Apalah arti kemenangan jika tubuh dan jiwa tetap terperangkap dalam neraka yang sama?
Nyatanya Mami Rose dan Yanto tetap terperangkap dalam situasi yang sama meski mereka sudah menikahkan Mirna dan Putra. Kemenangan itu hanya terjadi sesaat, dan tak lebih cuma bergemuruh dalam pikiran mereka. Di mata Kancing, itu bukanlah suatu kemenangan.
Tapi, tentu saja, sampai saat ini, dua hari setelah pernikahan Mirna, Kancing belum tahu tentang pernikahan tersebut. Belum waktunya si Seragam Sakti itu singgah untuk mengambil uang setoran.
Hanya soal waktu sampai Mami Rose tahu neraka masih mengekangnya.
Satu hal yang nanti akan disesalinya: harusnya Mami Rose dan suami bicara sejak awal kepada Putra; menegaskan bahwa setelah mereka menikahkan pemuda itu dengan Mirna, maka Putra bisa melakukan sesuatu agar Kancing tersingkir dari bisnis mereka.
Putra pun dibujuk untuk datang ke wisma di hari ketiga ia menjadi menantu Mami Rose. Tanpa Mirna yang ikut kemari (mereka sengaja tak mengajak Mirna dan seolah-olah Putra diajak pergi ke tempat kerabat), Mami Rose akan lebih mudah menyatakan keluh kesahnya.
"Apa kamu tidak bisa mengatur sesuatu, Nak? Membuat agar keluargamu saja yang nantinya 'memegang' wisma kami?" tanya Mami Rose saat itu. Keadaan wisma sedang agak sepi. Malam belum terlalu larut. Beberapa gadis terlihat mengobrol di ruang tamu. Di 'kantor'-nyalah, Mami Rose dan Yanto mengajak Putra bicara.
"Ya, Putra," imbuh Yanto. "Kancing akan datang malam ini untuk menagih setoran bulanan. Kami berharap kamu bisa bicara kepadanya. Menyatakan kalau bisnis ini sudah dipegang oleh keluarga besarmu. Bagaimana menurutmu?"
Putra, dengan pembawaan canggung, tampak tertekan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Jujur saja ia tidak mengira akan memperoleh pertanyaan begini. Tadinya ia kira ia hanya akan diajak melihat-lihat bisnis sang mertua.
Dengan ragu, Putra menjawab, "Wah, itu saya tidak yakin, Pak, Bu. Keluarga saya tidak pernah terlibat dengan bisnis seperti ini. Dan saya juga tidak tahu bagaimana saya harus bicara. Memangnya kenapa dengan Pak Kancing?"
"Lelaki itu... kamu akan tahu bagaimana orangnya setelah bertemu. Harusnya nanti dia kemari. Ya, ini sudah tanggalnya," gerutu Mami Rose. "Dia orang yang sangat rakus, Nak! Bertahun-tahun keluarga kami diperas, diminta uang bulanan yang terus-menerus dinaikkan semaunya! Ya, dia selalu bilang kalau dialah yang menjaga keamanan, tetapi itu hanya dilakukannya dengan mengirim tukang pukul sesekali ke gang!"
"Tukang pukul?"
"Ya, kadang ada beberapa orang bertampang galak, berbadan kekar, datang ke sini. Kadang bertiga, kadang pula berempat. Tak pernah pasti. Mereka mengaku disuruh Pak Kancing. Ya, itu pun dalam sebulan kadang cuma dua atau tiga kali mereka datang!"
"Selebihnya? Pak Kancing tak pernah kemari untuk menjaga keamanan?" tanya si menantu dengan polos dan agak cemas.
Yanto kembali menyela, "Putra, kamu kira orang seperti Kancing itu mau terjun ke lapangan? Tidak! Kamu pastilah hafal tipikal orang seperti itu! Maafkan saja kalau aku bilang begini, ya. Kancing mengira seragamnya sakti dan dia bisa berbuat apa saja asal memakai seragam itu!"
Putra, selaku polisi muda yang belum banyak pengalaman, hanya mengangguk dan tampak bingung mesti berkata apa. Ia berulang kali menarik dan menghela napas yang panjang.