Aku tidak pernah tahu kalau tidak merasakannya sendiri, takdir itu bagai telapak tangan yang bisa di bolak-balik kapan saja. Setiap saat selalu membuatku terkejut. Aku sama sekali tidak mengerti, kenapa ini datang kepadaku karena biasanya hanya sedih berselimut kesunyian.
Empat tahun lalu, kamu berdiri di hadapanku mengucap janji.
"Aku akan kembali, kita akan bersama walaupun banyak ketidak pastian. Tunggu aku sebentar, aku pasti pulang ke pelukanmu."
Janji yang membuatku terikat, berjuang siang malam memenuhi permintaanmu. Melawati waktu yang berputar demi menunggu hari itu datang. Aku lelah dan ingin bersandar saat kamu kembali, menuangkan semua rindu yang terpendam.
Tapi tidak ada yang tahu apa yang ada di balik tirai sang waktu, karena tiba-tiba cerita di dunia ini bisa terbalik. Ya, terbalik dengan cepat bagai membolak-balikan telapak tangan. Semua sisi terlihat begitu sempurna, namun memiliki arti dan tujuan berbeda.
Pagi ini datang dengan cerah, Loji terbangun dan bergegas, "Kamu pulang," pikirnya, empat tahun terasa seperti kejapan mata. Penantian panjang usai sudah. Ruang hati yang sepi menjadi ceria, semua terasa sangat menyenangkan.
Dia bersiap mengenakan pakaian terbaik, dan menatap wajahnya di kaca kecil. "Kulit aku gosong," gumamnya, seperti sedang berhadapan dengan orang yang di nanti. Merapihkan rambutnya yang sedikit ikal, dan menaruh benda paling berharga dalam hidupnya ke kantong baju.
"Kita akan bangun mimpi kita bersama, hidup tenang di pedesaan membangun keluarga kecil. Menua bersama sampai menutup mata," pikirnya, keluar kamar kost dengan senyum mengembang. Melangkah riang bagai menari. Menyapa rekan-rekannya yang sedang sibuk membangun sebuah rumah.
"Woii, ganteng!" goda mereka sambil tertawa-tawa, mengisi hari dengan canda.
Loji kadang bekerja menjadi kuli bangunan, serta kuli angkut di pasar atau apapun demi sesuap nasi.
"Mau kemana?" tanya salah satu rekannya.
"Gw mau kencan, Ranti pulang," jawab Loji, terus melangkah dengan gembira. "Bang Sueb," sapanya sopan, menyapa seorang mandor bangunan yang sibuk bekerja. Seseorang yang selalu mendukungnya selama ini.
"Oi, rapih banget," balas Sueb sambil memperhatikan penampilannya.
"Keren kan, mau ngedate Bang," ucap Loji gembira, melambaikan tangan ke teman-temannya yang sedang bekerja. "Do, pake sunblock biar nggak item," lanjutnya, meledek kawannya.
"Biarin, hepeng yang penting," balas Ando sambil mengangkat ember berisi semen.
Mereka saling melempar canda seperti biasa, tertawa lepas memeriahkan suasana. Loji ikut tertawa gembira, tidak peduli menjadi bahan canda teman-temannya.
"Dah, lulus dia?" tanya Sueb menatap Ando yang sedang menuangkan semen.
"Udah, minggu lalu saya yang menemenin dia wisuda," balas Ando, menaruh ember di dekat Sueb. "Punya temen sarjana kita," ucapnya sambil tersenyum lebar memamerkan jejeran gigi.
"Manteb," balas Sueb sambil menatap Loji yang menghilang di balik tikungan. Tersenyum sendiri, mengingat perjuangan Loji selama ini. "Ga nyangka dia bisa nyampe juga, bener kata si Oma, dia bisa naik tangga lebih tinggi asal mau," ucapnya, seperti tidak percaya.
"Iya, kalau inget dulu hampir ga mau sekolah," balas Ando, yang berkawan dengan Loji sejak kecil. "Beruntung, kena di omelin si Oma," tambahnya sambil tertawa lepas bersama Sueb, dan kembali melangkah mengambil semen.
Di jalan yang ramai, kaki Loji menari-nari bagai kepakan sayap kupu-kupu. Sepatu yang sedikit robek menutup kakinya yang ingin berlari, tidak sabar menemui pujaan hati yang baru kembali.
Keranjang berisi buah yang di bawanya bagai persembahan. Buah tangan sederhana untuk orang tua Ranti yang telah berjasa di hidupnya. Dia tersenyum sendiri karena akan memberikan sesuatu ke sang belahan jiwa.
Angkot yang dia tumpangi terasa berjalan sangat lambat. "Pak, gas buruan!" serunya dalam hati, ingin membantu sang supir menginjak pedal gas. "Ih, lama banget," gumamnya tidak sabaran.
Akhir sampai di dekat tempat tujuan, segera turun dengan jantung berdebar. Melangkah cepat memotong melewati sebuah gang, dan keluar di komplek perumahan mewah. Hawa sejuk terasa dari pepohonan rindang, angin yang bertiup membuat gemerisik dedaunan seperti berbisik tentang kisah cinta.
Daun-daun yang berguguran di matanya bagai hiasan indah. Sebuah sambutan meriah, pertemuan dua insan yang saling merindu. Suara burung yang berkicau seperti keceriaan yang dulu mereka lalui, tawa serta canda yang terjadi di sepanjang jalan ini.
Senyum mengembang di wajahnya, melihat sebuah rumah besar berpagar tinggi. "Hhmm," dia menarik napas dalam meredakan debaran yang memenuhi dada. Menekan bel, dan mendengar suara yang memutar semua kenangan indah bersama.
Senyum gembira terlukis di wajahnya, melihat seorang pembantu yang bergegas keluar.
"Mas Loji," sapa sang pembantu.
"Halo, Mba Yul," balas Loji riang. "Ranti dah pulang yah? Ini buat Ibu," ucapnya, menyerahkan keranjang buah yang di bawanya.
"Mba Ranti, tadi keluar sebentar," ucap Yul. "Terima kasih ya, Mas," balasnya sambil menerima keranjang buah tersebut.
"Oh, kira-kira lama nggak perginya?" tanya Loji, merasakan kerinduan menyesakan dada.
"Nggak tau juga ya mas, Bapak sama Ibu juga lagi pergi," balas Yul.
"Mmm," gumam Loji sambil mengangguk-angguk.
"Tunggu di saung aja," ucap Yul penuh makna, biasanya dia dan Ranti suka menghabiskan waktu berdua di sana.
"Makasih ya, Mba Yul," balas Loji sambil tersenyum senang dan bergegas masuk.
"Ya Mas, saya buatkan minum dulu," balas Yul, menutup gerbang kecil.
Loji duduk menunggu di saung kecil di sudut taman, tempat dia mengukir cerita dan cita-cita bersama Ranti. Melihat guratan-guratan kayu yang merekam kisah mereka.
"Ranti love Loji," gumamnya sambil tertawa kecil, semua masih terpahat indah di situ.
Tak berselang lama sebuah mobil datang, jantungnya langsung berdebar kencang. "Ranti," pikirnya, berharap yang datang adalah sang pujaan hati.
Dia berusaha duduk diam, memperhatikan mobil tersebut parkir. Menahan kakinya yang hampir tidak bisa di tahan, ingin segera berlari menyambut sang pujaan hati. Jantungnya semakin berdebar kencang saat pintu terbuka, memperhatikan dengan mata berbinar penuh kebahagiaan.
Tapi perlahan binar di matanya padam, bersama keceriaan yang terhapus di wajahnya. Dia terpaku, melihat Ranti keluar bergandengan tangan dengan seorang pria. "Ranti," panggilnya, menatap wanita yang menghiasi mimpi di malam sepi.
Ranti juga terkejut, segera melepaskan genggamannya. "Loji," gumamnya, berdiri diam mematung. Lupa hari ini mereka berjanji untuk bertemu.
Sang pria ikut terkejut, mengalihkan pandangan ke saung. Memperhatikan seorang pria seumuran Ranti, berpenampilan kumal ciri khas kaum rendahan.
"Kamu tunggu di sini," ucap Ranti sambil terus menatap Loji, menangkap kekecewaan di sorot matanya. Jantungnya seperti berhenti berdetak, sadar telah melakukan sebuah kesalahan besar.
Mereka saling menatap dengan hati campur aduk. Tidak satu katapun terucap, hanya diam mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.
"Siapa dia?" tanya sang pria memecah kebisuan, menggerakan kepalanya ke arah Loji.
"Loji," gumam Ranti, seperti tidak ingin terdengar. Menyadari selama ini sosok yang di carinya ada di depan mata, dan perlahan rasa sakit mulai terasa saat kawat berduri mulai membelit hatinya.
Di mata Loji mimpinya runtuh, tanggal satu persatu jatuh berserakan. Udara yang sejuk menjadi panas, seperti gejolak yang mengguncang dada. "Kenapa begini," ucapnya lirih. Perlahan berdiri mengikuti kakinya yang memaksa pergi.
Tidak ada kata yang bisa di ucapkan di mulut yang terkunci. Pikirannya kacau, semua perjuangannya selama ini sia-sia. Kenyataan menyakitkan terpampang di depan mata.
"Loji," panggil Ranti sambil bergegas menghampiri. Ketakutan terpancar jelas dari sorot matanya.
Loji hanya diam, kata-kata hilang dari ingatan. Melangkah cepat ingin berlari, menjauh dari semua ini.
"Loji, dengerin aku dulu," ucap Ranti memohon sambil menahan tangannya. Tatapan matanya nanar, dan air mata perlahan mengembang.
"Apa lagi?" tanya Loji gamang, menatap wanita yang terlihat asing di matanya. Lekuk-lekuk wajah yang terukir di hatinya seperti di hapus paksa.
"Kamu dengerin aku dulu," ucap Ranti, tidak rela dia pergi. Air mata perlahan mulai mengalir di pipinya, tapi penyesalan itu datang terlambat.
"Aku selalu dengerin kamu, aku selalu lakuin yang kamu minta," balas Loji lirih, menatap Ranti yang berurai air mata. "Kamu janji sama aku, dan ini kenyataannya," ucapnya, tidak ingin lagi mendengar apapun.
"Loji, aku bisa jelasin," isak Ranti bertahan, kawat berduri terasa semakin erat membelit hatinya. Sadar rasa cintanya sangat dalam kepada Loji, tapi kebodohan yang ia lakukan mungkin tidak termaafkan.
"Terima kasih, salam untuk Mama kamu," ucap Loji pilu, berusaha tersenyum walau wajahnya terukir kesedihan. Air mata mulai mengembang di matanya, memperhatikan wajah yang sangat ia rindukan.
Sang pria ikut mendekati mereka berdua. "Ranti," panggilnya, sambil menatap Loji dari kepala sampai kaki. Senyum kemenangan terlukis di wajahnya. "Kamu yang di kuliahin sama Mamanya Ranti? Gw Indra pacarnya Ranti," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Loji," balas Loji lesu, menyambut uluran tangan Indra. Menatap seorang pria bernampilam mewah, rasa malu seperti menyergap dirinya, menyadari kalau selama ini bagai pungguk merindukan bulan.
Ranti terus memegangi sebelah tangan Loji, tidak peduli Indra meliriknya penuh tanya. "Kamu tunggu sana aja," ucapnya, mendorong Indra yang terlihat cemburu.
Loji perlahan melepaskan tangan Ranti yang terus memegang lengannya. "Aku pulang dulu," ucapnya pelan, menerima kekelahan walau sakit.
"Dah," ucap Indra bagai meledek. Dia mencoba menggenggam tangan Ranti, tapi langsung di tepis.
"Loji, dengerin aku dulu," isak Ranti sedih, melihat sesuatu yang paling berharga di renggut paksa. Lepas dari dekapan erat tangannya.
Hanya bisa menangis menyesal, teringat semua rencana indah yang tersusun rapih. Menutup wajah dengan ke dua tangan, semua terasa gelap karena cahaya yang membuatnya bertahan lenyap.
Matahari yang bersinar cerah seperti tidak sempurna, Loji merasakan noda hitam menutup sebagian hatinya. Menundukan kepala, mengikuti kemana kaki membawanya pergi. Mimpinya hancur, dan terasa sangat menyakitkan karna sang penghancur adalah tempatnya bersandar.
"Kenapa begini," pikirnya bertanya-tanya, semua terlihat seperti tidak nyata. Termenung di pinggir jalan, memperhatikan kendaraan yang lalu-lalang.
Suara knalpot yang berderu terdengar membingungkan, sampai akhirnya tenggelam di keramaian. Bayangan terlintas, dirinya dan Ranti di seberang jalan. Kilasan cerita masa lalu yang terekam indah di hatinya.
"Kamu harus kuliah," ucap Ranti, menatap kesal Loji yang berdiri di sampingnya. "Gimana rencana kita mau jalan," lanjutnya.
"Aku bingung kalau nggak dapet beasiswa," balas Loji, mengingat siapa dirinya. Tidak mungkin melanjutkan kuliah. "Biaya dari mana," lanjutnya.
"Mama kan mau bantu, tapi kamu harus belajar yang serius," balas Ranti semakin kesal. Melepaskan genggaman tangannya. "Aku nggak suka kalau kamu nyerah gitu aja," ucapnya sambil mendekapkan ke dua tangan di dada. "Rencana kita bisa berantakan kalau kamunya gitu," omelnya, dan memasang wajah cemberut.
"Ya, udah aku coba," balas Loji, mengatur jadwal di kepala. "Abis nguli belajar, ke pasarnya di kurangin dulu," pikirnya.
"Jangan cuma coba, pokoknya harus bisa," balas Ranti sambil menatap lurus ke depan.
"Ya, aku janji," balas Loji sambil menjulurkan lidahnya menggoda. "Ayo kita janji," ucapnya sambil mengangkat tangannya. Senyum-senyum menggoda Ranti yang terus mengalihkan pandangan.
Ranti sesekali melirik, berusaha tidak tertawa. "Janji aja sama diri sendiri," balasnya kesal. Cemberut, tapi terus melirik memperhatikan.
"Oke," balas Loji, mengangkat ke dua tangannya dan bersalaman sendiri. "Janji yah," ucapnya sambil melihat tangan kanannya. "Ya janji," ucapnya kembali sambil melihat tangan kirinya.
"Ih, enggak gitu," balas Ranti sambil tertawa, tidak tahan melihat ekspresi wajahnya yang terlihat sangat serius.
Semua itu seperti terlihat jelas di mata Loji hari ini, tapi perlahan memudar. Kenangan indah yang harus di hapus dari kepalanya. Melangkah pelan, menyusuri jalan bersama awan mendung yang perlahan menyelimuti.
Hujan akhirnya turun, bersama air mata. Loji terus melangkah tidak peduli membiarkan hujan yang membasahi dirinya, mengikis apa yang di lihatnya hari ini. Sayap-sayap indah yang patah terasa sangat menyakitkan.
Di belahan bumi yang lain, sehari sebelumnya, di sebuah bandara di kota Italy. Seorang wanita bernama Linda duduk termenung. Kopi dingin serta roti yang di sajikan sama sekali tidak menarik, teringat pesan orang tuanya.
"Kenapa gw harus nikah, mau di jodohinnya sama dia pulak," pikirnya kesal sendiri.
Wajah seorang pria tiba-tiba terlintas di kepala. "Brengsek!" gumamnya, mengambil tisu dan merobek-robeknya. Tidak ingin teringat wajah pria tersebut. "Dasar caper!" pikirnya sambil meremas tisu sekuat tenaga.
"Hmm," dia menghela napas dalam. Panggilan untuk boarding terdengar memuakan, mengusirnya agar segera pergi.
"Si bangsat pasti cari muka deketin Nenek," pikirnya, tidak takut dengan perjodohan tapi takut karena di paksa harus menikah.
Duduk di first class dengan fasilitas mewah, terasa membosankan. Wine, bagai sebuah obat. Dia mabuk agar tertidur, dan kembali mabuk sampai akhirnya mendarat di Jakarta.
"Pagi, Mba Lin," sapa Bejo sopan, supir yang menjemputnya. Tersenyum datar, mengetahui dia sedang mabuk. Mengenakan kaca mata hitam untuk menutupi matanya.
"Pagi," balas Linda singkat. Masuk ke mobil dan duduk santai. "Jo, ke apartemen," ucapnya, malas pulang ke rumah.
"Mba, maaf tadi Ibu pesan langsung pulang," balas Bejo kebingungan. "Posisi saya sulit," lanjutnya, menatap Linda yang berumur tidak terpaut jauh darinya.
"Gw naik taksi aja, rese lo," omel Linda kesal, akan turun sambil menatap kesal Bejo yang nyengir kuda.
"Siap, saya antar aja ke apartemen," balas Bejo pasrah, segera menutup pintu.
Linda bersandar menutup mata, menikmati efek minuman di kepala. Mencoba berlari dari relita, tidak ingin mengingat-ingat masalah yang ada di depan mata.
Raut wajah Bejo terlihat usil, melirik spion Linda sedang menikmati perjalanan. Dia sengaja menyetel pelan lagu koplo jawa yang mengalin pelan. Tak lama ia kembali melirik spion, mendengar Linda mulai bersenandung. "Tak, matiin lagunya biar ngomel," pikirnya usil, mengerjai majikan yang sudah seperti teman.
Menunggu saat Linda mulai menikmati lagu yang terus mengalun. "Ah, lagunya ga enak," ucapnya tiba-tiba sambil mematikan radio dengan wajah tanpa dosa.
"Bejoo!" protes Linda. "Nyalahin lagi!" omelnya sambil mengedepankan badan akan memukul.
"Siap," balas Bejo geli sendiri. "Ini lagi, orang kaya ikutan dengerin koplo, mau saingan sama saya," gerutunya, meledek Linda yang tertawa lepas tidak peduli.
Mereka menikmati lagi koplo yang kembali terdengar, sesekali ikut bernyanyi riang. Berjoged mengikuti alunan lagu yang mengalun. Melepaskan beban dengan keceriaan, tidak peduli dengan apa yang akan terjadi.
"Mba, ngebakso dulu gak? Ada bakso enak deket apartemen," ucap Bejo sambil melirik Linda yang mulai sadar.
"Males," balas Linda, kembali bersenandung. Menikmati lagu dan sisa-sisa anggur di kepalanya.
"Ya, udah tak ngebakso sendiri," ucap Bejo memancing, karena tahu Linda pasti mau ikut.