Manipulasi

anakucilibo
Chapter #4

4. Dua Dunia Yang Berbeda.

Angin dingin yang berhembus terasa panas bagi sebagian orang. Malam ini jantung beberapa orang seperti berlari mengejar waktu, saling berpacu menuju sebuah hotel kecil di bilangan Jakarta.

Wajah-wajah marah serta ketakutan terukir, menggambarkan pikiran mereka yang sedang bergegas.

Loji panik, sorot matanya terlihat sangat ketakutan. "Ranti kamu kenapa," pikirnya, ini sesuatu yang tidak di sangka-sangka. Terbayang pisau siap memutus urat nadi, kengerian seperti mencengkram dirinya.

"Pak, ayo cepet pak!" serunya khawatir, saat sampai semua sudah terlambat. Dia terus menghapus bayang-bayang mengerikan yang datang menghantui.

Deru mesin motor yang meraung seperti tidak menambah kecepatan, semua terasa bergerak perlahan di buru waktu yang berputar cepat.

Saat sampai, dia langsung berlari masuk ke hotel. Melihat tidak ada seorang pun di receptionist hanya ada seorang satpam sedang menonton tv.

"Pak, kamar 518!" seru Loji dengan napas tersengal-sengal.

"Lantai 5, lift sebelah kanan," ucap sang security, wajahnya penuh tanya namun terbiasa dengan orang-orang yang bersikap aneh. Memilih diam selama tidak mengganggu ketertiban, melirik Loji berlari menuju lift memencet tombol beberapa kali.

"Mas Loji!" panggil Bejo yang menyusulnya, segera mendekati Loji dengan napas memburu. "Ngapain Mas, saya panggil-panggil ga denger," ucapnya sambil mencoba meredakan napasnya.

"Ranti mau bunuh diri," ucap Loji panik sambil menatap Bejo dengan wajah ketakutan.

"Waduh," ucap Bejo ikut panik. "Di mana?"

"Di lantai 5 kamar 518," jawab Loji sambil terus memencet tombol lift. Ketegangan seperti menarik wajahnya, terus menatap lift yang sedang turun tapi terasa bagai dalam gerakan lambat.

"Buruan!" gumamnya kesal, terus memperhatikan lift yang sudah di lantai 3. "Ah, lama!" gerutunya tidak sabar, melihat ke arah tangga naik. "Tangga aja Mas," ucapnya sambil berlari naik tangga.

Bejo kepayahan, berusaha naik mengikuti walau tertinggal.

Selisih beberapa detik mereka naik tangga, papa Ranti yang bernama Andreas datang. Wajahnya mengelam menyimpan amarah. Berlari masuk ke dalam hotel sambil berteriak. "Kamar 518 di mana!" Terdengar sangat lantang.

Sang security kaget, sampai loncat dari kursi. "Lantai 5 naik, keluar lift ke kiri," ucapnya, memperhatikan mereka masuk ke dalam lift yang baru sampai.

"Sikat langsung, jangan kasih ampun," ucap Andreas sambil mengepalkan tangan, menahan kemarahan yang meledak-ledak. "Dajal ga tau berterimakasih!" serunya.

"Bugh!"

Memukul dinding lift yang berjalan lambat. Berpikir keras, karena semua rencana yang di bangun akan kandas. Ini akan menjadi aib, sebuah noda yang tidak bisa hilang.

"Bajingaaaaaan!" seru Andreas, melepaskan emosi yang meledak.

"Tenang Pak, kita langsung proses malam ini, pengacara sebentar lagi sampai," ucap seorang bawahannya, berusaha menenangkan.

Di tangga, Loji akhirnya sampai lantai lima. Kakinya terasa lemas tapi mengingat pisau yang di arahkan Ranti ke nadinya. Segera melihat urutan nomor kamar, tidak peduli napasnya yang hampir putus.

"Mas Loji," ucap Bejo kepayahan, memegangi lutut dengan ke dua tangan. Matanya seperti berkunang-kunang, melihat Loji melangkah cepat ke kiri. "Haduh," gumamnya, mengikuti walaupun hampir ambruk.

Di dalam kamar, di depan kaca. Ranti duduk santai menunggu. Mengenakan baju yang di robeknya sendiri, semua terlihat sangat meyakinkan. Dia menatap dirinya di kaca. "Lebih baik kamu menunggu di penjara dari pada bersama yang lain, kita akan sama-sama tersiksa," pikirnya.

"Tok tok!"

"Ranti!" panggil Loji sambil mengetuk pintu.

Senyum mengembang di wajah Ranti, mengacak-acak make up serta rambut agar terlihat terjadi pemaksaan. "Papa datang kamu habis, aku menderita kamu juga menderita, tapi nanti kita akan bersama," gumamnya sambil berdiri, terjerumus dalam sebuah obsesi yang menyesatkan.

"Ranti!" panggil Loji sambil mengetuk-ngetuk pintu. Kepanikan terlihat jelas di wajahnya, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi.

Bejo hanya diam di sampingnya sambil memegangi lutut, mengatur napas yang hampir habis. "Duh, ada-ada aja," gerutunya, tidak habis pikir ini bisa terjadi.

Ranti membuka pintu. "Loji, tolong aku!" serunya sambil menarik tangan Loji masuk ke dalam.

"Ranti, kamu kenapa!" seru Loji kaget, melihat penampilannya yang acak-acakan.

Ranti langsung membanting pintu agar menutup, dan langsung memeluk Loji dengan erat. "Kamu ga bisa lari dari ku," bisiknya sambil mendekap sekuat tenaga.

Bejo langsung menahan pintu agar tidak tertutup, berpikir Ranti akan bunuh diri. Matanya terbelalak, melihat Ranti yang berpenampilan seperti orang gila sedang memeluk Loji.

"Ranti!" bentak Andreas, dari depan pintu. "Bajingan kalian!" serunya gelap mata.

"Bugh!"

Dia langsung memukul Bejo tanpa bertanya, terus maju dan langsung menarik tangan Loji.

"Bugh!"

"Bugh!

Dua buah pukulan menghantam wajah Loji sampai terjatuh. Beberapa bawahannya segera bergerak, satu orang memukuli Bejo dan yang lainnya memukuli Loji.

Bejo melawan, berlari keluar sambil berteriak. "Tolooooong!" jeritnya, memukul dan menendang secara acak, berusaha sebisa mungkin menjauhkan lawannya.

"Bugh!"

Sebuah tendangan mengenai perutnya sampai terdorong mundur ke dekat tempat sampah, dia langsung meraih tempat sampah tersebut dan melemparkan ke sang lawan. "Tolooonngg!" jeritnya sekuat tenaga. Kembali meraih kursi kayu, menjadikannya tameng sambil turun ke bawah.

Di kamar atas, Ranti hanya diam melihat Loji di pukuli. Hatinya menjerit-jerit tidak bisa menerima hal itu, tapi dia hanya bisa menangis di pelukan Andreas.

Loji meringkuk, menutupi kepalanya. Diam bertahan, menerima banyak pukulan serta tendangan yang menghantam.

"Kamu ga apa-apa kan sayang?" tanya Andreas, memeluk Ranti dengan erat. Dia melihat Loji yang sedang di pukuli. "Abisin aja!" jeritnya emosi, salah paham dengan tangisan Ranti.

Keributan serta teriakan Bejo memancing pengunjung lain keluar kamar, sang security juga naik bersama beberapa orang rekannya. Mereka akhirnya bisa meredam keributan yang terjadi, tak lama polisi setempat akhirnya datang.

Di apartemen, di dalam kamar. Linda termenung menatap keluar jendela kamar, melihat kendaraan lalu-lalang. Hidup memang tidak adil, saat sebagian orang bersantai menikmati hidup, sebagian lainnya berusaha keras untuk bertahan.

Dia tahu ada ketimpangan di dunia ini, tapi perjalanan hidup Loji menggetarkan hatinya. Air mata mengalir, menandakan betapa dalam perasaan yang telah tertanam. "Kamu sangat kuat, melangkah sendiri tanpa tempat berlindung," gumamnya, tidak terpikir bagai mana seorang anak berjuang sendirian melawan kerasnya kota Jakarta.

"Kamu juga harus bisa menikmati hidup ini," gumamnya, tanpa sadar membelai jendela kamar yang sedikit berembun. Seperti melihat wajah Loji di situ.

"Hmm," Linda menghela napas pelan dan teringat sesuatu. "Bejo kemana sih, ga ada laporan," omelnya tiba-tiba. Melihat hp tapi belum ada pesan balasan dari Bejo. "Supir ga guna, gw pecat juga lama-lama," gerutunya.

"Ah, dari dulu ngomong pecat-pecat ga di pecat-pecat," ucap Helen sambil tertawa lepas.

"Gw pecat kali ini kalau ga guna," omel Linda, walaupun itu sesuatu yang tidak mungkin. Dia hanya ingin di dahulukan.

"Cucu sama Nenek sama aja," ucap Helen sambil tersenyum lebar. "Untung cucunya versi lite, kalau sama jantungan gw," lanjutnya kembali tertawa lepas, tidak memperdulikan Linda yang terus mengomel.

Linda tak lama mondar-mandir, seperti mencari-cari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya.

Helen tidak peduli asik menonton TV, sesekali melirik sahabatnya. "Jatuh cinta," pikirnya, tidak heran karena pernah mengalami hal serupa.

"Bejo," pikirnya, melihat sebuah pesan datang. Keningnya berkerut membaca pesan tersebut, langsung berdiri karena terkejut saat melihat sebuah foto. "Waduh, perang dunia nih," gumamnya, melihat Loji duduk membungkuk seperti kesakitan dengan wajah lebam. Terlihat ada beberapa bekas luka di wajahnya.

Dia membaca pesan lanjutan dari Bejo. "Mas Loji di pukulin sampai ga bisa jalan sama orang tua Ranti dan bawahannya, kita di tuduh mau memperkosa Ranti di hotel."

"Lin," panggil Helen panik, berlari menghampiri Linda yang baru keluar kamar.

"Kenapa?" tanya Linda kebingungan menatap sahabatnya seperti ketakutan.

"Liat sendiri aja," jawab Helen sambil menyerahkan hpnya, tidak tahu harus mengatakan apa.

Linda menerima hp tersebut dengan wajah bertanya-tanya, melihat pesan dari Bejo sampai matanya terbelalak. Darahnya mendidih, naik ke ubun-ubun. "Telepon Ali sekarang!" serunya berapi-api.

Susana malam yang tenang serta jalan yang lengang tiba-tiba menjadi menegangkan, suara ban berdecit keras mengiringi deru knalpot mobil sport yang meraung. Linda memacu mobil di kecepatan tinggi, meliuk-liuk mendahului pengendara lain. Wajahnya mengeras membatu, akan menghantam siapapun yang menghalanginya.

"Lin, pelan-pelan," ucap Helen ketakutan, memegangi sabuk pengaman erat-erat.

"Perek murahan!" umpat Linda marah, mengingat Ranti menuduh Loji. "Dia ga mau di tinggalin Loji, sampe nuduh kayak gitu," ucapnya penuh emosi. Tangannya mencengkram stir erat-erat, seperti ingin meremukan wajah Ranti.

Di hotel, di ruang kantor yang cukup besar. Ranti beserta papanya duduk berhadapan dengan Bejo. Loji juga duduk di situ, tapi hanya diam. Sesekali mengerang kesakitan sampai membungkuk.

Beberapa polisi juga di situ mencari keterangan, bersama seorang pengacara yang sibuk mondar-mandir mengumpulkan barang bukti.

"Kamu manusia sampah!" bentak Andreas berapi-api sambil menunjuk Loji yang hanya diam. "Tidak tau balas budi, binatang lebih baik dari kamu!" teriaknya kesetanan.

Bejo naik pitam. "Bapak jangan asal tuduh!" serunya sambil berdiri, membalas menunjuk Andreas. "Saya bisa tuntut Bapak!" ancamnya sambil menatap tajam penuh kemarahan.

"Kamu tau saya siapa!" bentak Andreas ikut berdiri. "Saya bisa penjarakan kalian seumur hidup!" serunya.

Bejo langsung tersenyum meremehkan. "Memangnya cuma Bapak yang punya kuasa," balasnya penuh makna, dia sangat tahu Linda seperti apa. "Jika ada sesuatu terjadi dengan Mas Loji, Bapak akan merasakan akibatnya," lanjutnya sambil melirik Loji yang hanya diam.

"Bajingan kamu!" seru Andreas sambil meraih gelas. Kemarahannya meledak, karena Bejo berani melawannya.

Seorang polisi yang ada di situ langsung menahan tangannya. "Pak, ada hukum yang berlaku," ucapnya, menenangkan. "Bapak bisa di tuntut kalau seperti ini," lanjutnya, secara halus mengingatkan.

"Ayo lempar Pak!" tantang Bejo, tidak ada ketakutan di wajahnya. Dia tidak melakukan kesalahan apapun, dan akan melawan tanpa ragu. "Udah salah main kasar, kita liat siapa yang akan di penjara!" serunya.

"Bapak-bapak," ucap seorang polisi menengahi, bersamaan dengan pengacara yang di sewa Andreas masuk dengan seorang polisi lainnya.

"Pak Andreas, bukti sudah lengkap kita tinggal visum," ucap sang pengacara, dan mengalihkan pandangan ke seorang polisi yang berdiri di sebelahnya. "Pak, langsung di borgol aja, saya telepon Pak kapolsek," lanjutnya sambil memberi kode.

"Jangan, hanya di borgol!" seru Andreas penuh dendam. "Seharusnya kasih saya saja, biar tau diri," lanjutnya lirih, sebuah ancaman terselubung di balik kata-kata yang terucap. Menatap Loji bagai mangsa, siap mencabik-cabik tubuhnya sampai tak tersisa.

Loji berusaha menahan sakit di badannya, melihat Andres yang menatap buas. Ranti juga duduk di situ tapi hanya diam menunduk, sesekali meliriknya. "Kamu mau apa," pikirnya, tidak mengerti bagai mana ini sampai terjadi.

"Bajingan, jangan harap kamu selamat di penjara," ucap Andreas mengancam sambil menunjuk Loji yang menatapnya.

"Saya ga takut mati Om," balas Loji lirih. "Tanya Ranti apa maksudnya berbuat seperti ini," ucapnya, menatap dalam mata Ranti yang meliriknya.

Ranti gemetar, rasa pilu tiba-tiba mendera hatinya. Melihat sorot mata Loji yang sarat kebencian.

"Kamu mau mengancam," ucap Andreas sinis. "Kita lihat nanti," lanjutnya penuh makna. Wajahnya berubah bengis, tangannya seperti ingin merobek-robek wajah Loji yang terlihat memuakan di matanya.

"Bapak berani mengancam, saya akan buat Bapak menyesal," ancam Bejo tegas.

"Heh, ga usah ikut campur lo!" bentak Andreas melotot marah. Mereka saling menatap tajam, melempar ancaman.

Dia mendengus, dan mengalihkan pandangan. "Loji, kamu pasti anak pelacur jalanan tidak tau balas budi," ucapnya menghina.

"Jaga mulut lo!" bentak Loji naik pitam, seumur hidupnya tidak ada seorang pun yang berani menghina orang tuanya. "Gw ga ada hutang budi sama lo," ucapnya dengan suara bergetar, berusaha menahan emosi yang meledak-ledak.

Tubuhnya sampai gemetar menahan sakit, tapi memaksa untuk berdiri tegak sambil menatap tajam Andreas. "Gw ga peduli lo siapa, sampai bumi pecah tidak akan ada kata maaf dari mulut gw!" serunya penuh dendam.

"Pak, tolong segera di proses," ucap sang pengacara seperti menyembunyikan sesuatu, kembali memberi kode ke polisi yang ada di sampingnya.

"Nanti dulu!" seru Bejo, melihat seorang polisi tersebut mendekati Loji.

"Udah kamu diem aja!" bentak sang polisi sambil mengeluarkan borgol.

Lihat selengkapnya