Manipulasi

anakucilibo
Chapter #2

2. Lembaran Baru.

Pagi ini semua suram, awan mendung bergelayut rendah. Hujan rintik-rintik akhirnya turun, air perlahan menggenang membasahi aspal yang berdebu. Loji berdiri diam menatap butiran air yang menetes, perlahan menjadi genangan yang mengalir.

Hari-hari penuh keceriaan pergi, tidak ada lagi yang di kejar dan di tunggu. Kali ini ia merasakan arti sepi yang sebenarnya sampai harus menghembuskan napas berkali-kali. "Gw harus cari kesibukan," pikirnya, segera melangkah ke seberang kost.

"Assalamualaikum" salamnya, melihat beberapa orang yang di kenalnya sedang sibuk mempersiapkan bumbu.

"Walaikum salam," balas mereka.

"Da Fahmi, ada yang bisa di bantu ga?" tanya Loji berharap, menatap seorang laki-laki paruh baya yang tersenyum lebar.

"Ji, sini!" seru seorang laki-laki muda dari dapur, sibuk mengaduk-aduk wajan besar besar dengan pengaduk panjang.

"Sana gih," ucap Fahmi sambil menggerakan kepalanya.

"Makasih ya, Da," balas Loji sambil melangkah ke dapur dan menyapa yang lainnya.

"Rendang," ucap laki-laki tersebut, menyerahkan adukan panjang.

"Siap," balas Loji riang, mengaduk rendang yang sedang di masak. Sebuah pekerjaan yang biasa ia lakukan.

"Ji, ngelamar kerja kantoran sana," ucap Fahmi, mengetahui dia sudah lulus kuliah.

"Iya, Da, udah kok tapi belum ada panggilan," balas Loji, telah mengenal Fahmi sejak kecil. Dia sering membantunya dengan upah makan siang dan malam.

"Kalau dah kerja pamer ke Alvi, biar mau kuliah," ucap Fahmi sambil melirik adik iparnya yang tertawa lepas.

"Ini Loji kuliah di dapur juga, sama dengan saya," balas Alvi sambil tersenyum lebar, membuat mereka semua tertawa lepas.

Canda terlempar ke sana kemari, tawa seperti mencerahkan hari yang suram. Matahari terbit di tempat itu, menyinari wajah-wajah bahagia yang bersinar mengusir mendung.

Keceriaan perlahan timbul di hati Loji, mengaduk rendang sambil tertawa-tawa. Melupakan sejenak sakit hatinya. Kehangatan terasa di setiap sudut ruang, walaupun hujan turun dengan lebat. Dingin seperti tidak memiliki tempat di situ, karna setiap sudut terisi penuh dengan kehangatan.

Tidak seperti di apartemen, di sebuah kamar. Linda termenung menatap langit-langit kamar, pagi ini mamanya kembali mengingatkan agar segera menikah. Sebuah keputusan yang menyangkut hajat hidup keluarganya.

"Ah, kampret," pikirnya, malas bangun dari tempat tidur. Meraih hp, dan melihat beberapa pesan.

Dia berpikir sebentar, mencari tempat mencurahkan perasaannya. "Helen," pikirnya. Sekertaris serta teman dekatnya sejak SMA, tempatnya bercerita selama ini. Senyum-senyum menghubungi Helen, seperti tahu apa yang akan terjadi.

"Halo, Helen sedang libur dan akan menjawab telepon anda di hari senin," jawab Helen terdengar seperti mesin penerima telepon. Hari ini sabtu, dia sedang menikmati liburnya.

"Halo, gw dah balik ke Jakarta," ucap Linda sambil tersenyum lebar.

"Ah, lo balik gih ke Italy, gw sibuk hari ini males nyetir juga," balas Helen, sudah tahu Linda pasti ingin mengajaknya bertemu. "Jadi bosnya senin aja," lanjutnya sambil tertawa lepas.

"Ke sini, gw suruh Bejo jemput," ucap Linda seperti memendam sesuatu.

"Kenapa sih? Tumben amat, lo mau curhat? Jatuh cinta?" tanya Helen penasaran, mengenal Linda sangat dingin dan perfecsionis. Seorang tuan putri yang tidak pernah turun dari singgasana, dan tidak ada seorang pangeran pun yang berhasil menaklukannya.

"Sini gw cerita," balas Linda, susah mengatakan apa yang ia rasakan. "Atau gw ke tempat lo," ucapnya sambil menguap malas, melangkah pelan ke arah kamar mandi.

"Ya udah gw ke sana, lo ke sini malah ga mau pulang," balas Helen mengalah. "Suruh aja Bejo ke sini," lanjutnya.

"Oke," balas Linda senang, menutup telepon dan mengirimkan pesan ke Bejo.

Dia menatap wajahnya di kaca sambil termenung. Ingatannya kembali melayang saat jatuh menimpa Loji, pertama kali dalam hidupnya merasakan kehangatan dekapan seorang pria.

Wajahnya tiba-tiba saja merona, mengingat wajah mereka sangat dekat. Hembusan napas yang bercampur terasa lekat di kepala. "Ini pasti hormon yang melimpah," pikirnya mencari alasan logis. Menggelengkan kepala ingin melupakan kejadian itu, tapi malah terbayang senyum hangat yang membuatnya wajahnya merona.

Dia duduk sambil tertawa kecil, membuka perbannya dan kembali merasakan Loji sedang berlutut di hadapannya. "Aduh bahaya," pikirnya, tidak bisa menghapus Loji dari kepalanya.

"Sehari gw ketemu sama dia beberapa kali," gumamnya mencari alasan. "Makanya gw inget dia terus," pikirnya kembali. Sebuah alasan logis muncul di benaknya. "Ini pasti karena gw belum bales budi jadi inget terus," ucapnya mengambil kesimpulan.

Melangkah ke arah shower, membasahi kepala seperti hujan deras yang menggurus tanah. Membasuh semua kotoran yang mengendap, anugrah bagi sebagian orang. Saat yang tepat untuk mendinginkan hati, berlari dari kenyataan walaupun hanya sesaat.

Di belakang apartemen, di sebuah restoran padang. Loji sibuk mengangkat masakan yang sudah matang, memanfaatkan hujan sebagai pelariannya.

"Pake payung, Ji!" seru seorang wanita, melihatnya hujan-hujanan.

"Udah lama ga mandi ujan, Uni," balas Loji riang, padahal itu hanya sebuah alasan. Ini salah satu cara menghilangkan Ranti dari pikiran.

Mengangkat panci besar berisi makanan seperti yang biasa ia lakukan, mondar-mandir penuh semangat. Tertawa-tawa menarik Alvi agar ikut serta, menikmati derasnya hujan yang turun.

Selesai mengangkat semua makanan, dan membersihkan dapur. Loji membersihkan diri, dan setelah selesai kembali melangkah keluar untuk mencari kesibukan lain.

"Loji," panggil Fahmi yang sejak tadi memperhatikannya, mengerti ada sesuatu yang terjadi.

"Ya, Da," balas Loji sambil menghampiri.

"Duduk sini," ucap Fahmi, melihat ada sesuatu di matanya. Tidak ada binar-binar semangat, tidak seperti anak yang dia kenal.

"Kenapa, Da?" tanya Loji, menatap Fahmi yang memperhatikannya.

"Berantem sama siapa semalem?" tanya Fahmi, melihat lebam di wajahnya.

"Nolongin orang di kejar sama preman perempatan," balas Loji singkat, mengerti kalau bukan itu yang akan di tanyakan oleh Fahmi.

"Kamu ada masalah sama Ranti?" tanya Fahmi sambil melirik istrinya yang bernama Ani ikut duduk. Dia menggerakan kepala, seperti memberi tahu ada yang tidak beres.

"Iya, kamu kenapa?" tanya Ani penasaran.

"Aku putus sama Ranti," jawab Loji sambil menundukan kepala, rasa sakit tiba-tiba menghujam dada.

"Kalau jodoh ga kemana," ucap Fahmi bijak. "Santai aja, ambil yang baik, buang yang buruk," lanjutnya, menepuk-nepuk pundak Loji yang terlihat sangat sedih.

"Sama adek Uni aja, si Aisah," goda Ani, mencoba mengusir kesedihan dengan canda.

"Nah, Uda setuju kalau itu," sambut Fahmi sambil tertawa lepas bersama istrinya. Mereka seperti mengajarkan Loji untuk bersikap santai, putus cinta bukan masalah besar.

"Uni," balas Loji sambil memaksa tersenyum. "Mana mau Aisah sama saya," ucapnya, mengerti apa yang coba di sampaikan mereka berdua.

"Mau dia," sambut Ani. "Biar si Alvi punya kakak ipar sarjana," lanjutnya kembali tertawa lepas.

"Vi, si Loji mau sama Aisah boleh gak?" tanya Fahmi, melihat Alvi menghampiri mereka.

"Boleh, Ranti biar sama saya," balas Alvi, di sambut tawa lepas mereka.

Loji ikut tertawa lepas, sangat bersyukur lingkungan tempatnya tinggal bagai supporting sistem untuknya. Bantuan yang mereka berikan sangat berarti, melengkapi dirinya menjadi pribadi yang dewasa dan penuh pengertian.

"Nih, buat kamu," ucap Ani sambil menyodorkan sebuah amplop.

"Apa ini uni?" tanya Loji kaget.

"Buat modal cari kerja," jawab Fahmi sambil tersenyum.

"Ga usah Uda, Uni," balas Loji sungkan, mengingat mereka selalu membantunya. "Aku yang terimakasih selama ini di bantuin," ucapnya haru.

"Buat saya aja kalau ga mau," balas Alvi langsung mendekat, mencoba meraih amplop tersebut.

"Enak aja," balas Ani, memukul tangan adiknya.

Tawa riang kembali memenuhi sudut-sudut ruangan, mengusir sepi untuk angkat kaki. Terganti tawa serta canda, namun, di dasar hati Loji kesepian masih bersembunyi. Mencari kesempatan untuk kembali.

"Makasih ya, Uni," ucap Loji, menerima amplop tersebut dengan gembira. "Uda, makasih ya," lanjutnya, tersenyum lebar seperti semula.

"Dah, masalah Ranti ga usah di pikirin," ucap Ani. "Nanti banyak yang cewek antri kalau kamu sukses," lanjutnya memberi semangat.

"Ya, bener kata Uni," balas Fahmi. "Liat si Alvi, baru jadi tukang masak aja gonta ganti pacar," lanjutnya sambil menatap adik iparnya mengangkat alis.

"Sukses artinya," balas Alvi bangga, membuat tawa mereka kembali pecah.

Air yang mengalir perlahan mengikis rasa sakit di hati Loji, menghanyutkan puing-puing yang berserakan. Menyisakan banyak ruang-ruang hampa, ruang yang siap di penuhi kembali dengan bunga-bunga yang tumbuh di kemudian hari.

"Gw harus dapet kerja," pikir Loji bersemangat, menatap orang-orang yang membantunya. Rasa syukur seperti tak henti terucap di bibir, banyak tangan memeganginya untuk tetap berdiri.

Di apartemen, di dalam kamar. Suara bel berbunyi memanggil Linda yang sedang duduk santai. Segera bangun mengintip dari lubang pintu. "Helen," pikirnya, merasa senang.

"Hai," sambutnya riang.

"Gw laper," balas Helen sambil masuk ke dalam apartemen.

"Sini gw mau cerita," ucap Linda tidak peduli, menarik tangan sahabatnya duduk di sofa.

Mereka duduk di ruang tamu. Helen memperhatikan Linda yang bingung akan memulai dari mana. "Cerita apaan? Mau cerita diem aja," ucapnya heran, memperhatikan sikap sahabatnya.

"Gw harus mulai dari mana yah," balas Linda kebingungan sendiri. Berpikir mencari awal yang tepat, dia ingin Helen mengerti keseluruhan kisah yang terbangun.

"Mulai dari beli makanan, laper jadi ga konsen," balas Helen sambil berdiri. "Ayok, di bawah aja. Bejo sialan pamer abis makan steak, supir edan," gerutunya sambil menarik tangan Linda.

"Sini aja gw pesenin," balas Linda malas, segera meraih telepon dan memesan makanan.

Helen hanya diam mendengarkan, sesekali mengangguk setuju saat Linda mengatakan menu yang di pesan. Dia hanya diam memperhatikan sampai Linda menutup telepon. "Nah, cerita sekarang," ucapnya bersemangat, siap mendengarkan.

"Gw di paksa harus nikah," ucap Linda memulai kisahnya. Perjodohan adalah awal dari semuanya, sampai dia kejar preman. "Nenek mau ngelepas semua usahanya ke bokap atau Papa Agil, dan yang gagal akan hidup dari jatah," lanjutnya bercerita sambil menatap Helen yang mengangguk-angguk.

"Ya udah, nikah buruan kasian orang tua lo lah," balas Helen, melihat tidak ada pilihan lain. "Nenek-nenek aneh, udah tau Om lo sama anaknya kusut," ucapnya merasa janggal. "L&R dulu hampir bangkrut, malah bikin keputusan kayak gitu," lanjutnya tidak mengerti, mengingat Linda berusah payah membenahi semua kekusutan yang terjadi.

Linda tersenyum datar sambil mengangkat pundaknya. "Trus Bu Hengky bilang ke nyokap karena ada kesempatan itu, mau jodohin gw sama anaknya si Rudy," ucapnya kesal. "Gw males lah," lanjutnya, mengigil karena jijik.

"Bahaya, jangan sama sama dia lah," balas Helen mengingatkan. "Lo bisa kena penyakit menular," ucapnya serius.

"Najis banget," balas Linda sambil menghela napas dalam, tapi teringat tidak memiliki banyak waktu. "Waktu gw sempit, ulang tahun Nenek bentar lagi," ucapnya seperti merenung. "Gw harus bawa cowok minta restu sama dia," lanjutnya putus harapan.

"Banyak yang mau sama lo," balas Helen kesal. "Apa yang kurang coba, cantik, tajir melintir bonus perawan pulak," ucapnya keheranan, tidak habis pikir melihat sahabatnya. "Salahnya ada di lo, bukan di tempat lain," lanjutnya.

"Ting tong!"

Suara bel menghentikan cerita mereka.

"Makanan dateng," ucap Helen senang, melangkah riang menuju pintu.

Mereka kembali bercerita sambil menikmati makanan.

"Emangnya cuma Rudy yang di kasih restu sama Nenek?" tanya Helen sambil menyuap makanan.

"Enggak, dia paling caper sekarang," balas Linda, mengingat sikap Ruddy. "Nenek ga begitu peduli latar belakang, gw juga kadang bingung kriterianya," ucapnya, ikut menyuap makanan. "Tapi saat ini yang di kenal Nenek ya si bangke," lanjutnya.

"Kalau gitu mah gampang," balas Helen menenangkan. "Lo ga perlu bikin kontes juga ngumpul cowok-cowok," lanjutnya sambil menatap Linda yang tidak suka mendengarnya.

"Males gw," balas Linda, tidak tertarik memiliki pasangan. Dia ingin hidup sendiri, menikmati semuanya tanpa beban.

"Nah, problemnya kan di elo," balas Helen, sudah tahu arah pikiran sahabatnya. "Ga akan ada manusia yang sempurna, makanya di bikin Adam dan Hawa biar saling melengkapi," ucapnya.

Linda sadar, dia terlalu perfeksionis. Sangat mudah baginya menilai kekurangan orang lain, salah satu penyebab dia memilih untuk sendiri selain alasan terbesar. "Gw ga mau kayak Mba Ayang," gumamnya.

"Yah kalau elo tetep gitu, abis semua di ambil om Ragil sama Indra," balas Helen mengingatkan.

Linda terdiam, merenung sendiri. "Bener juga, gw ga bisa diem aja," pikirnya mengingat orang tuanya. "Gw semalem ketemu cowok," ucapnya tiba-tiba, raut wajahnya berubah penuh makna.

Helen langsung menatap sahabatnya, memperhatikan sorot matanya yang terlihat berbeda. "Siapa?" bertanya karena penasaran.

Linda mulai menceritakan pengalamannya semalam. "Ada sensasi yang beda waktu dia berlutut, ngobatin kaki gw," ucapnya, menutup mata merasakan sensasi yang pertama kali ia rasakan. "Ga over sikapnya, pas aja sama gw," tambahnya, seperti menginginkan hal itu kembali terjadi.

"Nempel ya di kepala, terus kebawa ke hati," pancing Helen, tidak pernah melihat sahabatnya seperti ini.

"Bener, nempel banget," balas Linda, melihat bayangan wajah Loji dengan jelas. "Dia gimana ya sekarang? Kasian semalem bibirnya berdarah dan lebam mukanya," ucapnya, tanpa sadar. "Pasti sakit, gw liat dia di pukul kenceng banget, kasian," lanjutnya khawatir dengan kondisi Loji saat ini.

Lihat selengkapnya