"Tapi, jangan sampai Mirna tahu."
Itulah hal yang pertama kali kupastikan. Jangan sampai anak gadisku itu tahu jika kami berniat menghabisi nyawa seseorang. Ia tak boleh tahu bahwa ialah salah satu hal yang menyebabkan Kancing tak lama lagi akan menghilang untuk selamanya.
"Mirna tak boleh tahu sampai kapan pun."
"Itu pasti, Asih. Itu pasti."
Aku dan Mas Yanto kemudian menyambangi rumah Putra, di mana di sanalah kini Mirna juga tinggal. Terpaksa kedatangan kami harus tampak normal karena Mirna ada di situ. Tentu saja seorang istri harus terus berada di rumah. Kami tetap mengobrol tanpa menyinggung sedikit pun tentang Kancing. Kami makan bersama diiringi tawa palsu dan lidah yang mendadak kehilangan fungsinya. Aku dan suamiku sama-sama tahu jika menantu kami bisa menduga maksud kedatangan kami. Obrolan terakhir kami ketika itu barangkali menjadi hal tergila yang pernah ia sepakati secara tak langsung. Bagaimana tidak? Saat itu ia tak melontar penolakan. Ia diam seolah-olah menunggu antara aku atau Mas Yanto yang berdiri lebih dulu. Dan, sekarang, kami sudah berdiri. Terlihat jelas di kening pemuda itu, buliran keringat sebesar biji jagung bertebaran. Kalau saja debaran jantung tertangkap oleh indra pendengaran, pastilah saat ini kami mendengar gemuruh seperti sebuah perang akan dimulai.
Menit demi menit berlalu sama; kepura-puraan sempurna di hadapan Mirna. Putra tampak tersiksa, tetapi kami mampu menguasai situasi. Kami terus menerbitkan topik-topik seru seakan singgahnya kami bukan untuk membahas rencana pembunuhan.
Setelah sejam lebih kami mengobrol, tibalah momen yang kuharapkan. Mirna harus ke belakang untuk mengambil makanan penutup. Tak banyak waktu kami. Begitu anak gadisku pergi meninggalkan meja makan, aku dan Mas Yanto seketika berpindah duduk di sisi kiri dan kanan menantu kami.
"Putra, keputusan sudah diambil," bisik Mas Yanto, cepat dan lugas. "Jika kau mau ambil bagian, kami akan senang. Namun, jika tidak, jaga rahasia ini sampai kelak kita semua sama-sama menua dan mati."
"Pak? Ini apa? Sa-saya tak mengerti."
Aku menyahut dengan tajam tapi tenang, "Kancing memang harus mati. Tidak ada cara lain. Kalau tidak begini, sampai kapan pun hidup kami akan menderita! Kami akan selalu jadi budaknya!"
"Belum lagi istrimu. Bukan tidak mungkin Kancing akan merebutnya darimu, Nak. Kau harus pikirkan itu!" tegas suamiku.
Putra mungkin memang sempat meletup-letup oleh amarah begitu mendengar nafsu Kancing terhadap Mirna malam itu. Namun, kini ia mendadak seakan goyah lagi. Ya, jelas, aku sendiri tak memungkiri betapa kacau debar jantungku saat ini. Bukan karena takut Mirna mendengar bisik-bisik kami, melainkan karena mencabut nyawa manusia lain bukanlah hal yang wajar. Menghilangkan nyawa manusia lain adalah peristiwa yang tidak pernah kubayangkan akan kami lakukan. Dan, kami terpaksa bila tetap ingin hidup dalam rasa tenang!
Atas dasar itulah aku menguatkan diri. Kumantapkan keyakinanku bahwa Kancing memang sudah sepantasnya mati!
"Pikirkan saja dulu, Nak. Kami tunggu jawabanmu," kata Mas Yanto seraya pelan menepuk-nepuk pundak polisi muda itu.
Putra cuma terdiam, kaku.
Aku bisikkan kalimatku sendiri untuknya sebelum kembali lagi ke tempatku duduk, "Tak ada yang boleh merebut putriku. Tak ada yang boleh bikin anak-anakku sengsara, Putra. Dengannmu atau tidak, kami tetap berangkat."
Putra semakin bimbang. Napasnya tampak pendek-pendek tanda gelisah. Dan, tak perlu menunggu sampai aku berpindah ke tempatku duduk, menantuku berucap, "Baik! Kapan dan di mana itu?"
"Kamu... yakin?" Mas Yanto menatap mata pemuda itu tanpa berkedip.