Mami Rose

Ken Hanggara
Chapter #37

Semesta Mendukung

Aku tidak memberi jawaban apa-apa, kecuali kubilang padanya bahwa kami harus bicara dulu pada Mirna. Dan, Kancing tampak gembira mendengar itu! Tentu saja kami tak akan meminta pendapat Mirna apakah ia sudi menikah siri dengan bajingan tua itu! Yang ada di otakku dan otak Mas Yanto hanyalah bahwa keparat busuk itu makin tidak tahu diri! Dan kami makin ingin membuatnya segera tersingkir dari hidup kami!

Ternyata itu alasan di balik sikapnya yang tiba-tiba berubah drastis! Semua demi tubuh putriku! Aku tak bisa menunda-nunda lagi. Ini semua harus segera diselesaikan!

Maka, besok sorenya, saat janji temu dengan orang tua Putra terjadi, tak ada secuil pun ketakutan bahwa kami akan dipandang sebelah mata, bahwa kami akan direndahkan, bahwa kami akan dianggap hina dan tak bermoral hanya karena memiliki bisnis di Gang Dolly!

Dengan lugas dan mantap kukatakan kepada orang tua Putra, "Keadaan memaksa kami harus berbuat, karena kalau tidak, anak-anak kami kelaparan saat itu, dan mungkin saja mati. Tidak ada jalan lain selain yang sudah saya pahami saat masih merantau di Jakarta beberapa tahun sebelumnya. Ya, kami membulatkan tekad, membuka wisma di Gang Dolly!"

Ayah dan ibu Putra terkesiap mendengar itu. Mereka saling bersitatap satu sama lain untuk beberapa saat. Jelas mereka tak menyangka akan mendengar ini. Dan sudah pasti pula mereka bagai disambar oleh petir fakta yang mengejutkan.

"Jika memang dirasa itu membuat Anda berdua keberatan, kami tak apa. Kami tak memaksakan apa yang mungkin belum menjadi takdir," kataku dengan tanpa keraguan. "Saya hanya ingin ke depan tak ada penyesalan. Kami tak mau menutupi semua. Kami hanya mau yang terbaik untuk anak kami. Maka, kejujuran adalah yang terbaik dan itu sudah kami sajikan sejak awal."

Mirna dan Putra hanya tampak menunduk, diam seribu bahasa. Sementara, kedua orang tua Putra juga tetap membisu meski wajah mereka menunjukkan betapa ketika itu ada terlalu banyak diksi yang bergelut di mulut mereka yang kelu.

Anehnya, pasangan suami istri itu tak tampak seperti akan meluapkan amarah. Aku tak melihat itu. Aku hanya menangkap kilatan keterkejutan di mata mereka.

Mas Yanto, demi mengisi jeda yang terasa lama dan menyakitkan itu, menimpaliku, "Kami tahu ini mungkin jauh dari harapan Bapak dan Ibu. Ya, jelas. Siapa yang mengira putranya menjalin asmara dengan gadis yang dibesarkan oleh orang-orang seperti kami. Hanya saja, saya bersumpah demi nyawa saya sendiri, bahwa Mirna adalah gadis baik-baik. Dia tak pernah terlibat dalam bisnis kami. Dia selalu berjarak dengan bisnis kami serta segala sesuatu yang menyertai dan mengiringinya. Saya bilang begini bukan sebab dia putri kami. Saya hanya tidak mau Bapak dan Ibu menyalahpahami posisi Mirna. Bila memang sumpah serapah pantas dilontarkan, bukan kepada Mirna itu tertuju, melainkan hanya untuk saya dan Asih, istri saya."

Aku sangat bangga dan lega atas tambahan kata-kata dari suamiku itu. Setelahnya tidak ada lagi yang bisa kami sampaikan. Semua sudah tersaji untuk mereka. Dan, kami hanya menunggu.

Dalam detik-detik yang terasa bagaikan sekian abad itu, Mirna tentunya menitikkan air matanya. Putriku itu terisak. Dan, hatiku seperti disayat-sayat oleh silet tajam! Ibu mana yang tega melihat anaknya menangis seperti itu? Apalagi semua ini dilandasi oleh apa yang ibu itu sendiri perbuat?!

Lihat selengkapnya