Man's Search for Meaning

Noura Publishing
Chapter #3

01 - Pengalaman di Kamp Konsentrasi

Buku ini tidak mengklaim diri sebagai catatan berbagai fakta dan peristiwa, melainkan sekadar catatan berbagai pengalaman pribadi, penderitaan yang tak putus-putus sebagaimana ditanggung oleh para tawanan Nazi. Ini adalah kisah nyata dari dalam sebuah kamp konsentrasi, yang diceritakan oleh salah seorang penyintas. Kisah ini sama sekali tak ingin menampilkan kengerian besar yang terjadi, yang telah banyak dituliskan orang (meskipun jarang yang percaya), kecuali beberapa penyiksaan kecil. Dengan kata lain, saya berusaha menjawab pertanyaan ini: seperti apa kehidupan sehari-hari di kamp konsentrasi terekam dalam benak tawanan biasa?

 Sebagian besar peristiwa yang digambarkan di sini bukan terjadi di kamp-kamp yang besar dan terkenal melainkan di kamp-kamp kecil tempat kebanyakan pemusnahan yang sesungguhnya terjadi. Kisah ini bukan tentang penderitaan dan kematian para pahlawan dan martir, juga bukan tentang para Capo (tawanan yang bertindak sebagai kepercayaan Nazi dan dengan demikian mendapat sejumlah keistimewaaan) terkemuka atau tawanan terkenal. Karenanya kisah ini tidak terlalu banyak menyangkut penderitaan tokoh-tokoh hebat, tetapi menge­nai pengorbanan, penyaliban, dan kematian sejumlah besar korban yang tak dikenal dan tak tercatat. Mereka adalah tawanan biasa, yang tak memiliki tanda (pangkat) di lengan bajunya, yang sangat dibenci oleh para Capo. Sementara para tawanan biasa ini hanya sedikit atau sama sekali tidak punya makanan untuk dimakan, para Capo tak pernah lapar; malahan, banyak di antara para Capo itu bernasib lebih baik di kamp ketimbang yang mereka alami selama hidupnya. Sering mereka lebih galak ketimbang para penjaga, dan menyiksa para tawanan secara lebih kejam ketimbang yang dilakukan para anggota SS. Para Capo itu tentu saja dipilih di antara para tawanan dengan karakter yang memungkinkan mereka melakukan kekejaman semacam itu, dan bila mereka tidak sanggup memenuhi harapan, segera mereka akan dipecat. Biasanya tak akan lama sebelum mereka mulai bersikap layaknya tentara SS dan penjaga kamp dan secara psikologis akan dianggap sama.

Orang luar akan sangat mudah salah paham tentang kehidupan kamp, kesalahpahaman yang biasanya bercampur dengan sentimen rasa kasihan. Tak banyak yang tahu ten-tang persaingan yang keras dan brutal di antara para tawan-an. Ini semua tentang perjuangan pantang menyerah demi roti hari ini dan demi hidup itu sendiri, demi kepentingan diri, maupun demi kepentingan teman baik.

  Mari kita ambil contoh kasus tentang rencana pengang­ kutan yang secara resmi diumumkan untuk memindahkan sejumlah tawanan tertentu ke kamp lain; tetapi umumnya hampir dapat dipastikan bahwa tujuan akhirnya adalah kamar gas. Sejumlah tawanan yang sakit atau lemah yang tak mampu lagi bekerja akan dikirim ke salah satu kamp pusat yang besar yang dilengkapi dengan kamar gas dan krematorium. Proses seleksinya sendiri seolah menjadi aba-aba perkelahian bebas di antara tawanan, atau bahkan antar kelompok tawanan. Yang penting namamu dan nama temanmu tidak termasuk dalam daftar korban, meskipun semua menyadari bahwa untuk setiap nama yang dicoret dari daftar, ada nama lain yang harus dimasukkan.

Ada jumlah tawanan tertentu yang harus ikut dalam setiap pengangkutan. Tidak terlalu penting tawanan yang mana, karena masing-masing dari mereka hanyalah seka-dar angka. Pada saat mereka memasuki kamp (setidaknya inilah yang terjadi di Auschwitz), semua dokumen identitas diambil, berikut harta milik mereka. Oleh karena itu, setiap tawanan memiliki kesempatan untuk menyebutkan nama atau profesi fiktif; dan banyak yang melakukan ini karena berbagai alasan. Pihak penguasa hanya tertarik pada nomor para tawanan. Nomor-nomor ini sering ditato ke kulit mere-ka, juga harus dijahit di bagian tertentu dari celana, jaket, atau mantel mereka. Siapa pun penjaga yang ingin meng-hukum seorang tawanan cukup menatap sekilas nomornya (dan betapa kami sangat takut pada tatapan seperti itu!); dia tak pernah menanyakan nama.

  Kembali ke konvoi yang siap berangkat. Para tawanan tidak punya waktu dan keinginan untuk berpikir soal moral atau etika. Setiap orang hanya dikendalikan oleh satu pemikiran: bertahan hidup demi keluarga yang menunggu mereka di rumah, dan menyelamatkan kawan-kawan. Karena itu, tanpa ragu, mereka akan mengatur agar tawanan lain, atau “nomor” lain, menggantikan mereka di dalam truk yang akan berangkat.

  Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, proses pemilihan para Capo merupakan proses yang negatif; hanya tawanan yang paling brutal yang dipilih untuk tugas tersebut (meskipun ada beberapa pengecualian yang menggembirakan). Selain pemilihan para Capo yang dilakukan oleh serdadu SS, ada semacam seleksi alamiah yang terjadi di kalangan para tawanan itu sendiri. Rata-rata, para tawanan yang mampu bertahan hidup, yang sudah dipindahkan dari satu kamp ke kamp yang lain, hanyalah mereka yang telah kehilangan semua etika demi mempertahankan hidup; mereka siap menggunakan segala cara, jujur atau tidak, bahkan bersikap brutal, mencuri, dan mengkhianati teman-teman mereka sendiri, agar bisa menyelamatkan diri mereka sendiri. Kami yang berhasil kembali, baik karena keberuntungan atau berkat keajaiban— apa pun istilah yang dipakai untuk menyatakannya—tahu bahwa orang-orang terbaik di antara kami tidak kembali.

Sudah ada banyak kisah nyata tentang kamp konsen­ trasi yang dipublikasikan. Di sini, fakta-fakta dianggap signi­ fikan hanya selama fakta tersebut menjadi bagian dari pengalaman manusia. Bentuk pengalamanlah yang ingin ditonjolkan di dalam buku ini. Bagi mereka yang pernah menjalani kehidupan di dalam kamp konsentrasi, buku ini berupaya menjelaskan pengalaman mereka ditinjau dari pengetahuan masa kini. Dan bagi mereka yang tidak pernah merasakannya, buku ini akan membantu mereka untuk memikirkan dan terutama memahami, pengalaman-pengalaman dari persentase kecil tawanan yang bertahan hidup; para tawanan yang sekarang ini mendapati bahwa kehidupan ternyata sulit untuk dijalani. Para bekas tawanan tersebut kerap berkata, “Kami benci kalau harus bercerita tentang pengalaman kami. Tidak ada penjelasan yang perlu diberikan untuk mereka yang pernah menjalaninya, dan mereka yang tidak langsung merasakannya tidak akan pernah memahami bagaimana perasaan kami saat itu dan perasaan kami sekarang.”

Mencoba membuat uraian metodis tentang pengalaman seperti ini memang sulit karena uraian kejiwaan membutuhkan objektivitas ilmiah tertentu. Mungkinkah seorang bekas tawanan mampu membuat pengamatan pribadi yang objektif? Objektivitas seperti itu hanya bisa diberikan oleh orang yang tidak langsung mengalaminya; tetapi orang seperti itu terlalu jauh dari tempat kejadian untuk membuat sebuah pernyataan yang punya nilai nyata. Hanya orang dalam yang mengetahui keadaan sebenarnya. Barangkali pengamatannya tidak objektif; penilaiannya mungkin terlalu berlebihan. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi. Namun, harus ada upaya untuk menghindari bias pribadi, dan itulah sulitnya membuat buku-buku seperti ini. Dibutuhkan keberanian untuk menceritakan setiap pengalaman secara terperinci. Awalnya saya bermaksud menulis secara anonim, dengan hanya mencantumkan nomor tawanan saya. Namun ketika naskah selesai ditulis, saya sadar, bahwa naskah ini akan kehilangan seba­ gian nilainya jika penulisnya anonim; bahwa saya harus punya keberanian untuk mengutarakan keyakinan saya secara terbuka. Karena itu saya menahan diri untuk tidak menghapus bagian mana pun, meskipun saya tidak menyu­ kai pengungkapan tersebut.

Saya serahkan kepada pembaca untuk menyaring isi buku ini menjadi teori-teori yang siap pakai. Teori-teori tersebut mungkin bisa menjadi sumbangan tentang kehidupan psikologis para tawanan, yang mulai diteliti setelah Perang Dunia Pertama, yang kemudian memperkenalkan kepada kita sebuah sindrom yang lazim dikenal dengan nama “sindrom kawat berduri.” Kita juga berutang pada Perang Dunia Kedua yang telah memperkaya khazanah pengetahuan kita yang terkait dengan “psikopatologi massa” (jika saya boleh mengutip kalimat dan judul sebuah buku yang ditulis LeBon), karena perang telah memperkenalkan arti perang urat syaraf dan kamp konsentrasi.

Karena buku ini berkisah tentang pengalaman saya se­bagai seorang tawanan biasa, saya harus mengatakan, dengan bangga, bahwa saya tidak pernah dipekerjakan sebagai psikiater, bahkan tidak sebagai dokter, di kamp tersebut, kecuali selama beberapa minggu terakhir. Beberapa rekan sejawat saya cukup beruntung karena dipekerjakan di dalam unit-unit palang merah dengan kondisi buruk, untuk memasang perban yang terbuat dari potongan-potongan kertas bekas. Namun saya, tawanan nomor 119.104, ham­ pir sepanjang waktu ditugaskan untuk menggali dan membuat lintasan jalan kereta api. Sekali waktu saya harus menggali sebuah terowongan, tanpa bantuan siapa pun, untuk menempatkan pipa utama saluran air di bawah sebuah jalan. Keberhasilan saya ternyata cukup dihargai karena sesaat sebelum hari Natal 1944, saya dihadiahi “kupon premium.” Kupon tersebut dikeluarkan oleh sebuah perusahaan bangunan yang mempekerjakan tawanan sebagai budak: perusahaan tersebut membayar kepada pihak berwenang di kamp dengan harga tertentu untuk setiap tawanan. Kupon tersebut memiliki nilai tukar setara dengan lima puluh pfennig (sen Jerman), dan bisa ditukar dengan enam batang rokok, biasanya beberapa minggu kemudian, meskipun kadang kupon-kupon seperti itu bisa saja kehilangan validitasnya. Saya dengan bangga menjadi pemilik dari kupon yang nilainya setara dengan dua belas batang rokok. Yang lebih penting lagi, rokok-rokok tersebut bisa ditukar dengan dua belas mangkuk sup, dan dua belas mangkuk sup bisa benar-benar mengobati rasa lapar.

Hak istimewa untuk merokok sebenarnya hanya diberikan kepada para Capo yang menerima kupon mingguan;­ atau diberikan kepada tawanan yang bekerja sebagai mandor di gudang atau bengkel, yang menerima beberapa batang rokok sebagai imbalan atas tugas yang berbahaya. Satu-satunya kekecualian terjadi pada tawanan yang sudah kehilangan kemauan untuk hidup dan ingin “menikmati” hari-hari terakhir mereka. Jadi, jika kami melihat seorang tawanan mengisap rokoknya sendiri, kami tahu bahwa tawanan tersebut telah kehilangan kepercayaan pada kekuatannya untuk bertahan, dan sekali kepercayaan itu hilang, keinginan untuk hidup biasanya tidak akan pernah kembali lagi.

Jika orang mengamati sejumlah besar bahan yang dikumpulkan­ berdasarkan pengalaman dan pengamatan ter­ hadap para tawanan, ada tiga fase yang dilalui para tawanan sebagai reaksi mental mereka terhadap kehidupan di kamp konsentrasi, yaitu: periode awal, ketika tawanan mulai masuk ke kamp konsentrasi; periode kedua, ketika para tawanan mulai dikelilingi oleh rutinitas kehidupan kamp, dan periode setelah pelepasan dan pembebasan tawanan.

  Gejala yang menandai fase pertama adalah syok (terguncang jiwanya). Pada kondisi-kondisi tertentu, syok bahkan terjadi sebelum tawanan secara formal masuk ke dalam kamp konsentrasi. Sebagai contoh, saya akan men­ ceritakan tentang kondisi ketika saya mulai masuk ke dalam kamp konsentrasi.

  Seribu lima ratus tawanan menempuh perjalanan dengan kereta api selama beberapa hari beberapa malam: setiap­ gerbong berisi 80 tawanan. Semua tawanan harus duduk di atas kopor berisi sisa-sisa harta benda mereka.

Gerbong-gerbong tersebut begitu penuh sesak, sehingga hanya bagian atas jendela saja yang masih terbuka agar cahaya fajar yang kelabu dapat masuk. Setiap orang mengira kereta akan menuju ke pabrik amunisi, tempat kami akan dipekerjakan sebagai pekerja paksa. Kami tidak tahu apakah kami masih berada di Silesia atau sudah di Polandia. Peluit kereta mengeluarkan suara aneh, seperti jeritan minta tolong sebagai rasa simpati terhadap para penumpangnya yang akan dibawa menemui ajalnya. Kemudian kereta api melambat, menandakan sedang mendekati sebuah stasiun utama. Sebuah teriakan tiba-tiba muncul dari kerumunan penumpang yang cemas, “Ada tanda bertuliskan Auschwitz!” Jantung semua orang tiba-tiba berhenti berdetak. Auschwitz—nama yang mewakili semua bentuk kengerian: kamar gas, kamar pembakaran mayat, pembantaian massal. Perlahan-lahan, kereta api bergerak lagi, seakan-akan ingin membiarkan para penumpangnya selama mungkin meresapi kenyataan yang sangat menakutkan: Auschwitz!

Seiring kemunculan fajar, gambaran sebuah kamp yang besar mulai tampak: barisan panjang pagar kawat berduri; menara-menara pengamat; lampu sorot; dan barisan pan-jang sosok-sosok manusia yang compang-camping, tampak kelabu di tengah kelabunya suasana pagi, berjalan menyu-suri jalan-jalan yang sunyi. Tak satu pun di antara kami yang tahu ke mana tujuan mereka. Di sana-sini terdengar teriakan dan suara peluit komando. Kami juga tidak tahu artinya. Khayalan saya membuat saya melihat tiang gantungan dengan tubuh-tubuh yang tergantung di bawahnya. Saya sangat ketakutan, tetapi itu hal yang lazim, karena setahap demi setahap kami harus membiasakan diri dengan kengeri-an yang mencekam dan menakutkan.

  Akhirnya kereta yang kami tumpangi memasuki stasiun. Keadaan hening sejenak, yang segera disusul oleh teriakan-teriakan yang memberi perintah. Mulai saat itu, kami akan terbiasa mendengar nada yang kasar dan nyaring seperti itu, teriakan yang diulang-ulang di seantero kamp. Suara teriakan itu seperti jeritan terakhir seorang korban, tetapi berbeda. Suara serak dan kering yang kami dengar itu seolah-olah berasal dari tenggorokan seseorang yang harus terus-menerus berteriak seperti itu, seseorang yang dibunuh berulang-ulang kali. Pintu gerbong dibuka lebar, dan sekelompok tawanan merangsek masuk. Mereka mengenakan seragam bergaris, kepala mereka plontos, tetapi mereka tidak tampak kelaparan. Mereka semua bicara dalam berbagai bahasa Eropa, dan nadanya seperti mengandung humor, sesuatu yang janggal mengingat kondisinya. Seperti orang nyaris tenggelam yang bergantung pada seutas jerami, rasa optimisme saya (yang kerap mengendalikan perasaan saya, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan) bergantung pada pikiran ini: para tawanan ini tampak baik-baik saja, mereka tampak bersemangat, dan bahkan tertawa. Siapa tahu? Barangkali saya juga bisa berada dalam posisi menguntungkan seperti mereka.

Dalam psikiatri, ada sebuah kondisi yang disebut “delusion of reprieve” (mengkhayalkan penangguhan hukuman mati). Seorang terpidana mati, sesaat sebelum hukuman dilaksanakan, berkhayal bahwa dia akan diampuni pada menit-menit terakhir. Kami pun bergantung pada secercah harapan seperti itu, dan terus percaya bahwa keadaan tidak seburuk seperti yang kami bayangkan. Pipi merah dan wajah bulat para tawanan itu cukup membesarkan hati kami. Saat itu kami tidak tahu bahwa mereka adalah para tawanan khusus, yang selama bertahun-tahun ditugaskan menerima kelompok-kelompok tawanan baru yang setiap hari datang di stasiun tersebut. Mereka menangani para tawanan baru dan barang-barang bawaan mereka, termasuk benda-benda berharga dan perhiasan yang diselundupkan. Auschwitz pasti merupakan sebuah daerah unik di Eropa selama tahun-tahun terakhir perang. Banyak harta terbuat dari emas dan perak, emas putih, dan berlian, yang tersimpan tidak hanya di gudang-gudang yang besar, tetapi juga di tangan para serdadu Nazi.

Seribu lima ratus tawanan terkurung di dalam barak yang barangkali dibangun untuk menampung paling banyak dua ratusan tawanan. Kami kedinginan dan kelaparan, dan tempat yang ada tidak memungkinkan setiap tawanan duduk di lantai yang terbuka, apalagi berbaring. Seperlima ons roti adalah jatah makanan yang kami peroleh untuk empat hari. Namun, saya mendengar sendiri seorang tawanan senior yang mengepalai sebuah barak tawanan melakukan tawar-menawar dengan anggota kelompok tawanan penerima para tawanan baru, untuk sebuah penjepit dasi yang terbuat dari emas putih dan berlian. Hampir semua keuntungan pada akhirnya akan ditukar dengan minuman keras—schnapp. Saya tidak ingat lagi berapa ribu mark yang dibutuhkan para tawanan untuk membeli sejumlah minuman keras yang dibutuhkan untuk menciptakan "malam yang meriah". Yang saya tahu adalah bahwa para tawanan jangka panjang tersebut benar-benar membutuhkan minuman keras. Dalam kondisi seperti itu, siapa yang bisa menyalahkan mereka jika mereka berusaha membuat diri mereka mabuk? Ada juga kelompok tawanan yang mendapat jatah minuman keras dari serdadu Nazi dalam jumlah yang hampir-hampir tidak terbatas: mereka adalah tawanan yang dipekerjakan di kamar-kamar gas dan krematorium, para tawanan yang sangat menyadari bahwa suatu hari nanti mereka akan digantikan oleh sekelompok tawanan baru, dan terpaksa harus melepaskan peran yang mereka terima sebagai orang yang menjatuhkan hukuman untuk kemudian sendirinya menjadi korban.

Hampir semua orang di gerbong kami berkhayal bahwa mereka akan diampuni, bahwa semua akan baik-baik saja. Kami saat itu tidak menyadari makna dari peristiwa yang menyusul kemudian. Kami diminta untuk meninggalkan barang-barang bawaan kami di dalam gerbong kereta api, kemudian membentuk dua barisan—wanita di satu sisi, dan pria di sisi lain—untuk diperiksa oleh seorang serdadu SS senior. Anehnya, saya memiliki keberanian untuk menyem­ bunyikan ransel saya di balik jaket saya. Barisan saya mulai maju untuk diperiksa si serdadu, satu demi satu. Saya sadar, akan sangat berbahaya jika serdadu itu menemukan ransel yang saya sembunyikan. Setidaknya, dia akan menghajar saya; saya tahu dari orang-orang yang berbaris sebelum saya. Secara naluriah, saya berdiri tegak saat mendekati si serdadu, supaya dia tidak menyadari bahwa saya membawa beban yang berat. Kemudian saya berhadapan langsung dengannya. Tubuhnya tinggi dan tampak ramping dan bugar dalam seragamnya yang tanpa noda. Betapa kontrasnya dengan kami semua yang tampak kusut dan kotor setelah menempuh perjalanan panjang! Serdadu itu bersikap santai, tangan kirinya menopang siku kanannya. Tangan kanannya terangkat, dan dengan telunjuknya dia menunjuk ke kanan atau ke kiri dengan santai. Tidak satu pun dari kami yang mengerti, makna di balik gerakan jarinya yang kadang-kadang menunjuk ke kanan, dan kadang-kadang ke kiri, tetapi jauh lebih sering menunjuk ke kiri.

Sekarang tiba giliran saya. Seseorang berbisik pada saya, bahwa ke kanan berarti bekerja, sedangkan ke kiri berarti mereka yang dianggap sakit dan tidak bisa bekerja, yang akan dikirim ke sebuah kamp khusus. Saya biarkan takdir menentukan jalan hidup saya, yang pertama dari begitu banyak takdir yang nantinya datang kepada saya. Ransel saya membuat tubuh saya sedikit condong ke kiri, tetapi saya berusaha keras agar bisa berdiri tegak. Si serdadu mengamati saya dengan cermat, dia tampak ragu-ragu, lalu meletakkan kedua tangannya di atas bahu saya. Saya berusaha­ keras agar tampak cerdas, dan dengan sangat perlahan dia mendorong bahu saya sampai wajah saya menghadap ke kanan, dan saya pun bergerak ke arah kanan.

  Makna permainan telunjuk tersebut dijelaskan kepada kami ketika malam tiba. Itu adalah seleksi yang pertama, keputusan pertama tentang hidup atau mati kami. Bagi sebagian besar tawanan yang datang bersama saya, kira-kira 90 persen, permainan telunjuk itu identik dengan kematian. Hukumannya dilaksanakan hanya dalam waktu beberapa jam kemudian. Mereka yang dikirim ke sebelah kiri akan langsung dibariskan dari stasiun menuju ruang pembakaran mayat. Di pintu-pintu bangunan tersebut, seperti yang diceritakan seseorang yang bekerja di sana kepada saya, tercetak kata “mandi” yang ditulis dalam beberapa bahasa Eropa. Sebelum memasuki bangunan, setiap tawanan diberi sepotong sabun, dan kemudian—saya tidak perlu menggambarkan peristiwa yang terjadi kemudian. Sudah banyak cerita yang ditulis tentang peristiwa mengerikan tersebut.

Kami yang selamat, sebagian kecil dari tawanan yang dipindahkan bersama saya, baru mengetahui kejadian yang sebenarnya ketika malam tiba. Kepada beberapa tawanan yang sudah tinggal di kamp itu selama beberapa waktu, saya bertanya dibawa ke mana rekan dan teman saya, P.

 “Apa dia dikirim ke sebelah kiri?” “Ya,” jawab saya.

 “Kalau begitu, Anda bisa melihatnya di sana,” jawabnya. “Di mana?” Seseorang menunjuk ke arah cerobong asap, beberapa ratus meter jauhnya dari halaman; cerobong yang sedang mengeluarkan kepulan asap kelabu ke langit Polandia. Kepulan asap tersebut berubah menjadi gumpalan awan yang menakutkan.

 “Di sanalah teman Anda sekarang, terbang menuju sur-ga,” jawabnya. Namun, saya masih belum mengerti, sampai dia menjelaskan semuanya dengan kata-kata yang gamblang. Namun cerita mengenai pengalaman saya ini sebenarnya tidak sesuai urutannya. Dari sudut pandang psikologis, kami masih mengalami banyak sekali kejadian, mulai dari me-nyingsingnya fajar di stasiun sampai istirahat malam yang pertama di kamp.

Dengan dikawal oleh para tentara SS yang bersenjata api, kami dipaksa berlari dari stasiun, melewati kawat berduri yang dialiri arus listrik, masuk kamp konsentrasi, menuju tempat mandi; bagi kami yang berhasil lolos dari seleksi pertama, ini merupakan mandi yang sesungguhnya. Sekali lagi khayalan kami tentang hukuman yang ditunda menjadi kenyataan. Para serdadu SS hampir-hampir tampak menyenangkan. Dengan cepat kami mengetahui alasannya. Mereka bersikap baik kepada kami karena melihat jam tangan di lengan kami, dan membujuk kami dengan nada yang mengandung niat baik, agar kami menyerahkannya kepada mereka. Bagaimanapun kami harus menyerahkan semua harta benda kami, jadi kenapa tidak menyerahkannya kepada orang-orang yang tampaknya cukup baik itu? Siapa tahu, suatu hari dia akan membalas jasa kami.

  Kami menunggu di sebuah barak yang sepertinya merupakan ruang tunggu yang terhubung dengan kamar mandi. Para serdadu SS muncul, dan menghamparkan beberapa lembar selimut. Kami harus melemparkan semua harta benda kami ke atasnya, termasuk jam tangan dan perhiasan. Masih ada beberapa tawanan baru yang dengan naif bertanya—pertanyaan yang membuat geli tawanan lain yang sudah tinggal lebih lama, yang bertindak sebagai pembantu—bolehkah mereka menyimpan cincin kawin, medali, atau jimat keberuntungan mereka. Sepertinya orang-orang belum mengerti bahwa semua harta benda mereka akan dirampas.

Saya mencoba mengatakan satu rahasia kepada salah seorang tawanan lama. Diam-diam saya mendekatinya, lalu menunjuk pada gulungan kertas di kantung dalam jaket saya, dan berkata, “Lihat, ini adalah draf sebuah buku ilmiah. Saya tahu apa yang akan Anda katakan; bahwa saya harus bersyukur karena saya bisa tetap hidup, bahwa itulah yang seharusnya saya minta dari takdir saya. Namun, saya tidak bisa menahan diri saya. Saya harus menyimpan naskah ini, apa pun risikonya; ini merupakan karya seumur hidup saya. Mengertikah Anda?”

  Sepertinya dia mulai paham. Perlahan-lahan sebuah senyuman muncul di wajahnya; mula-mula senyum yang diwarnai rasa kasihan, lalu lebih mengarah pada rasa geli, mengejek, menghina, dan akhirnya dia melontarkan satu kata sebagai jawaban atas pertanyaan saya, sebuah kata yang ada dalam perbendaharaan-kata setiap tawanan: “Tahi!” Saat itu juga saya melihat sebuah kebenaran yang sederhana, dan melakukan sesuatu yang menandai titik puncak dari reaksi psikologis fase pertama saya: Saya membuang seluruh kehidupan masa lalu saya.

  Tiba-tiba muncul keributan di antara rekan-rekan sesama tawanan yang sedang berdiri dengan muka pucat, ketakutan, berdebat tanpa daya. Sekali lagi, kami mendengar perintah yang diteriakkan dengan suara serak. Kami dipaksa dengan pukulan untuk masuk ke dalam ruangan yang terletak di sebelah kamar mandi. Di tempat itu kami berkumpul mengelilingi seorang serdadu SS yang menunggu sampai kami semua tiba. Kemudian dia berkata, “Saya akan memberi kalian waktu dua menit, dan menghitung dengan jam saya. Dalam waktu dua menit tersebut, kalian harus melepaskan semua pakaian dan menjatuhkannya ke atas lantai di tempat kalian berdiri. Kalian tidak boleh membawa apa pun kecuali sepatu, ikat pinggang atau bretel, dan barangkali pembalut luka. Saya akan menghitung—mulai sekarang!”

Dengan kecepatan yang tidak terpikirkan, orang-orang mulai melepaskan pakaian mereka. Ketika waktu yang ditetapkan hampir habis, mereka menjadi bertambah gugup dan dengan canggung menarik pakaian dalam, ikat pinggang, dan tali sepatu mereka. Kemudian, untuk pertama kalinya, kami mendengar suara cambukan; bunyi sabuk kulit yang mengenai tubuh yang telanjang.

  Setelah itu kami digiring memasuki sebuah ruangan lain untuk dicukur; tidak hanya rambut di kepala saja; tidak satu pun rambut di seluruh tubuh kami yang dibiarkan tersisa. Sebelum kembali ke kamar mandi, sekali lagi kami diba-riskan. Kami hampir-hampir tidak saling mengenali; tetapi beberapa orang merasa sangat lega ketika melihat bahwa pancuran di sana benar-benar mengeluarkan air.

Sementara kami menunggu acara mandi selesai, ketelan­ jangan kami membuat kami menyadari: bahwa kami benar-benar tidak memiliki apa pun kecuali tubuh kami—bahkan rambut pun tidak. Yang kami miliki, secara harfiah, hanyalah eksistensi kami yang telanjang. Benda apa yang masih kami miliki, yang mengikat kami dengan kehidupan masa lalu? Bagi saya, masih ada kacamata dan ikat pinggang. Ikat pinggang yang kelak harus saya tukar dengan sepotong roti. Masih ada sedikit kejutan yang menanti mereka yang memakai kain bebat. Malam harinya, seorang tawanan senior yang bertanggung jawab atas barak kami menyambut dengan sebuah pidato yang disertai janji, bahwa dia sendiri akan menggantung, “dari palang itu”—tangannya menunjuk ke sebuah palang kayu—setiap orang yang menjahitkan uang atau batu berharga ke kain bebat mereka. Dengan bangga dia menjelaskan, bahwa sebagai tawanan senior, hukum di kamp memberinya hak untuk melakukan hal itu.

Dalam hal sepatu, masalahnya ternyata tidak sese­ derhana itu. Meskipun kami boleh tetap memakai sepatu kami, tawanan yang memakai sepatu yang cukup bagus ternyata pada akhirnya harus menyerahkan sepatunya untuk ditukar dengan sepatu lain yang tidak sesuai ukuran. Yang kasihan adalah para tawanan baru yang mengikuti saran dari para tawanan senior; saran yang kelihatannya diberikan dengan niat baik (di ruangan yang bersebelahan dengan kamar mandi) agar mereka memotong bagian atas sepatu bot mereka dan melumuri bagian yang baru dipotong dengan sabun untuk menutupi bekas potongannya. Para serdadu SS sepertinya sudah menantikan hal ini. Semua tawanan yang dituduh melakukan hal tersebut digiring masuk ke sebuah ruang kecil di samping kamar mandi. Beberapa saat kemudian sekali lagi kami mendengar bunyi cambukan ikat pinggang bercampur jeritan para korban. Kali ini suara–suara tersebut terdengar cukup lama.

Dengan demikian, semua khayalan kami satu per satu dihancurkan; kemudian, secara tak terduga, kami semua diliputi rasa humor yang menyakitkan. Kami tahu bahwa kami tidak bisa kehilangan apa-apa lagi kecuali hidup kami yang benar-benar telanjang. Ketika air mulai mengalir, kami semua berusaha keras untuk melucu, baik tentang diri kami sendiri maupun tentang sesama tawanan. Paling tidak, air benar-benar mengalir dari pancuran tersebut.

  Selain rasa humor yang aneh tersebut, sebuah sensasi lain menyelimuti diri kami: rasa ingin tahu. Saya pernah merasakan sensasi serupa sebagai reaksi terhadap kondisi yang asing. Misalnya, ketika saya menghadapi bahaya akibat kecelakaan saat memanjat tebing, di saat-saat kritis saya hanya bisa merasakan satu sensasi: rasa ingin tahu; bisakah saya keluar hidup-hidup dari krisis itu, atau apakah saya akan bertahan hidup, tetapi dengan tengkorak retak, atau luka yang lain.

  Rasa ingin tahu yang kuat menguasai diri saya di Ausch-witz, membuat pikiran saya terpisah dari keadaan sekeliling saya, sesuatu yang bisa dianggap sebagai sejenis objektivi-tas. Pada saat itu, seseorang mengembangkan kondisi pikir-an seperti itu dalam upayanya untuk melindungi diri. Kami menunggu dengan harap-harap cemas, apa yang akan terjadi kemudian; dan apa akibatnya, misalnya, jika kami berdiri di udara terbuka, di bawah udara musim gugur yang dingin, telanjang bulat, dengan badan yang masih basah karena baru selesai mandi. Beberapa hari kemudian, rasa ingin tahu kami berubah menjadi rasa terkejut; terkejut karena kami tidak terjangkit flu.

Banyak kejutan serupa yang menyambut para tawanan baru. Rekan-rekan sesama tawanan yang dulunya berkecimpung di dunia medis menjadi yang pertama yang menyadari: “Buku-buku pelajaran ternyata bohong!” Dalam buku tertulis bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa tidur kurang dari sekian jam. Benar-benar salah! Saya juga selalu yakin bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa saya lakukan: Saya tidak bisa tidur tanpa ini, atau saya tidak bisa hidup tanpa ini, atau tanpa itu. Malam pertama di Auschwitz, kami semua tidur di atas tempat tidur susun. Setiap tingkat (berukuran enam setengah kali delapan kaki) diisi delapan orang, yang tidur langsung di atas papan. Dua selimut dipakai oleh sembilan orang. Tentu saja kami hanya bisa tidur menyamping, berdesak-desakan dan saling himpit, yang cukup bermanfaat mengingat dinginnya udara saat itu. Meskipun kami tidak diperkenankan membawa sepatu ke atas tempat tidur, beberapa orang dengan diam-diam menggunakan sepatu sebagai bantal, meskipun sepatu itu berlumuran lumpur. Jika tidak, kepala mereka harus diletakkan di atas lengan yang terasa nyaris terlepas. Meskipun demikian, kami semua bisa tidur, membuat kami dapat melupakan segalanya, dan membebaskan kami dari rasa sakit selama beberapa jam.

Saya juga ingin menyinggung sejumlah kejutan kecil tentang ketahanan tubuh: kami tidak pernah bisa mem­ bersihkan gigi. Meskipun demikian, dan meskipun kami kekurangan vitamin, geraham kami lebih sehat daripada sebelumnya. Kami harus memakai kemeja yang sama selama setengah tahun, sampai kemeja itu tak tampak lagi seperti kemeja. Berhari-hari kami tidak bisa membasuh badan, meskipun sebagian saja, karena pipa-pipa saluran air membeku, tetapi luka dan lecet di tangan kami yang kotor karena bekerja di dalam lumpur tidak bernanah (kecuali jika ada yang mengalami radang dingin). Atau misalnya, orang-orang yang mudah terganggu saat tidur, mereka yang biasanya terbangun hanya oleh suara samar yang datang dari kamar sebelah, mendapati dirinya tidur berimpit dengan rekan lain yang mendengkur keras, hanya beberapa senti dari telinganya, tetapi tetap tidur nyenyak di tengah suara bising tersebut.

  Jika seseorang sekarang bertanya kepada kami tentang kebenaran teori Dostoevski yang secara tegas menyatakan bahwa manusia bisa terbiasa dengan kondisi apa pun, maka kami akan menjawab, “Benar, manusia memang bisa membiasakan diri dengan kondisi apa pun, tetapi jangan minta kami menjelaskannya.” Namun, penyelidikan psiko­ logis kami belum membawa kami sejauh itu; kami para tawanan juga belum sampai ke titik tersebut. Kami masih berada dalam fase pertama dari reaksi psikologis kami.

Keinginan untuk bunuh diri tebersit dalam benak hampir semua orang, meskipun hanya untuk sejenak. Keinginan itu muncul akibat situasi yang tanpa harapan, karena kematian yang selalu mengintai kami setiap hari dan setiap jam. Kedekatan dengan maut dirasakan oleh banyak tawanan lainnya. Berdasarkan keyakinan pribadi yang akan saya bahas kemudian, saya berjanji kepada diri sendiri, sejak malam pertama saya tiba di kamp, bahwa saya tidak akan “berlari ke arah kawat berduri.” Metode bunuh diri ini sangat populer di kamp—menyentuh kawat berduri yang dialiri aliran listrik. Bukan hal yang sulit untuk mengambil keputusan untuk tidak bunuh diri. Bunuh diri hampir-hampir tidak ada gunanya, karena harapan hidup sebagian besar tawanan—jika dihitung secara objektif, dan ditinjau dari segala kemungkinan—benar-benar kecil. Seseorang tidak bisa merasa yakin dirinya masuk dalam sekelompok kecil orang-orang yang bisa lolos dari berbagai seleksi. Para tawanan di Auschwitz yang sudah melalui periode syok yang pertama, tidak lagi takut terhadap kematian. Bahkan kamar gas pun setelah beberapa hari telah kehilangan kengeriannya—sebaliknya, kamar gas bisa menyelamatkan mereka dari tindakan bunuh diri.

Beberapa teman yang saya temui di kemudian hari berkata kepada saya bahwa saya tidak termasuk tawanan yang sangat tertekan oleh syok ketika pertama memasuki kamp konsentrasi. Saya hanya tersenyum, dengan cukup tulus, ketika menyaksikan kejadian pada pagi hari pertama setelah kami melewati malam pertama di Auschwitz. Meskipun ada larangan keras untuk meninggalkan “blok” kami, salah seorang teman saya yang tiba di Auschwitz beberapa minggu sebelumnya, menyelundup ke dalam barak kami. Dia ingin menenangkan dan membuat kami sedikit nyaman dengan mengingatkan kami tentang beberapa hal. Tubuhnya sudah berubah menjadi sangat kurus, sehingga pada awalnya kami tidak mengenali dia. Dengan sikap lucu dan santai, dia memberi kami beberapa saran pendek: “Jangan takut! Jangan takut dengan seleksi! Dr. M—(serdadu SS  yang juga dokter kepala) cenderung bersikap lunak terhadap sesama dokter.” (Ternyata itu salah; saran teman saya yang diberikan dengan maksud baik ternyata tidak benar.

 Salah satu tawanan, seorang dokter, pria berusia sekitar enam puluh tahun yang ditugasi menangani beberapa barak, berkata kepada saya bagaimana dia memohon kepada Dr. M— agar membebaskan anak laki-lakinya dari kamar gas. Dengan dingin Dr. M menolak permohonan tersebut).

  “Satu hal yang saya minta dari Anda semua,” teman saya menambahkan, “bercukurlah setiap hari, kalau memungkinkan, meskipun untuk itu Anda harus memakai sepotong kaca ... dan untuk mendapatkannya Anda harus menukarnya dengan potongan roti Anda yang terakhir. Anda akan tampak lebih muda, dan parutan bekas cukur akan membuat pipi Anda tampak lebih sehat. Jika Anda semua ingin tetap hidup, hanya ada satu cara: Anda harus tampak sehat untuk bekerja. Jika Anda sedikit pincang, katakanlah karena tumit Anda lecet, dan seorang serdadu SS melihat hal ini, dia akan menyuruh Anda menepi, dan keesokan harinya Anda pasti dimasukkan ke dalam kamar gas. Orang yang tampak sengsara, lemah, sakit-sakitan dan kurus; orang yang tidak sanggup lagi melakukan kerja berat cepat atau lambat akan masuk ke dalam kamar gas. Karena itu, ingat: bercukur, berdiri dan berjalan dengan tegap; maka Anda tidak perlu takut pada kamar gas. Anda semua yang berdiri di gubuk ini, meskipun baru berada di sini selama dua puluh empat jam, Anda semua tidak perlu takut pada kamar gas, kecuali Anda,” katanya sambil menunjuk ke arah saya. Kemudian dia melanjutkan, “Saya harap Anda tidak keberatan jika saya berterus terang.” Kepada yang lain dia berkata sekali lagi, “Dari Anda semua, hanya dia yang boleh merasa takut terhadap seleksi berikutnya. Jadi, jangan khawatir.”

  Saya hanya tersenyum. Sekarang saya yakin, bahwa semua orang yang mengalami hal serupa dengan saya pada hari itu, akan melakukan hal yang sama.

  Saya kira Lessing-lah yang pernah berkata, “Ada hal-hal yang membuat Anda kehilangan akal sehat, atau Anda sama sekali tidak punya akal sehat yang bisa hilang.” Reaksi abnormal terhadap situasi abnormal merupakan tingkah laku yang normal. Bahkan kami, para psikiater, berharap bahwa setiap manusia akan bereaksi terhadap suatu situasi abnormal, misalnya jika seseorang dimasukkan ke rumah sakit jiwa, maka dia akan berekasi abnormal sesuai dengan tingkat kenomalannya. Reaksi seseorang saat dia dimasukkan ke sebuah kamp konsentrasi juga mencerminkan kondisi pikiran yang tidak normal, tetapi jika ditinjau secara objektif, reaksinya merupakan hal yang normal—seperti yang akan ditunjukkan kemudian—sebuah reaksi khusus akibat kondisi-kondisi khusus. Reaksi-reaksi ini, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, mulai berubah setelah beberapa hari. Para tawanan beralih dari fase pertama ke fase kedua; yaitu fase apatis yang relatif, ketika dia mengalami kematian emosi.

Selain reaksi-reaksi yang digambarkan di atas, para tawanan yang baru tiba akan mengalami siksaan emosional yang sangat berat, yang berusaha ia lenyapkan. Pertama, muncul kerinduan tak terhingga terhadap rumah dan keluarganya. Kerinduan seperti ini sering kali menjadi semakin dalam sehingga ia merasa dirinya dihancurkan oleh kerinduan tersebut. Kemudian muncul rasa benci; kebencian terhadap segala keburukan di sekelilingnya, bahkan yang hanya berbentuk penampakan luar sekalipun.

  Hampir semua tawanan diberi seragam bekas, seragam yang membuat pakaian orang-orangan sawah tampak elegan. Jalan-jalan di antara barak tawanan penuh dengan kotoran, dan semakin keras upaya kita untuk membersihkannya, semakin kotor tubuh kita. Membersihkan kakus dan saluran pembuangan adalah tugas favorit yang kerap diberikan sebagai tugas kelompok kepada para tawanan yang baru tiba. Jika, seperti yang sering terjadi, sebagian dari kotoran manusia tepercik mengotori wajah mereka dalam pengangkutan menuju pembuangan karena kondisi jalan yang bergelombang, tawanan yang menunjukkan rasa jijik, atau tawanan yang berusaha membersihkan wajah mereka akan dihadiahi pukulan oleh seorang Capo. Kondisi ini semakin mempercepat musnahnya reaksi normal.

Pada awalnya, seorang tawanan akan memalingkan wajah bila ia melihat kelompok tawanan lain yang sedang dihukum; ia tidak tahan melihat rekan-rekannya sesama tawanan berbaris bolak-balik selama berjam-jam di jalan yang berlumpur, di bawah ancaman cambuk. Beberapa hari atau beberapa minggu kemudian, keadaan mulai berubah. Pagi-pagi sekali, ketika hari masih gelap, tawanan yang sama berdiri di depan pintu dengan kelompoknya, siap untuk berbaris. Tawanan tersebut mendengar jeritan, dan melihat salah satu rekannya sesama tawanan dipukul jatuh, berdiri kembali, dan sekali lagi terjatuh—mengapa? Tawanan tersebut merasa tubuhnya demam, dan melapor ke gubuk kesehatan, tetapi waktunya tidak tepat. Dia sedang dihukum karena dianggap berupaya menghindari pekerjaan.

  Namun, tawanan yang sudah masuk ke dalam reaksi psikologi fase kedua tidak lagi mengalihkan pandangannya. Saat itu perasaannya sudah bebal sehingga dia melihat kejadian tersebut tanpa merasakan apa pun. Contoh lain: suatu hari seorang tawanan sedang menunggu di unit kesehatan, meminta agar dia diberi tugas ringan di dalam kamp selama dua hari karena terluka, atau barangkali karena ada bagian tubuh yang melepuh, atau karena demam. Dia akan tetap berdiri tanpa merasa iba saat melihat seorang anak berusia dua belas tahun digotong ke dalam setelah si anak dipaksa berdiri berjam-jam di tengah cuaca bersalju, atau bekerja di udara terbuka dengan kaki telanjang karena di kamp tersebut tidak ada sepatu yang sesuai untuk kakinya. Jari-jari kaki si anak hancur karena radang dingin, dan dokter yang bertugas menarik ujung-ujung jari kaki yang sudah hitam karena gangren dengan pinset, satu demi satu. Jijik, seram, dan kasihan adalah emosi yang tidak bisa lagi dirasakan oleh si tawanan yang menonton. Orang-orang yang menderita, baik yang setengah mati atau sudah mati, sudah menjadi hal yang lazim baginya setelah dia berada dua minggu di kamp konsentrasi, sehingga keadaan mereka tidak lagi bisa menyentuh perasaannya.

  Saya sendiri pernah ditugaskan di barak para penderita tifus yang hampir semua penghuninya terserang demam tinggi; sebagian besar setengah sadar karena demam, dan sebagian sudah mendekati ajal. Setelah salah satu pasien meninggal dunia, saya menyaksikan peristiwa selanjutnya tanpa perasaan apa pun, dan ini terjadi berulang-ulang setiap kali ada pasien yang meninggal. Satu demi satu para tawanan mendekati tubuh yang masih hangat tersebut. Seorang tawanan mengambil sisa-sisa hidangan kentang yang sudah hancur, tawanan lain, yang merasa bahwa sepatu kayu yang dipakai almarhum lebih baik dari sepatu yang dipakainya, melepaskan dan menukarkannya. Tawanan ketiga mengambil jaketnya, dan tawanan lain merasa gembira karena dia bisa mengambil beberapa—bayangkan!—karet gelang.

Saya mengamati semua itu dengan acuh tak acuh. Akhirnya saya minta “perawat” untuk memindahkan mayat tersebut. Ketika si “perawat” memutuskan untuk melakukannya, dia memegang kaki mayat, menjatuhkannya ke lantai lorong di antara dua deretan tempat tidur pasien yang berisi kurang lebih lima puluh pasien tifus, dan menariknya melalui lantai tanah yang bergelombang menuju pintu keluar. Dua anak tangga yang terletak dekat pintu yang menuju ke udara terbuka selalu menyulitkan kami, karena kami benar-benar kelelahan akibat kurang makan. Setelah beberapa bulan tinggal di kamp, menaiki dua anak tangga yang masing-masing setinggi lima belas senti tersebut benar-benar menyulitkan sehingga kami harus berpegangan pada kusen pintu untuk menarik tubuh kami ke atas.

  Pria yang menarik mayat tersebut akhirnya tiba di muka tangga. Dengan kelelahan dia menyeret tubuhnya menaiki tangga. Kemudian dia menyeret tubuh mayat: mula-mula kakinya, kemudian badannya, dan terakhir kepalanya—dii-kuti suara benturan keras—ketika kepala mayat membentur kedua anak tangga tersebut.

Saya berada di sisi lain barak tersebut, di samping satu-satunya jendela yang dibangun rendah, hanya sedikit lebih tinggi dari lantai gubuk. Saat itu kedua tangan saya yang dingin sedang memegang semangkuk sup yang panas, yang saya seruput dengan rakus. Kebetulan saat itu saya melihat ke luar jendela. Mayat yang baru saja dibawa tersebut me-natap saya dengan matanya yang berkaca-kaca. Dua jam sebelumnya, saya masih berbicara dengan pria tersebut. Sekarang saya terus saja menyeruput sup saya.

  Kalau saja saya tidak merasa terkejut karena emosi saya sama sekali tidak tersentuh mengingat profesi saya, sekarang saya pasti tidak akan mengingat peristiwa itu, karena saat itu saya hampir-hampir tidak merasakan apa pun.

  Apati, menumpulnya berbagai emosi yang membuat seseorang tidak memedulikan apa pun, merupakan gejala yang muncul sebagai reaksi psikologis fase kedua, yang membuat seorang tawanan tidak lagi peka terhadap siksaan yang dialami dari hari ke hari, jam demi jam. Melalui ketidakpekaan tersebut para tawanan membungkus dirinya dengan kerangka perlindungan yang sangat diperlukan.

  Tawanan bisa dipukuli hanya karena sedikit provokasi, kadang-kadang tanpa alasan sama sekali. Contoh, jatah roti biasanya dibagikan di tempat kerja, dan kami semua harus berbaris untuk mendapatkannya. Suatu hari, seorang pria di samping saya berdiri agak ke luar barisan, dan ketidakteraturan itu membuat salah satu serdadu SS merasa kesal. Saya tidak tahu apa yang terjadi di barisan belakang saya, atau apa yang dipikirkan si serdadu, tetapi, tiba-tiba saja saya menerima pukulan keras di kepala. Baru kemudian saya melihat serdadu di samping saya menggunakan tongkatnya. Dalam peristiwa itu, bukan sakit fisik yang dirasa paling menyakitkan (dan ini berlaku untuk orang dewasa maupun anak-anak yang sering dihukum), melainkan penderitaan mental akibat ketidakadilan, akibat tidak masuk akalnya semua itu.

Anehnya, sebuah pukulan yang bahkan tidak mening-galkan bekas, dalam situasi tertentu bisa lebih menyakitkan dibandingkan pukulan yang menimbulkan bekas. Suatu hari saya sedang bekerja di lintasan jalan kereta api di tengah tiupan badai salju. Meskipun cuaca sangat buruk, kelompok kami harus tetap bekerja. Saya bekerja keras, memperbaiki jalan kereta api dengan menggunakan batu kerikil, karena itulah satu-satunya cara agar tubuh saya tetap hangat. Seje-nak saya berhenti untuk menarik napas, dan bersandar pada sekop saya. Sialnya, pada saat yang sama seorang pengawas menoleh, dan dia berpikir saya sedang bermalas-malasan. Rasa sakit yang ditimbulkan bukan muncul karena hinaan atau pukulan. Penjaga itu sama sekali tidak merasa perlu untuk bicara atau mengumpat sosok kurus dan compang-camping yang berdiri di hadapannya, yang mungkin hanya mengingatkan dia secara samar kepada bentuk tubuh manu-sia. Dia hanya mengambil sebuah batu dan melemparkannya kepada saya. Bagi saya, cara itu hanya dipakai untuk menarik perhatian binatang peliharaan untuk kembali melakukan tugasnya.

Bagian yang paling menyakitkan dari pukulan adalah hinaan yang menyertainya. Suatu kali kami ditugaskan mengangkut potongan-potongan balok panjang dan berat melalui jalan yang licin karena tertutup es. Jika seorang tawanan terjatuh, ia tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga tawanan lain yang sama-sama mengangkat balok tersebut bersamanya. Seorang teman lama saya menderita cacat bawaan pada tulang panggulnya. Meskipun cacat, dia senang bisa bekerja, karena para tawanan yang menderita cacat fisik biasanya tidak lolos dari seleksi kamar gas. Dia berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan licin dengan memanggul sebatang balok yang benar-benar berat, dan tampaknya bisa terjatuh setiap saat dengan membawa tawanan lain jatuh bersamanya. Saat itu, saya tidak sedang mengangkut balok, sehingga tanpa berpikir, saya langsung melompat untuk membantunya. Segera saja punggung saya dihantam pukulan, saya ditegur dengan kasar, dan diperintahkan untuk kembali ke tempat saya. Beberapa menit sebelumnya, serdadu yang sama berkata dengan nada mengejek, bahwa kami “para babi” sama sekali tidak memiliki rasa setia kawan.

  Di saat lain, kami sedang bekerja di tengah hutan di ba-wah cuaca beku 2° Fahrenheit. Kami sedang menggali lapis-an tanah yang membatu karena beku untuk memasang pipa saluran air. Waktu itu tubuh saya sudah benar-benar lemah. Seorang mandor dengan wajah bulat kemerahan datang mendekat. Wajahnya benar-benar mengingatkan saya pada kepala seekor babi. Saya melihat dia memakai sarung tangan yang indah dan hangat di tengah cuaca dingin dan membe-ku saat itu. Untuk sesaat orang itu menatap saya dengan pandangan tajam, tanpa berkata apa pun. Saya menduga kesulitan akan segera datang, karena gumpalan tanah yang teronggok di hadapan saya menunjukkan seberapa dalam saya telah menggali.

Kemudian mandor itu berkata: “Hai, kamu babi, saya sudah mengamati kamu sejak tadi! Saya belum mengajari kamu cara bekerja! Tunggu saja sampai kamu harus menggali dengan gigimu—kamu pasti akan mati seperti seekor binatang! Saya akan menghabisi kamu dalam dua hari! Kamu pasti tidak pernah bekerja seumur hidupmu! Apa kerjamu dulu, babi? Pengusaha?”

  Saya sudah tidak lagi peduli. Saya merasa harus menanggapi ancamannya untuk membunuh saya secara sungguh­-sungguh, sehingga saya berdiri tegak, dan menatap langsung ke matanya. “Saya seorang dokter—seorang spesialis.” “Apa? Seorang dokter? Saya berani bertaruh, kamu mendapat banyak uang dari orang-orang.”

  “Kebetulan, saya sama sekali tidak bekerja untuk uang. Saya bekerja di sebuah klinik khusus untuk orang miskin.” Namun, saat itu saya sudah bicara terlalu banyak. Orang itu melompat menghampiri saya, dan memukul saya hingga jatuh, kemudian dia berteriak seperti seorang gila. Saya tidak ingat lagi, apa yang dia katakan.

Melalui cerita yang tak terlalu penting ini saya ingin menunjukkan, bahwa ada saatnya kemarahan dapat timbul dari seorang tawanan yang kelihatannya sudah bebal sekalipun—kemarahan bukan karena kekejaman atau rasa sakit, tetapi karena hinaan yang terkait dengan hal itu. Saat itu, saya merasa darah mengalir naik ke kepala saya, karena saya harus mendengarkan seseorang menghakimi hidup saya, yang tidak dia ketahui sama sekali. Pria yang (saya harus mengakui bahwa kata-kata berikut, yang saya ucapkan kepada seorang tawanan lain sesaat setelah peristiwa itu, memberi saya perasaan lapang yang bersifat kekanak-kanakan) “tampak sangat kasar dan brutal tersebut, bahkan tidak akan diizinkan oleh perawat saya untuk masuk ke dalam ruang tunggu pasien luar di rumah sakit saya.”

  Untungnya Capo di dalam kelompok kerja saya ber­ hutang budi kepada saya; dia menyukai saya karena saya pernah mendengarkan dia menceritakan kisah cinta dan masalah keluarga yang dihadapinya dalam sebuah per­ jalanan panjang menuju tempat kerja. Diagnosis saya tentang karakternya, dan saran-saran psikoterapis yang saya berikan kepadanya membuatnya terkesan. Dia merasa berterima kasih, dan ini menguntungkan saya. Beberapa kali sebelum peristiwa ini, dia menyediakan tempat duduk untuk saya di sampingnya, di barisan pertama atau kedua detasemen kami, yang biasanya terdiri dari 280 tawanan. Kebaikan hati seperti itu sangat penting. Kami harus berbaris setiap pagi, saat hari masih gelap. Semua orang takut terlambat karena terpaksa harus berdiri di barisan belakang. Jika ada pekerjaan yang tidak menyenangkan atau tidak disukai, seorang Capo senior akan muncul dan biasanya dia memilih orang-orang yang dibutuhkan dari barisan-barisan belakang. Orang-orang yang terpilih harus berbaris ke tempat lain, menuju tugas yang benar-benar berat di bawah pengawasan para penjaga yang asing. Kadang-kadang, si Capo memilih tawanan dari lima baris pertama, untuk menangkap orang-orang yang mencoba berlagak pintar. Setiap bentuk protes atau permohonan keringanan hanya akan dihadiahi dengan tendangan di tempat-tempat yang paling menyakitkan, dan para korban akan digiring ke tempat kerja mereka di bawah ancaman teriakan dan pukulan.

Namun, selama Capo tersebut merasa perlu mencurahkan perasaannya kepada saya, hal seperti itu tidak akan terjadi pada diri saya. Saya mendapat tempat terjamin di sampingnya. Selain itu, masih ada manfaat lain. Seperti yang dialami oleh hampir semua rekan tawanan, saya juga menderita edema. Kaki saya bengkak, dan kulit kaki saya terentang erat sehingga saya hampir-hampir tidak bisa membengkokkan kedua lutut saya. Saya terpaksa membiarkan tali sepatu saya tak terikat supaya kedua kaki saya bisa muat ke dalam sepatu. Kalau pun saya punya kaus kaki, saya tidak akan bisa memakainya. Jadi, sebagian kaki saya yang telanjang selalu basah, dan sepatu saya selalu dipenuhi salju. Akibatnya sebagian kaki saya terkena radang dingin dan gatal-gatal karena dingin. Setiap langkah menjadi siksaan berat. Gumpalan-gumpalan es akan terbentuk di dalam sepatu kami saat kami berbaris melewati padang-padang yang tertutup salju. Berkali-kali para tawanan tergelincir, dan tawanan lain yang berada di belakangnya akan ikut terjatuh menindih tubuh mereka. Jika itu terjadi, barisan akan terhenti sebentar, tetapi tidak lama. Salah satu penjaga segera mengambil tindakan, dan memukuli para tawanan dengan gagang senapannya agar mereka berdiri lebih cepat. Semakin depan posisi tawanan di dalam barisan, semakin jarang dia berhenti dan dipaksa untuk berlari di atas kaki yang sakit karena harus mengganti waktu yang terbuang. Saya bahagia karena ditunjuk menjadi dokter pribadi dari Sang Capo Terhormat, sehingga bisa masuk ke dalam barisan pertama yang kecepatannya lebih teratur.

  Sebagai pembayaran tambahan atas pelayanan yang saya berikan, jika waktu makan siang di lokasi pekerjaan tiba, saya juga akan memperoleh sup dengan lebih banyak kacang karena disendok dari dasar panci. Sang Capo, seorang mantan tentara, bahkan berani berbisik kepada mandor yang bertengkar dengan saya, bahwa menurutnya saya adalah seorang pekerja yang sangat baik. Hal itu tidak menjernihkan masalah, tetapi dia berhasil menyelamatkan hidup saya (satu dari beberapa kejadian ketika hidup saya diselamatkan). Sehari setelah pertengkaran saya dengan si mandor, sang Capo menyelundupkan saya ke dalam kelompok kerja yang lain.

Ada beberapa mandor yang merasa kasihan kepada kami dan berusaha untuk meringankan beban kami, seti­ daknya­ di lokasi pembangunan. Meskipun demikian, me­ reka selalu mengingatkan kami, bahwa seorang buruh biasa pun bisa bekerja lebih produktif dan lebih cepat dari kami. Namun, mereka juga mengakui, jika diingatkan, bahwa seorang pekerja biasa tidak dipaksa hidup hanya dengan 350 gram roti (secara teoretis—kami sering kali memperoleh kurang dari itu) dan kurang dari 1 liter sup encer setiap harinya; bahwa seorang pekerja biasa tidak harus hidup di bawah tekanan mental seperti yang kami hadapi, tanpa kabar dari anggota keluarga yang dikirim ke kamp lain atau langsung dikirim ke kamar gas; bahwa seorang pekerja biasa tidak selalu dibayangi oleh kematian, hari demi hari, jam demi jam. Saya bahkan pernah berkata pada seorang mandor yang baik hati, “Jika Anda bisa belajar dari saya cara melaksanakan operasi otak secepat saya belajar membangun jalan ini dari Anda, saya akan sangat menghormati Anda.” Mandor itu hanya tersenyum.

  Apati, gejala utama fase kedua, merupakan mekanisme per­tahanan diri yang dibutuhkan. Realitas mengabur, se­ mua upaya dan emosi terpusat pada satu tujuan: mem­ pertahankan hidupnya dan hidup orang lain. Suatu hal yang lazim bila kita melihat para tawanan, saat digiring kembali ke dalam kamp dari lokasi kerja mereka, menarik napas lega dan berkata, “Bagus, satu hari lagi berlalu sudah.”

Mudah dipahami, jika dalam kondisi tertekan, ditambah keharusan untuk memusatkan perhatian pada upaya untuk bertahan hidup, kehidupan batin para tawanan ditekan sampai pada titik yang paling primitif. Beberapa rekan kerja saya di kamp konsentrasi, yang terlatih sebagai psikoanalis, kerap bicara tentang “regresi” yang dialami para tawanan— kemunduran ke dalam bentuk kehidupan mental yang primitif. Harapan dan keinginan mereka mengemuka di dalam mimpi-mimpi mereka.

Apa yang paling sering dimimpikan oleh seorang tawanan?­ Roti, kue, rokok, dan mandi air hangat. Tidak ter­penuhi­­nya semua keinginan yang sederhana tersebut membuat mereka mencari pemuasan di dalam mimpi-mimpi mereka. Apakah mimpi tersebut mendatangkan kebaikan atau tidak sama sekali tidak penting; orang yang bermimpi harus terbangun dari mimpinya dan menghadapi realitas kehidupan kamp, dan kesenjangan yang sangat besar antara realitas dengan mimpi-mimpinya.

  Saya tidak akan pernah lupa, bagaimana saya terbangun tengah malam karena mendengar rintihan seorang tawan­ an, yang meronta-ronta di dalam tidurnya, mungkin karena mimpi yang sangat buruk. Karena saya selalu ka­ sih­an melihat orang yang diganggu mimpi buruk atau berhalusinasi, saya berniat membangunkan orang malang tersebut. Tiba-tiba saja saya menarik kembali tangan saya yang sudah siap membangunkannya, dan terkejut memi­ kirkan tindakan yang siap saya lakukan. Saat itu juga saya baru sadar bahwa, tidak ada mimpi, betapa pun buruknya, yang lebih buruk dari kenyataan hidup di kamp konsentrasi; dan saya sedang bersiap-siap membangunkan orang itu untuk kembali ke kenyataan tersebut.

Karena beratnya kekurangan gizi yang diderita para tawanan, sangat wajar jika hasrat terhadap makanan menjadi naluri yang paling mengemuka dan menjadi pusat kehidupan mental para tawanan. Cobalah amati para tawanan yang sedang bekerja berdampingan saat mereka kebetulan tidak diawasi dengan ketat. Segera saja mereka akan bicara tentang makanan. Seorang tawanan akan bertanya tentang masakan favoritnya pada rekan yang ada di sampingnya. Kemudian mereka akan saling bertukar resep, dan merencanakan menu jika kelak mereka bisa berkumpul kembali—suatu hari nanti, setelah mereka dibebaskan dan kembali ke rumah. Mereka akan terus berbicara, meng­gambarkan semuanya secara terperinci, sampai ada peringatan, biasanya dalam bentuk sandi atau nomor khusus tentang “Ada penjaga datang.”

  Saya selalu menganggap pembicaraan tentang makanan sebagai topik yang berbahaya. Bukankah salah apabila kita merangsang organisme tubuh dengan membayangkan makanan lezat secara terperinci, sementara kita harus menyesuaikan diri dengan jatah makanan yang sangat sedikit dan dengan kalori rendah? Meskipun bisa sejenak mendatangkan kelapangan psikologis, khayalan seperti itu, secara fisik, pasti berbahaya.

Di akhir masa tawanan kami, jatah makanan yang kami terima terdiri dari sup yang sangat encer yang dibagikan sekali sehari, ditambah sedikit roti. Selain itu, ada lagi yang disebut “jatah tambahan,” yang terdiri dari tiga perempat ons mentega, atau sepotong sosis yang mutunya rendah, atau sepotong keju, atau sedikit madu sintetis, atau sesendok selai yang sangat encer, yang berubah-ubah setiap harinya. Secara kalori, menu seperti itu benar-benar tidak memadai, mengingat kerja kasar yang berat yang harus kami lakukan di bawah udara terbuka yang dingin tanpa pakaian yang layak. Tawanan sakit yang ada di bawah “perawatan khusus”—yaitu mereka yang diizinkan berbaring di baraknya dan tidak diharuskan bekerja di kamp—bahkan memperoleh jatah yang jauh lebih sedikit.

  Ketika lapisan lemak di bawah kulit kami mulai menghilang, dan kami tampak seperti kerangka yang ditutupi kulit dan pakaian compang-camping, kami bisa mengamati tubuh kami mulai menyusut. Organisme tubuh mencerna protein di tubuh kami, sehingga otot-otot kami mulai menghilang. Kemudian, tubuh kami kehilangan kekuatan untuk bertahan. Satu demi satu, penghuni gubuk kami meninggal dunia. Setiap orang bisa menebak secara cukup tepat, siapa yang akan mati berikutnya. Karena terlalu sering mengamati, kami bisa mengenal baik gejala-gejalanya, sehingga kami mampu menebak dengan cukup tepat. “Dia tidak akan bertahan lama,” atau, “Dia yang berikutnya,” demikian bisik-bisik yang terdengar di antara sesama tawanan, dan saat malam tiba, ketika kami mencari kutu, kegiatan yang kami lakukan setiap hari, dan melihat tubuh kami, pikiran yang sama muncul dalam benak kami: “Tubuh ini, tubuh saya, sudah benar-benar seperti sesosok mayat. Apa yang terjadi pada diri saya? Saya sudah berubah menjadi seonggok kecil dari daging manusia ... dari sekelompok besar manusia yang hidup di balik kawat berduri, berdesak-desakan di dalam beberapa pondok terbuat dari tanah; sekelompok massa yang bagian-bagiannya membusuk setiap hari karena dia tidak lagi memiliki kehidupan.

Seperti yang sudah saya singgung, pikiran tentang makanan dan masakan favorit sulit dihindari; pikiran seperti itu merasuk secara paksa ke dalam pikiran para tawanan, setiap kali ada waktu luang. Barangkali bisa dipahami,­ bahwa para tawanan yang paling kuat sekalipun mendam­ bakan saat-saat dia bisa makan dengan layak, bukan demi makanan layak itu sendiri melainkan demi keyakinan bahwa kehidupan yang setingkat di bawah kehidupan manusia, yang membuat kami hanya berpikir tentang makanan, pada akhirnya akan berakhir.

  Mereka yang belum pernah merasakan pengalaman serupa tidak akan bisa memahami konflik mental dan konflik keinginan yang merusak jiwa, yang dirasakan oleh orang-orang yang kelaparan. Mereka tidak akan memahami, apa artinya berdiri sambil menggali parit, menunggu suara sirene yang berbunyi pada pukul 09.30 atau 10.00; sirene yang menandakan tibanya saat istirahat makan siang, ketika jatah roti dibagikan (selama masih tersedia); berulang kali bertanya kepada mandor—jika si mandor kebetulan bukan orang yang kejam—jam berapa saat itu; dengan hati-hati menyentuh sepotong roti yang tersimpan di saku jaket, pertama menyentuhnya dengan tangan beku yang tidak memakai kaus tangan, lalu mengelupas sedikit remah roti dan memasukkannya ke dalam mulut, dan akhirnya, dengan tekad yang masih tersisa, mengantongi kembali roti tersebut, sambil berjanji kepada diri sendiri, untuk menyimpan potongan roti itu sampai sore hari.

Kami bisa terlibat dalam debat yang masuk akal, atau tidak masuk akal, tentang cara terbaik menghabiskan sedikit jatah roti yang hanya dibagikan sekali sehari, di akhir masa tawanan kami. Ada dua aliran pemikiran. Kelompok pertama lebih suka menghabiskan jatah roti mereka sekaligus. Cara ini memiliki dua manfaat: pertama, menghilangkan rasa lapar yang amat sangat meskipun untuk jangka waktu yang pendek, setidaknya sekali sehari, sekaligus menjamin jatah tersebut tidak dicuri atau hilang. Kelompok kedua lebih suka membagi jatah itu menjadi dua bagian, dengan berbagai alasan berbeda. Saya sendiri akhirnya masuk dalam kelompok kedua.

  Waktu yang paling sulit dari dua puluh empat jam kehidupan di kamp adalah saat-saat bangun pagi, ketika sirene tengah malam berbunyi tiga kali, dan tanpa rasa iba membangunkan kami dari tidur yang pulas akibat kelelahan dan dari mimpi-mimpi indah kami. Kami mulai bergulat dengan sepatu yang basah, yang hampir-hampir tidak bisa dimasuki oleh kedua kaki kami yang memar dan bengkak karena edema. Belum lagi keluhan dan rintihan akibat kesulitan-kesulitan lain yang terjadi sehari-hari, seperti putusnya kawat yang menggantikan tali sepatu. Suatu pagi saya mendengar seorang pria yang saya tahu sangat berani dan berwibawa, menangis seperti seorang anak kecil karena akhirnya dia harus berdiri di lapangan yang bersalju tanpa alas kaki karena sepatunya sudah kekecilan dan tidak bisa lagi dipakai. Pada menit-menit yang menyedihkan itu, saya menemukan sedikit kenyamanan; saya mengambil sepotong roti dari kantong kemeja saya, yang saya kunyah dengan penuh kegembiraan.

Kekurangan gizi, selain membuat kami selalu memi­ kirkan makanan, mungkin juga menjadi penyebab hilangnya gairah seksual yang secara umum dirasakan hampir semua tawanan. Selain dampak dari rasa terkejut yang diderita tawanan di awal kehidupan kamp, hilangnya gairah seksual merupakan satu-satunya jawaban dari fenomena yang cenderung teramati oleh seorang psikolog di kamp konsentrasi yang seluruh penghuninya kaum pria. Tidak seperti yang lazim teramati pada komunitas khusus pria yang hidup di bawah disiplin ketat—misalnya barak-barak tentara—penyimpangan seksual tidak teramati dalam kehidupan kamp. Bahkan dalam mimpi-mimpi mereka, para tawanan tidak pernah memikirkan seks, meskipun kefrustrasian emosi mereka, dan perasaan-perasaan lain yang lebih halus dan lebih tinggi kerap terungkap dalam ekspresi seksual.

Kondisi kehidupan yang sangat primitif, dan terpusatnya perhatian para tawanan pada upaya untuk bertahan hidup membuat mereka tidak lagi menghiraukan semua hal yang tidak terkait dengan upaya tersebut. Itulah sebabnya mereka seperti kehilangan perasaan sentimental mereka. Fakta ini saya sadari saat saya dipindahkan dari Kamp Auschwitz ke kamp lain yang merupakan bagian dari Kamp Dachau. Kereta api yang mengangkut kami—kurang lebih 2.000 tawanan—harus melewati kota Wina. Sekitar tengah malam, kami melewati salah satu stasiun di kota Wina. Jalan kereta api tersebut akan melewati sebuah jalan tempat saya dilahirkan, dan melewati rumah yang saya tinggali hampir sepanjang hidup saya sebelum menjadi tawanan.

Di dalam gerbong kami ada 50 orang tawanan, dan dua lubang kecil untuk mengintip. Hanya sekelompok kecil tawanan yang bisa duduk di lantai, sementara tawanan lain yang sudah berdiri selama berjam-jam, berkumpul di dekat lubang untuk mengintip. Dengan berdiri di ujung jari kaki, melalui kepala para tawanan dan jeruji jendela, saya bisa melihat selintas kota kelahiran saya yang tampak seram. Kami semua merasa lebih dekat pada kematian daripada kehidupan, karena kami berpikir bahwa kami akan menuju kamp Mauthausen, bahwa kami hanya punya waktu dua minggu untuk hidup. Saya merasa yakin saya melihat jalan-jalan, lingkungan, dan rumah masa kecil saya melalui mata seseorang yang sudah mati, yang kembali dari dunia lain, dan memandang ke kota yang berhantu dari atas.

Setelah tertunda beberapa jam, kereta api akhirnya meninggalkan stasiun. Dan saya melihat jalan itu—jalan tempat saya tinggal! Anak-anak muda yang sudah bertahun-tahun tinggal di kamp, yang menganggap perjalanan itu sebagai peristiwa yang mengagumkan, menatap melalui lubang tersebut dengan minat yang besar. Saya mulai memohon kepada mereka, agar saya dibolehkan melihat sebentar saja. Saya mencoba menjelaskan, betapa penting­ nya melihat melalui jendela itu, meskipun hanya sejenak. Permohonan saya ditolak dengan kasar dan sinis: “Jadi kamu tinggal di sana selama bertahun-tahun? Kalau begitu kamu sudah cukup sering melihatnya.

  Secara umum, para tawanan juga mengalami apa yang disebut “hibernasi budaya,” dengan dua kekecualian, politik dan agama. Politik selalu menjadi bahan pembicaraan di seluruh kamp, hampir sepanjang waktu; diskusi kami pada umumnya didasarkan pada gosip yang ditangkap dan diedarkan dengan cepat. Gosip yang terkait dengan situasi militer biasanya kontradiktif. Gosip-gosip seperti itu datang dan pergi dengan cepat, dan hanya menciptakan perang urat saraf di dalam pikiran para tawanan. Berkali-kali, harapan bahwa perang akan segera berakhir, yang dipicu oleh gosip yang bernada optimis, berakhir dengan kekecewaan. Beberapa tawanan kehilangan semua harapan mereka, meskipun ada juga orang-orang yang sangat optimis, yang secara mengesalkan tidak pernah kehilangan harapan.

Minat para tawanan di bidang keagamaan, sejauh dan secepat minat tersebut tumbuh, merupakan minat yang paling mengagumkan. Dalam dan kuatnya kepercayaan para tawanan sering kali mengejutkan dan menyentuh tawanan yang baru datang. Yang paling mengesankan dalam hal ini adalah doa atau sejenis misa yang dilaksanakan di sudut pondok, atau yang diucapkan di tengah kegelapan truk ternak yang terkunci, yang membawa kami dari lokasi pekerjaan yang jauh, kelelahan, kelaparan dan kedinginan di dalam pakaian kami yang compang-camping.

  Selama musim dingin dan musim semi 1945 berjangkit wabah tifus yang menyerang hampir semua tawanan. Angka kematian sangat tinggi, terutama terjadi pada tawanan yang lemah, yang sedapat mungkin harus tetap bekerja. Gubuk-gubuk tempat menampung orang sakit benar-benar tidak memadai, obat-obatan dan tenaga kesehatan praktis tidak tersedia. Beberapa gejala penyakit ini benar-benar sangat mengganggu: pasien tidak mau makanan, meskipun sedikit (dan ini sangat membahayakan), disertai serangan halusinasi. Halusinasi yang paling parah dialami salah seorang teman saya, yang berpikir bahwa dia akan segera meninggal, dan ingin berdoa. Di dalam keadaan setengah sadar, dia tidak bisa menemukan kata-kata untuk berdoa. Untuk menghindari serangan halusinasi seperti itu, saya dan beberapa tawanan lain berusaha untuk tetap terjaga sepanjang malam. Berjam-jam lamanya saya mencoba menciptakan beberapa pidato di dalam pikiran saya. Akhirnya, saya mulai menyusun kembali naskah saya yang hilang di kamar mandi kamp Auschwitz, dan dengan tulisan steno menuliskan beberapa kata kunci di atas potongan-potongan kecil kertas bekas.

Kadang-kadang penghuni kamp menyelenggarakan debat ilmiah. Suatu hari saya menyaksikan peristiwa yang belum pernah saya lihat sebelumnya, bahkan tidak dalam kehidupan normal saya, meskipun peristiwa tersebut erat kaitannya dengan kehidupan profesional saya: acara mengundang roh. Saya diundang untuk hadir di acara tersebut oleh dokter kepala kamp (yang juga seorang tawanan), yang tahu bahwa saya seorang dokter spesialis penyakit jiwa. Pertemuan diadakan di dalam ruangan pribadinya yang kecil, di pondok khusus tempat merawat orang sakit. Sekelompok kecil orang sudah berkumpul, di antaranya, meskipun ilegal, tampak petugas pengawas dari unit sanitasi.

  Seorang pria mengundang datangnya roh dengan mengucapkan sejenis doa. Si pengawas kamp duduk di hadapan sehelai kertas kosong, tanpa keinginan sadar untuk menulis. Selama sepuluh menit berikutnya (sesudahnya acara ditutup karena si perantara tidak berhasil meminta roh untuk menampakkan diri) pensil di tangan orang tersebut bergerak di atas kertas, membentuk huruf “VAE V” yang terbaca dengan jelas. Ternyata pengawas kamp tersebut tidak pernah mempelajari bahasa Latin, dan belum pernah mendengar kata “vae victis”—celakalah mereka yang kalah. Saya sendiri mengira orang itu pernah mendengar kata-kata tersebut, meskipun dia tidak mengingatnya, dan saat itu, kata-kata tersebut dimunculkan kembali oleh “si roh” (roh dari pikiran bawah sadarnya), hanya beberapa bulan sebelum kami dibebaskan, dan sebelum perang berakhir.

Meskipun kehidupan fisik dan mental di dalam kamp konsentrasi sangat primitif, kehidupan spiritual para tawanan mungkin saja meningkat. Orang-orang yang peka, yang terbiasa menjalani kehidupan intelektual yang kaya, mungkin saja sangat menderita (tubuh mereka pun biasanya rentan), tetapi kerusakan batin mereka lebih kecil. Mereka mampu mengasingkan diri dari kehidupan di seputar mereka yang sulit, ke dalam kehidupan batin yang kaya dan kehidupan spiritual yang bebas. Hanya ini yang bisa menjelaskan paradoks yang terlihat nyata, mengapa orang-orang yang tubuhnya rentan mampu mengatasi kehidupan kamp secara lebih baik dibandingkan mereka yang bertubuh lebih kuat. Supaya lebih jelas, saya akan menceritakan peristiwa yang saya alami sendiri. Peristiwa ini terjadi ketika kami sedang berbaris menuju ke lokasi kerja kami.

  Terdengar teriakan yang memerintah: “Barisan, maju jalan! Kiri-2-3-4! Kiri-2-3-4! Kiri-2-3-4! Orang pertama siap, kiri dan kiri dan kiri dan kiri! Topi lepas!” Kata-kata itu masih sering terngiang-ngiang di dalam kepala saya, bahkan sampai saat ini. Ketika perintah “Lepaskan topi” diteriakkan, kami semua sedang melewati gerbang kamp, dan lampu-lampu sorot mulai diarahkan kepada kami. Tawanan yang tidak berjalan dengan tegak, akan dihadiahi tendangan. Lebih-lebih tawanan, yang karena dinginnya udara, memakai kembali topi mereka sebelum mendapat izin.

Kami berjalan terhuyung-huyung di tengah kegelapan, di antara batu-batu dan genangan air yang luas, menyusuri satu-satunya jalan yang menuju ke kamp. Serdadu yang mengawal kami terus meneriakkan perintah, dan menggiring kami dengan bantuan popor senapan. Tawanan yang kakinya bengkak akan bersandar pada lengan seorang rekan yang berbaris di sampingnya. Hampir tidak ada orang yang berbicara; dinginnya hembusan angin membuat kami enggan berbicara. Sambil menyembunyikan mulutnya di balik kerahnya yang diangkat, seorang tawanan yang berjalan di samping saya berbisik,: “Seandainya istri-istri kita bisa melihat keadaan kita saat ini! Saya benar-benar berharap mereka hidup lebih nyaman di dalam kamp mereka, dan tidak tahu apa yang sedang terjadi pada kita semua.”

  Kata-katanya mengingatkan saya pada istri saya. Dan, saat kami berjalan terhuyung-huyung sejauh beberapa mil, tergelincir di tempat-tempat yang licin, berkali-kali saling menopang, saling menyeret atau saling mengangkat, kami berdua sama-sama tidak berkata apa-apa, tetapi kami berdua tahu: bahwa kami sama-sama memikirkan istri kami masing-masing. Sesekali saya mengangkat wajah menatap ke langit, ke arah bintang-bintang yang mulai memudar, ke arah cahaya pagi kemerahan yang mulai mengintip dari balik awan yang gelap. Pikiran saya terus berpegang pada gambaran istri saya, membayangkannya dengan ketepatan yang luar biasa. Saya mendengar dia menjawab perkataan saya, melihatnya tersenyum, tatapannya yang jujur dan memberi semangat. Nyata atau tidak, tatapan matanya lebih terang daripada cahaya matahari yang mulai terbit.

Satu pikiran membuat saya termenung: untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya menyadari kebenaran yang sering diungkapkan dalam lagu oleh para pujangga, yang dianggap sebagai kearifan tertinggi oleh para pemikir. Ke-benaran—bahwa cinta merupakan tujuan utama dan tujuan tertinggi yang ingin diraih manusia. Kemudian saya juga memahami makna di balik rahasia terbesar puisi dan pikiran manusia, kepercayaan yang mengatakan: Manusia diselamatkan oleh cinta dan di dalam cinta. Saya bisa memahami, bagaimana seorang manusia yang tidak lagi memiliki apa pun di dunia ini masih bisa merasakan arti kebahagiaan, meskipun sejenak, karena memikirkan orang yang dia cintai. Di dalam keterasingannya, ketika seseorang tidak mampu mengungkapkan dirinya melalui perbuatan konkret, mana-kala satu-satunya pencapaian hanya dapat direngkuh dengan menjalani penderitaannya dengan cara yang benar—cara yang terhormat—dalam posisi seperti itu, seorang manusia dapat meraih kepuasan diri dengan memikirkan bayangan kekasihnya dengan penuh rasa cinta. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya bisa memahami makna dari kata-kata: “Para bidadari terlarut dalam renungan abadi tentang kemenangan yang tidak terbatas.”

Di hadapan saya seorang pria tersungkur, dan mereka yang berjalan di belakangnya jatuh menimpa badannya. Seorang penjaga dengan gesit menghampiri, mencambuki tubuh mereka. Untuk beberapa menit pikiran saya terganggu. Namun, sebentar kemudian, jiwa saya menemukan jalan ke luar dari kehidupan penjara ke dalam kehidupan lain, dan saya melanjutkan pembicaraan saya dengan istri tercinta: Saya mengajukan pertanyaan dan dia menjawab; kemudian dia mengajukan pertanyaan, dan saya menjawab.

  “Berhenti!” Ternyata kami sudah sampai di lokasi kerja kami. Semua orang segera memasuki pondok yang gelap, berharap mendapatkan peralatan yang cukup layak. Setiap tawanan memperoleh sekop atau pangkur.

  “Bisakah kalian, para babi, bergerak lebih cepat?” Tak lama kemudian kami mulai bekerja di posisi kami di dalam selokan. Tanah yang beku retak dihantam ujung pangkur yang tajam, dengan mengeluarkan percikan bunga api. Para tawanan bekerja dengan diam, otak mereka mati rasa.

Pikiran saya masih melekat pada gambaran istri saya. Sebuah pikiran tebersit: “Saya bahkan tidak tahu, apakah dia masih hidup. Saya hanya tahu satu hal—yang ketika itu telah saya mengerti dengan sangat baik: bahwa cinta tidak dibatasi oleh raga dari orang yang dicintai. Dia akan mene-mukan makna yang lebih dalam di dalam jiwanya, di dalam batinnya. Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal, bukan hal yang penting.

  Saya tidak mengetahui apakah istri saya masih hidup atau tidak, dan saya tidak bisa mengetahuinya (selama berada di kamp, tidak ada surat masuk atau keluar); tetapi pada saat itu, hidup matinya istri saya sama sekali tidak ada artinya. Saya tidak perlu tahu; tidak ada yang bisa menyentuh kekuatan cinta saya, pikiran saya, dan citra tentang istri saya. Seandainya saya tahu bahwa ketika itu istri saya sudah meninggal, saya pikir saya tidak akan membiarkan pengetahuan tentang hal itu mengganggu saya; bayangan saya tentang dirinya, serta percakapan mental saya dengannya, akan sama hidupnya dan tetap memberikan kepuasan. “Biarkan saya menjadi kunci pintu hatimu, cinta sama kuatnya dengan kematian.”

  Meningkatnya kehidupan batin seperti ini membantu para tawanan menemukan tempat berlindung dari kehampaan, dari keterasingan dan kemiskinan rohaniah hidupnya dengan membiarkannya melarikan diri ke masa lalu. Jika diberi kebebasan, khayalannya akan kembali ke masa lalu, kadang-kadang pada hal-hal yang tidak penting, kejadian yang sepele. Ingatan akan masa lalu membuat mereka kuat, dan mereka menerapkan karakter yang asing. Dunia dan kehidupan mereka tampak sangat jauh, dan jiwa mereka menjangkau masa lalu dengan penuh harap: Dalam pikiran saya, saya sedang berjalan-jalan naik bus, mengunci pintu depan apartemen saya, menjawab telepon, menghidupkan lampu. Dalam pikiran kami, kami melakukan semua hal dengan sangat mendetail dan memori seperti ini dapat menjadikan seseorang berurai air mata.

Ketika kehidupan batin tawanan mulai meningkat, dia juga menyadari keindahan seni dan alam yang sebelumnya tidak dia sadari. Di dalam pengaruh keindahan tersebut, dia bahkan sering melupakan keadaan di sekelilingnya yang menakutkan. Seandainya seseorang melihat wajah kami saat kami dipindahkan dari Kamp Auschwitz ke Kamp Bavaria, bagaimana kami memandang kagum ke arah pegunungan di Salzburg dengan puncak-puncaknya yang keemasan ditimpa sinar matahari melalui lubang jendela gerbong kereta api yang terbuka, orang itu tidak akan percaya bahwa itu adalah wajah-wajah orang yang telah kehilangan harapan akan kehidupan dan kebebasan. Meskipun begitu—atau mungkin justru karena itu—kami terpesona melihat keindahan alam yang telah lama tidak pernah kami lihat.

  Di kamp, seorang tawanan juga sering mengajak ta­ wanan lain yang bekerja di sampingnya untuk mengamati indahnya­ pemandangan matahari yang akan tenggelam yang sinarnya menerobos di antara pepohonan tinggi di hutan Bavaria (seperti lukisan cat air terkenal karya Dürer), di hutan tempat kami membangun pabrik amunisi rahasia. Suatu malam, ketika kami sedang beristirahat di lantai pondok karena letih, dengan mangkuk sup di tangan, seorang tawanan masuk ke pondok dan meminta kami untuk segera ke halaman tempat berkumpul untuk melihat indahnya matahari terbenam. Sambil berdiri di luar, kami melihat awan-awan menakutkan yang bersinar di sebelah barat, seluruh langit tampak hidup karena awan-awan tersebut selalu berubah bentuk dan warna, dari biru terang menjadi merah darah. Gubuk-gubuk lumpur kami yang muram tampak sangat kontras, sementara genangan air di tanah yang berlumpur memantulkan gambaran langit yang bersinar. Setelah terpana selama beberapa menit, seorang tawanan berkata kepada tawanan yang lain, “Dunia ternyata bisa menjadi sangat indah!”

Di saat lain kami sedang menggali parit. Fajar kelabu menyelimuti kami; langit di atas tampak kelabu; kelabu juga warna salju yang tertimpa sinar lembut matahari fajar; kelabu warna pakaian compang-camping yang dipakai para tawanan, dan kelabu pula wajah-wajah me­ reka. Sekali lagi saya berbincang-bincang dengan istri saya dalam keheningan. Mungkin, saya sedang berusaha untuk menemukan alasan penderitaan saya, kematian saya yang datang secara perlahan. Sebagai protes keras terhadap­ ketidakberdayaan saya menghadapi maut yang semakin dekat, saya merasa jiwa saya terbang menembus kemuraman yang menyelubungi kami. Saya merasa jiwa saya menembus ketidakberdayaan, ketidakberartian dunia, dan dari suatu tempat tertentu, saya mendengar sebuah suara, yang dengan penuh kemenangan mengatakan “Ya”; itu adalah jawaban atas pertanyaan saya, yang bertanya apakah hidup memiliki tujuan utama. Di saat yang sama, secercah sinar lampu terpancar dari sebuah rumah petani yang berada di kejauhan, yang berdiri di batas cakrawala, seakan-akan rumah itu dilukis di tempat itu, di tengah fajar kelabu muram yang menyelimuti daerah Bavaria, “Et lux in tenebris lucet”—dan secercah sinar menerangi kegelapan. Selama berjam-jam saya mencangkul tanah yang licin. Seorang serdadu lewat, mengejek saya, dan sekali lagi, saya berkomunikasi dengan istri tercinta. Semakin lama kehadirannya semakin saya rasakan, dia bersama saya; saya merasa bahwa saya mampu menyentuh rambutnya, mampu merentangkan tangan saya dan menyentuhnya. Perasaan itu sangat kuat: dia ada di sana. Kemudian, pada detik itu seekor burung diam-diam terbang menukik dan hinggap persis di depan saya, di atas tumpukan tanah yang saya gali dari parit, dan burung itu menatap tajam ke arah saya.

DUNIA TERNYATA BISA MENJADI SANGAT INDAH!

Sebelumnya saya pernah menyinggung tentang seni. Mungkinkah kita bisa menemukan seni di kamp konsentrasi? Itu tergantung dari apa definisi seseorang untuk seni. Dari waktu ke waktu para tawanan membuat pertunjukan kabaret. Sebuah pondok dikosongkan untuk sementara waktu, beberapa dipan kayu didorong ke pinggir atau dipaku, dan program pertunjukan disusun. Malam hari, orang-orang yang punya posisi di kamp—para Capo dan pekerja yang tidak perlu meninggalkan kamp untuk bekerja—berkumpul di gubuk tersebut. Mereka datang untuk sedikit tertawa, atau sedikit menangis; pokoknya, untuk melupakan. Ada lagu, puisi, lelucon, yang menyindir kehidupan di kamp. Semua diadakan untuk membuat kami lupa, dan itu sangat membantu. Acara seperti itu benar-benar efektif sampai-sampai beberapa tawanan biasa memaksakan diri untuk menonton kabaret dalam kondisi kelelahan, meskipun demi itu mereka harus kehilangan jatah makanan hari itu.

  Selama setengah jam istirahat makan siang, saat sup (yang dibuat oleh para kontraktor bayaran dengan biaya yang sangat murah) dibagikan di lokasi kerja kami, kami diizinkan untuk berkumpul di ruangan mesin yang belum selesai dibangun. Saat memasuki ruangan, setiap orang memperoleh satu sendok besar sup yang cair. Ketika kami menyantap sup tersebut dengan lahap, seorang tawanan naik ke atas bak mandi dan menyanyikan sebuah lagu Italia. Kami menikmati lagu itu, dan sang penyanyi memperoleh dua sendok penuh sup yang “diambil dari dasar panci”— artinya, sup yang berisi banyak kacang!

Lihat selengkapnya