Minggu pagi, suara burung seperti menyiarkan kabar gembira. Kabut tipis yang menyelimuti Jakarta membuat suasana terasa syahdu. Kendaraan yang lalu-lalang menghilang, karena hari ini ada car free day di beberapa tempat, menambah kenyamanan yang berharga sangat mahal.
Loji terlihat bersemangat. "Jualan," pikirnya, mencari celah rejeki di antara orang yang berolah raga. Bersiul-siul santai sambil melihat sebuah pesan di hp. Tiba-tiba langkahnya terhenti, senyumnya hilang terganti dengan kerutan di kening. "Maksudnya apa yah?" bertanya-tanya dalam hati.
"Besok pagi kamu jangan kemana-mana, ikut saya. Bejo nanti telepon kamu." Pesan dari Linda semalam.
Dia diam berpikir. "Mungkin masalah kerjaan," gumamnya mengambil kesimpulan. "Baik, Mba," balasnya, duduk diam di depan kamar. "Nunggu deh," pikirnya pasrah, kembali masuk ke kamar.
Di luar, di deket sebuah mini market. Ranti duduk diam di dalam sebuah mobil, sangat tahu kebiasaan Loji. Memperhatikan beberapa orang yang di kenalnya keluar dari dalam gang. Berdiam diri sambil terus mengawasi dengan sabar, ini terasa lebih baik dari pada berada di rumah.
"Mana dia," pikirnya, biasanya hari minggu pagi Loji keluar untuk berdagang. Memperhatikan sebuah mobil parkir tak jauh dari mulut gang.
Loji tak lama keluar dari gang. Ranti mengawasinya dengan mata berbinar penuh kerinduan. "Dia sama siapa?" bertanya-tanya dalam hati. Menahan diri agar ingin keluar menghampiri.
Ranti terus memperhatikan, Loji dan seorang laki-laki melangkah ke dekat mobilnya. jantungnya berdebar kencang, merasakan kehangatan dekapan Loji yang sangat lekat di ingatan. Melihatnya sarapan sambil ngobrol dan tertawa. "Kamu ga boleh bahagia," pikirnya kesal sendiri.
Di luar, di tukang bubur dekat mobil Ranti. Loji bersama Bejo sarapan menikmati bubur hangat. Tidak sadar, sepasang mata terus memperhatikan gerak-geriknya.
"Mas Loji, biasanya ngapain kalau minggu gini?" tanya Bejo sambil menyuap bubur hangat.
"Dagang Mas, di car free day," balas Loji riang, sangat suka dengan sikap Bejo yang ramah.
"Orang tua tinggal di mana mas?" tanya Bejo, mendapatkan mandat dari Linda untuk mengorek informasi. "Orang tua saya di kutoarjo," ucapnya memancing.
Loji mengingat orang tuanya berasal dari Solo. "Orang tua saya asli Solo, tapi mereka sudah tiada," jawabnya tenang.
Bejo memperhatikan wajahnya yang terlihat biasa saja. "Aneh," pikirnya, karna kehilangan orang tua bukan hal yang mudah untuknya. Melihat Loji, sesekali menyapa orang-orang yang melintas seperti tidak ada beban.
"Kenapa Mas?" tanya Loji, melihat ada yang janggal dari tatapan Bejo.
"Orang tua meninggalnya sudah lama?" tanya Bejo ingin tahu lebih dalam.
"Bapak waktu saya SD, dan Ibu waktu saya SMP kelas 1," balas Loji sambil menyuap buburnya.
"Mas Loji tinggal sama siapa di sini?" tanya Bejo semakin penasaran.
"Sendiri," balas Loji santai, dan tersenyum lebar melihatnya kaget.
"Sendirian? Ga sama saudara atau siapa gitu?" tanya Bejo seperti tidak percaya.
"Ga, sendirian," balas Loji terbiasa dengan situasi seperti ini. "Saya beruntung Mas, orang-orang di sini baik sama saya," ucapnya bersyukur. "Mereka jadi supporting system saya selama ini, bentar ya Mas," lanjutnya sambil berdiri. Menyuci mangkuk miliknya serta mangkuk kotor lainnya.
"Nitip sekalian, makasih ya, Ji," ucap tukang lontong sayur, seperti hal yang biasa terjadi.
"Siap," balas Loji sigap, menerima beberapa piring.
Bejo memperhatikan beberapa orang yang sedang makan juga biasa saja, ini bukan hal yang aneh. Mereka sesekali bercanda sambil memberikan mangkuk bekas makan ke Loji. "Keren," pikirnya, semakin penasaran tentang pria yang sangat unik di matanya.
"Ji, lo mau jalan?" tanya tukang bubur.
"Iya, Bang," balas Loji riang sambil menaruh mangkuk serta sendok yang telah di cuci, mengelapnya agar kering dan siap di gunakan kembali.
"Oh, tolong gantiin bentar bisa gak?" tanya tukang bubur sambil memegang perutnya.
"Santai kok kita," balas Bejo, ingin melakukan obervasi lebih lanjut.
"Sebentar ya," ucap tukang bubur sambil berdiri dan melangkah cepat ke arah gang.
"Makasih ya Mas Bejo," ucap Loji sambil tersenyum.
"Ya," balas Bejo, memperhatikan dia melayani pelanggan yang datang. Mempelajari sikapnya, sambil sesekali tertawa bersama para pelanggan. "Mba Lin, kena batunya kali ini," pikirnya.
Di apartemen, di dalam kamar. Helen terlihat sangat serius berdiskusi dengan Linda, mereka mencoba menyusun rencana agar berjalan baik. Memanfaatkan waktu yang tersisa.
"Attitude dah dapet," ucap Helen. "Biar dia ngerti bisnis kita harus ceburin sekalian, lo ajarin dia," lanjutnya, menatap Linda yang mengangguk-angguk.
"Tapi kalau kita ajarin di Jakarta bahaya," balas Linda mengingat sesuatu. "Matanya om Ragil sama Indra di mana-mana," lanjutnya.
"Tenang, di Jakarta paling cuma seminggu," balas Helen menenangkan. "Event kan di Bali, Hotel bersih ga ada orang mereka," ucapnya. "Masak ga cukup sebulan, pasti mateng sikapnya," lanjutnya.
"Masalah background gimana?" tanya Linda, walaupun tidak ada masalah dia tidak ingin ada celah.
"Masalah itu nanti," balas Helen, mengingat sikap Loji. "Dia bukan orang yang bisa lo beli pake duit, salah dikit berantakan rencana kita," ucapnya, seperti mengingatkan Linda dan dirinya sendiri.
"Iya juga, jangan salah timing bisa berantakan," ucap Linda, menghela napas dalam.
"Surat perjanjian itu kunci kita," ucap Helen sambil berpikir, sangat berhati-hati untuk masalah ini. "Harus tunggu momen yang pas, kalau itu salah waktu semua bubar," lanjutnya khawatir.
"Bener, siapin dulu sama aja sama temen lo. Kita tinggal tunggu momennya dateng," balas Linda seperti melamun. "Kalau momennya ga dateng paling enggak pas ulang tahun Nenek dia bisa tampil, singkirin Rudy," ucapnya penuh makna.
"Yes, kita bisa liat selanjutnya gimana," ucap Helen setuju. "Gw siapin sama Nita, tapi kalian harus deket," lanjutnya penuh makna.
"Maksudnya?" tanya Linda kebingungan.
"Loji mau gitu, kita suruh tanda tangan yang isinya pura-pura jadian trus nikah sama elo?" tanya Helen berbalik.
Linda menggelengkan kepala. "Pasti ga mau, satu-satunya cara gw harus deket sama dia dan manfaatin kebaikannya dia," balasnya mengerti, dan menghela napas dalam.
"Iyes, ga ada cara lain," balas Helen dengan mata berbinar. "Kalau kalian jadian beneran juga ga apa," ucapnya meledek.
Linda langsung memasang wajah menolak. "Ga akan," balasnya tegas.
"Yakin?" goda Helen senyum-senyum menggoda.
"Udah ah, jangan bahas sesuatu yang ga mungkin," balas Linda cemberut kesal. Mencoba memegang teguh pendiriannya, single adalah yang terbaik walaupun itu hanya di bibir.
"Baiklah princess," balas Helen tersenyum lebar. "Masalah pernjanjian gw bikin aja dulu, kita liat aja perkembangannya gimana," lanjutnya, tidak mau salah mengambil langkah.
Linda mengangguk-angguk setuju. "Check list dulu aja," ucapnya tidak ingin berpikir lebih jauh.
"Oke, hari ini kita dandanin dia," ucap Helen sambil mengetik di hpnya, membuat notes apa saja yang harus di lakukan.
Suasana kamar penuh rencana, menggantung di udara bagai awan-awan kecil yang bisa menjadi besar. Puzzle mereka telah siapkan, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk di satukan. Helen menulis satu persatu rencana mereka, kemudian mengucapkannya kembali.
Linda mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk-angguk setuju.
"Minggu depan kita ke Bali," ucap Helen, menyebutkan salah satu rencana mereka. "BTW kita tinggal di mana? Hotel atau villa?"
"Mmmm, villa aja deh," balas Linda, merasa lebih nyaman berada di villa miliknya.
"Bejo harus kita ajak kalau gitu," ucap Helen mengingat-ingat sesuatu. "Nyokap lo bisa tiba-tiba ke Bali kalau tau ada Loji sama kita di vila," lanjutnya khawatir akan menjadi masalah.
"Oke," balas Linda. "Yuk, si Bejo sama Loji dah standby di lobby," ucapnya sambil melihat sebuah pesan.
"Ayuk," balas Helen lega, karena bila Ragil mengambil alih L&R posisinya juga terancam.
Di lobby, di dalam mobil. Ranti menggenggam setir erat-erat, percikan-percikan api cemburu membakar dirinya. AC mobil terasa panas, seperti hatinya yang membara. Sorot matanya terlihat tajam, saat melihat Linda dan Helen masuk ke dalam mobil yang di tumpangi Loji.
"Jadi ini sebenarnya," pikir Ranti, mengambil kesimpulan kalau Loji juga menyembunyikan sesuatu darinya. "Kamu bajingan!" jeritnya penuh kemarahan.
Tubuhnya sampai bergetar menahan emosi yang meledak di dada, kebencian terlihat jelas di matanya. "Helen," pikirnya, mengenali Helen dari seorang teman dekatnya. Dia mengikuti mobil yang di tumpangi Loji.
Perlahan tapi pasti kebencian tumbuh besar mengakar, prasangka buruk seakan menjadi teman baik. Membisikan beragam tuduhan bersama nada minor yang mengalun di radio. "Kamu nyakitin aku!" seru Ranti berteriak sendiri, mengeluarkan amarahnya.
"Kring!"
Teleponnya berdering, memanggil-manggil tapi dia tidak peduli. Terus mengikuti kemana mereka pergi. "Indra," pikirnya melirik siapa yang menghubungi. Membiarkan panggilan tersebut akhirnya berhenti.
"Kring!"
"Mama," pikir Ranti, melihat siapa yang menghubungi. "Brengsek si Indra," gumamnya karena sudah pasti melapor ke mamanya.
"Halo," jawab Ranti mencoba menenangkan suaranya.
"Pulang, ada Indra datang," ucap mamanya lembut.
"Ya, Mama," balas Ranti pasrah, memperhatikan mobil yang di tumpangi Loji berbelok ke sebuah Mall. "Kamu penghianaat!" serunya, memukul-mukul stir mobil. Melepaskan semua kemarahan sebelum kembali ke rumah.
Hitam memenuhi hati Ranti yang dulu putih bersih, otaknya berputar cepat mencari tahu tentang Helen. Dia menghubungi teman dekatnya, berakting dengan baik untuk mendapatkan segala informasi.
Di mall, Loji ikut turun bersama Helen dan Linda. Melihat ke kiri dan ke kanan pemandangan di situ membuatnya tertekan, pakaiannya terlihat sangat kumal di bandingkan dengan pengunjung lain.
Helen saling melirik dengan Linda, dan melihat kebelakang, Loji berjalan mengikuti mereka sambil menunduk.
"Ji, karena kamu akan bantu kita dan jadi ajudan, kamu harus potong rambut biar rapih," ucap Helen membuka pembicaraan.
"Ya, Mba, tapi kalau di sini sepertinya saya tidak mampu bayar," balas Loji jujur, tabungannya di persiapkan untuk jangka panjang. Dia pernah merasakan kelaparan, jadi selalu menggunakan uang dengan hati-hati.
"Tenang aja," balas Helen sambil tersenyum. "Pokoknya kamu ikutin omongan kita yah," ucapnya menenangkan Loji yang mengangguk.
"Ya, Mba Helen," ucap Loji pelan.
"Kalau di kantor jangan panggil Mba, panggil Bu," ucap Linda ketus, padahal sudah berusaha santai tapi nada suaranya yang keluar tidak sesuai harapan.
"Ya, Mba Linda," balas Loji mengerti.
Helen tersenyum datar, melirik Linda yang juga terkejut dengan nada bicaranya sendiri. "Kita potong rambut di situ," ucapnya, melangkah ke arah sebuah salon langganan mereka.
Loji mengangguk, hanya diam tidak mengatakan apapun. Mengikuti apa yang di katakan mereka, semua ini masih masuk akal baginya. Menikmati creambath, serta perawatan sambil mensyukuri apa yang di dapatkan hari ini. Namun, ada tekanan di hatinya melirik orang-orang menatapnya seperti menghakimi.
Helen yang memperhatikan sikapnya, mengirimkan pesan ke Linda. "Bejo gw suruh ke sini yah, kasian ga ada temennya si Loji," tulisnya, dan mengirimkan pesan tersebut.
"Oke," balas Linda singkat.
Apa yang di pikirkan Helen benar, Loji terlihat lebih tenang saat Bejo ada di situ. Sikapnya menjadi santai sesekali bercanda dan tertawa bersama Bejo yang meledeknya.
Setelah selesai, Bejo menatapnya seperti termenung. "Gak pantes bantuin jualan bubur, apa lagi cuci piring," gumamnya, melihat penampilan Loji yang berbeda.
Helen juga menatapnya dengan mata berbinar. "Old money vibes," pikirnya kagum, tidak semua orang memiliki aura tersebut.
Linda hanya diam, pura-pura acuh sambil melihat dari pantulan cermin. "Biasa aja," gumamnya, tapi hatinya berkata lain. "Udah yuk, kita cari baju," ucapnya sambil melangkah mendahului, menutupi perasaan yang bergelayut di hatinya.
Bejo hanya senyum-senyum, karena sangat mengenal Linda. "Hmm, belaga cuek," pikirnya, melirik Loji yang segera mengikuti. Dia ikut melangkah santai menemani.
Linda dan Helen masuk ke sebuah toko baju yang menjual merk ternama. Loji langsung berhenti, tidak berani masuk ke dalam.
"Ayo Mas," ajak Bejo sambil menarik tangannya.
Loji mengangguk, ikut masuk ke dalam. "Haduh," pikirnya ketakutan, mengingat tadi harga potong rambut sampai menghabiskan ratusan ribu rupiah. Dia merasa tidak akan mampu membeli pakaian di sini.
Wajahnya terlihat khawatir, melihat Helen sedang memilih beberapa pakaian pria, melirik Linda yang duduk santai melihat majalah. Ketakutan di haruskan membeli pakaian di sini.
"Ji, coba ini," ucap Helen sambil menyodorkan satu set kemeja kerja, tapi Loji hanya diam kebingungan. Ini bukan hal biasa untuknya.
Bejo tersenyum lebar, seperti mengetahui isi kepalanya. "Santai aja, ini dari kantor," ucapnya asal.
Helen langsung menyambut ucapannya. "Iya, ini dari kantor jadi kamu harus kerja keras," ucapnya.
Loji menghembuskan napas lega. "Baik Mba Helen," balasnya, kerja keras adalah hal yang biasa untuknya. Menatap Helen dengan mata berbinar haru, tidak menyangka semua ini.