sampai terdengar siapa pun, ya, Aji! Ini masih rahasia sebelum nanti pesta pernikahan itu digelar!"
"Wah, ya. Tentu aku akan tutup mulut." Aji mengangguk patuh.
"Pasalnya kita tak bisa terus-menerus diperas oleh Kancing. Dia tak pernah puas! Selalu meminta lebih uang setorannya! Dulu setahun sekali! Lama-lama beberapa bulan sekali! Dan belakangan ini dia menuntut kenaikan harga setiap satu bulan! Bayangkan saja siapa yang tahan dengan kelakuan bajingan macam itu?!" omel Yanto panjang lebar.