Pagi ini, di rumah sakit. Jeritan Linda menggegerkan semua orang. Helen yang sedang berbicara dengan dokter di depan kamar sampai meloncat kaget, para suster langsung berlarian ke kamar. Mereka masuk dengan siaga penuh, khawatir terjadi sesuatu.
Di kamar mereka melihat Loji menutupi badannya dengan selimut, dan Linda menutupi wajahnya dengan ke dua tangan.
"Kenapa?" tanya Helen bergegas menghampiri Linda, dan melirik Loji yang langsung kabur ke kamar mandi.
"Itu," jawab Linda sambil terus menutup wajah, menggerakan kepalanya ke tempat Loji tadi berdiri.
Helen melirik para suster tersenyum sinis, mereka kesal karna sudah membawa banyak peralatan medis. "Maaf ya," ucapnya, tidak enak dengan kejadian ini.
"Ya, ga apa," balas sang dokter memberi kode ke para suster. "Wajar, kaget bangun tidur liat pemandangan yang tidak biasa," selorohnya, meredakan suasanya yang terasa canggung.
"Maaf ya Dok, maklum," ucap Helen meminta pengertian.
"Ya," balas sang dokter, mengajak para suster agar keluar ruangan.
Suasana perlahan mereda, sunyi sepi seperti layaknya sebuah rumah sakit. Namun, di kamar hawa canggung menggantung di udara. Helen memperhatikan Linda yang selesai bersiap sesekali melirik Loji yang menunduk, wajahnya sedikit merona seperti teringat sesuatu. Dia sengaja hanya diam, menahan tawa dengan sikap mereka berdua.
Loji terus menunduk, malu dengan semua ini. Berpikir apa yang harus di ucapkan, sampai akhirnya memberanikan diri. "Mba Linda, saya minta maaf," ucapnya pelan, melirik Linda yang mengalihkan pandangan melihat ke arah lain. "Saya lupa ada Mba Linda di sini," lanjutnya jujur.
Linda juga berusaha menenangkan suaranya. "Besok-besok jangan ganti baju sembarangan," ucapnya tegas. "Kamu ngapain ganti baju, harusnya masih di rawat," lanjutnya ketus, kemudian mengalihkan pandangan sambil menutup mata, tidak menyangka itu yang keluar dari mulutnya.
"Saya inisiatif sendiri Mba," balas Loji jujur. "Saya tidak mau terlalu merepotkan, karena seharunya saya yang menjaga Mba Linda," ucapnya malu. "Saya minta maaf telah banyak merepotkan," lanjutnya penuh penyesalan, tidak bisa menepati janjinya.
Linda sampai mengigit bibir tidak tega, tapi masih tidak bisa menyampaikannya dengan baik. "Lain kali hati-hati," ucapnya ketus, padahal bermaksud menasehati.
"Baik Mba Linda," balas Loji mengerti. "Lain kali saya akan berhati-hati," ucapnya lirih, menyangka Linda marah kepadanya. Menunduk diam merasa bersalah, tidak berani mengatakan apapun.
Linda meliriknya tidak tega, tapi belum terbiasa mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi. Melirik Helen seperti meminta tolong, menggerakan kepalanya agar menghibur Loji.
Helen senyum-senyum menaikan sebelah alisnya. Seperti mengatakan. "Gini caranya." Dan mengalihkan pandangan ke Loji. "Ga apa kok, Mba Linda cuma pengen kamu lebih hati-hati kedepannya," ucapnya menenangkan suasana. "Kamu tunggu sebentar yah," lanjutnya, memberi kode ke Linda yang mengangguk.
"Baik, Mba Helen," balas Loji lega, mencoba tersenyum ke Helen yang menyemangatinya. Duduk diam, melihat mereka berdua keluar.
Helen menarik Linda ke kafetaria, duduk berdua karena ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Linda terus memperhatikan wajahnya, sambil mengerutkan dahi memperhatikan Helen yang sedang berpikir. "Kenapa sih?" akhirnya bertanya kerena penasaran.
"Si Indra di suruh Nenek ke kantor besok," jawab Helen sambil menatap Linda yang langsung terkejut. "Semalem dia tiba-tiba telepon, gw harus siapin ruangan dan sementara di tempat lo dulu," lanjutnya.
"Ngapain?" tanya Linda kebingungan.
"Ga tau, lo tau sendiri si Nenek nyentrik," balas Helen sambil mengangkat bahunya, juga bingung maksud ini semua. "Loji masih begitu, lebih baik ga usah di ajak dulu," ucapnya, berpikir bagai mana cara menyampaikan kalau Ranti juga akan ikut.
Linda mengangguk-angguk setuju. "Bener," ucapnya, mengingat kondisi Loji saat ini.
"Lo tau siapa pacarnya Indra?" pancing Helen mencoba mengemas informasi yang ada.
"Ga, yang gw denger sih ketemu di waktu dia kuliah di luar negri," jawab Linda tidak peduli dengan semua itu.
"Nih yah, gw dapet bocoran dari temen gw," ucap Helen serius, tapi tidak ingin membuat masalah semakin rumit. "Si Ranti, itu pacarnya Indra," lanjutnya.
"Hah!" Linda sangat terkejut. Bayangan apa yang terjadi di kafe taman terlintas, tapi masih belum percaya dengan apa yang di dengarnya. "Beneran?" bertanya sambil mengerutkan dahi, ingin memperjelas informasi tersebut.
"Beneran," jawab Helen, berhasil membungkus semuanya dengan rapi. "Lo harus siap, kalau si Indra dateng ke situ sama Ranti," ucapnya memperingatkan. "Mending si Loji kita keep aja dulu, minta tolong Djunet ngajarin dia," lanjutnya, mencoba mencari jalan keluar.
Linda terlihat masih terkejut. "Gilak, bisa bikin gw ga nyaman di kantor," ucapnya kesal, sangat tidak suka dengan Ranti.
"Tenang, kita punya kartu dia," balas Helen penuh makna. "Dia berani bertingkah, kita banting kartunya atau kita bakar pake Loji," ucapnya dengan mata berbinar.
"Maksudnya?" tanya Linda kebingungan.
"Ini psywar, seperti yang biasa lo lakuin waktu perang bisnis," jawab Helen, mengajari Linda yang cukup polos untuk masalah ini. "Dia ganggu di hati lo, tapi elo juga bisa jadi pengganggu di hati dia dengan Loji di samping lo," lanjutnya sambil menatap Linda yang mengangguk-angguk.
"Gw ngerti, sama kayak bisnis," ucap Linda mengerti. "Masing-masing punya partner yang bikin lawan pusing," lanjutnya, menganalogikan dalam sebuah perang bisnis.
"Kalau masalah Indra gampang," balas Helen sambil menaikan sebelah alisnya.
Linda mengangguk mengerti. "Dia gampang," gumamnya. "Si goblok pasti bikin masalah, gw tinggal ancem di pendanaan," ucapnya sambil melihat Helen mengangguk setuju.
"Kita harus serang duluan, sebelum mereka bertingkah," balas Helen tidak ingin menunggu.
"Gw ngerti," balas Linda setuju. Dia yang berkuasa di L&R, neneknya tahu hal itu dan tidak akan menentang apapun keputusannya. "Gw harus bikin mereka ga nyaman," pikirnya sambil menyusun rencana.
"Sekarang the most important thing," ucap Helen membuyarkan lamunan Linda. "Lo ga bisa seperti sekarang sama Loji di depan Ranti," lanjutnya.
Linda langsung ceberut, menyadari kekurangannya. "Ya," balasnya singkat.
"Kita meeting, jam 10," ucap Helen mengingatkan, melihat jam sudah menunjukan pukul 9:30. "Sore, abis jam kerja lo harus terima jadi murid gw," lanjutnya sambil menatap yang Linda terus cemberut.
"Tapi gw kan ga bisa menye-menye centil gitu," balas Linda tegas. "Murah amat gw," ucapnya kesal sendiri.
"Siapa yang suruh menye-menye kayak cewek murahan," balas Helem sambil tersenyum lebar. "Lo harus bisa bersikap nice sama Loji, kita bakar si Ranti," ucapnya mengompori. "Si Indra itu kan tipe bego sama cewek, kalau Ranti kebakar dia pasti kusut," lanjutnya karena sudah mengenal Indra sejak lama.
"Eh, iya yah," ucap Linda menyadari hal itu. "Oke," lanjutnya menyetujui hal itu.
Mereka berdiskusi menyusun rencana, melawan strategi nenek dengan menyerang lebih dulu. Loji yang tadinya tidak di perbolehkan pulang oleh Linda akhirnya bisa pulang. Banyak rencana tersusun bagai bidak catur yang bariskan, siap di majukan untuk saling menyerang.
Di tempat lain, Indra terlihat gembira karena sikap Ranti yang berubah. Menjadi bersemangat menceritakan permintaan nenek kepadanya.
"Besok kita berdua L&R, kita awasi Linda," ucap Indra dengan kobaran api di matanya.
"Kenapa cuma mengawasi?" tanya Ranti mengompori. "Kamu lebih pantas di situ dari pada dia," ucapnya sambil tersenyum manis.
Indra semakin menggebu-gebu. "Iya, kenapa cuma mengawasi," balasnya terbakar. "Aku lebih pintar dari dia, aku kuliah master di luar negri dia cuma S1 dalam negri," ucapnya, padahal menggunakan joki dari awal kuliah sampai lulus.
"Aku ga suka kalau kamu di bawah dia," ucap Ranti, memasang wajah tidak terima. "Kamu sudah bekerja keras selama ini," lanjutnya terus mengompori. Dia tahu Indra sangat bodoh, hidup bergantung dari kekayaan keluarganya.
"Kamu benar, aku sudah bekerja keras membantu mereka selama ini," balas Indra terpengaruh, padahal Linda lah yang telah membantu neneknya sejak masih SMA. Dia hanya bersenang-senang, menghamburkan kekayaan keluarganya.
Ranti terus memanasi, sambil memperhatikan wajah Indra. "Dasar bego," pikirnya, tertawa dalam hati. Menatap Indra yang seperti sedang berpikir, termakan omongannya. "Kalau besok mau ke kantor, kita shopping dulu masa kalah gaya sama Linda," ucapnya menggoda, ingin memanfaatkan kebodohan Indra semaksimal mungkin.
"Ayo, kita shopping," balas Indra setuju. "Aku kenalin kamu sama temen aku Rudy, dia mau di jodohkan dengan Linda," ucapnya polos.
Ranti tersenyum simpul. "Boleh," balasnya sambil berdiri. "Di jodohin sama Linda, hmmm, menarik," ucapnya dalam hati, penasaran ingin mengetahui lebih jelas.
Mereka pergi berbelanja pakaian untuk ke L&R, selama perjalan mereka diam, terlarut dalam pemikiran masing-masing. Ranti berperan sangat baik, dirinya yang terlahir kembali sangat berubah. Hatinya beku tidak peduli lagi mana benar atau salah, yang penting tujuannya tercapai.
Duduk bersama dengan Indra dan Rudy, mendengarkan rencana mereka dengan seksama. Mencari-cari celah memanfaatkan semua yang ada untuk kepentingannya, tidak peduli caranya seperti apa.
"Cowok murah," pikir Ranti, memperhatikan gaya serta sikap Rudy. "Bisa gw mainin jadi pion," pikirnya kembali, memperhatikan mata Rudy yang jelalatan. Semakin sadar, Loji adalah tipe pria yang sulit di temukan.
Rudy sangat senang, mengetahui nenek meminta Indra berkantor di L&R. "Bagus dong, jadi ga terlalu susah buat gw masuk," ucapnya penuh arti, ingin memasukan perusahaannya sebagai vendor L&R. "Nenek bisa semakin kenal gw," lanjutnya sangat gembira.
"Gampang, besok gw ke kantor," balas Indra santai, menggampangkan layaknya pemilik perusahaan. "Bawa aja proposal lo," ucapnya sambil menaikan sebelah alisnya. Sebuah kode kalau tidak ada free lunch, semua ada timbal balik.
"Tenang masalah itu," balas Rudy mengerti, dan mengalihkan pandangan ke Ranti. "Randreas merger aja bareng aja kalau kalian nikah," ucapnya bersemangat. "Kita jadi usaha gede kalau bareng," lanjutnya.
"Kita liat nanti," balas Ranti, tidak mudah di bohongi. Melihat Rudy hanya ingin mengambil keuntungan. "Bisa gw korbanin," pikirnya sambil melempar senyum penuh arti.
"Gampanglah, bagi-bagi sahamnya kalau merger," ucap Rudy mencoba meyakinkan, memperhatikan ada sesuatu yang tersirat di tatapan matanya.
"Kalau itu nanti aja," balas Indra cemburu, tidak suka dengan tatapan Rudy. "Kamu mau makan sayang, yuk makan dulu," ucapnya untuk mengalihkan perhatian Ranti.
"Ayuk," balas Ranti manis, segera berdiri menggandeng tangan Indra. Melempar senyum ke Rudy sambil mengangguk. "Umpan yang bagus," pikirnya.
"Kita jalan dulu," ucap Indra, memberi kode ke Rudy dan melangkah pergi.
Rudy duduk santai memperhatikan mereka. "Kalau mereka jadi, gw bisa dapet untung gede," pikirnya senang, mengingat skala perusahaannya lebih kecil di banding Randreas. Dia ingin menaikan nilai perusahaannya tanpa perlu kerja keras.
"Ranti," pikir Rudy mengingat tatapannya. "Gw harus deketin, untuk rencana cadangan," gumamnya sambil menatap kaca di sampingnya. Merapihkan rambut, melihat bayangan wajahnya. "Ga akan ada cewek yang nolak gw," pikirnya percaya diri.
Dia tersenyum sendiri mengingat ucapan mamanya, jumat depan akan ada acara gathering para relasi bisnis. Keluarganya akan bertemu dengan keluarga Linda, mereka akan meminta secara resmi. "Gw bisa hidup enak," pikirnya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.
Hari ini rencana demi rencana tersusun, intrik-intrik terselip diantaranya. Semua hanya bertujuan demi kekuasaan dan kekayaan. Beragam pesan meluncur ke para pion, siap di majukan saat waktunya tiba.
Loji pulang ke kostnya, duduk diam di kamar. "Pindah hari ini," pikirnya, menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Dinding-dinding yang menyaksikan perjalanan hidupnya, lemari kecil serta buku-buku seperti menyimpan banyak cerita tentang perjuangan panjang.
Melihat sebuah pesan balasan. "Oma di tempat Uda, Bang Sueb juga di situ," pikirnya, bergegas keluar kamar. Ingin menemui orang-orang yang berjasa dalam hidupnya, berterimakasih atas bantuan mereka selama ini.
Loji berjalan pelan menyusuri gang kecil yang penuh kenangan, jejak kaki yang mungkin akan hilang terhapus ribuan jejak baru. Masuk ke warung makan yang sangat di kenalnya, karena setiap sudut serta peralatan pernah di sentuhnya.
"Da Fahmi," sapa Loji sambil mendekat.
"Berantem lagi?" tanya Fahmi saat menatap wajahnya.
Loji hanya tersenyum. "Da, terimakasih selama ini sudah membantu saya," ucapnya haru, mendekati Fahmi yang mengerutkan dahi. "Saya dapat kerja di L&R, hari ini di minta pindah ke apartemen depan," lanjutnya dengan suara bergetar, ada gemuruh yang mengguncang dada.
Dia langsung berlutut, karena tidak ada lagi kata yang pantas di ucapkan untuk membalas kebaikan Fahmi selama ini.
Fahmi langsung mengangkat badannya. "Selamat yah," balasnya riang, memeluk Loji yang terisak. Menepuk-nepuk punggungnya dengan kasih sayang, titik yang air terbit di sudut mata perlahan mengalir turun. "Yang kuat, yang tabah menjalani hidup," isaknya menasehati. "Uda cuma bisa doakan semoga kamu sukses," ucapnya haru sambil menatap Loji.
Tidak ada ikatan darah diantara mereka, tapi ikatan bathin yang terjalin kuat. Seorang perantau yang bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang bertahan hidup, dan mendidiknya bagai anak sendiri.
Fahmi menatap penuh kebanggaan, saat ini anak kecil itu bisa berdiri sendiri. "Jangan bikin malu, jaga nama Uda," ucapnya dengan suara bergetar, bagai orang tua menaruh harap.
Ani ikut menangis, menghampiri Loji yang terisak-isak. "Laki-laki harus kuat," isaknya sambil membelai kepala Loji. Terbayang di matanya seorang anak yang berjuang sendiri, menggapai harap dengan tangan kecilnya. Dia ikut memeluk Loji yang menangis dalam pelukan suaminya.
Oma yang duduk santai hanya diam, membiarkan air mata mengalir membasihi kerutan di wajahnya. "Kamu berhasil," gumamnya kagum, tidak percaya anak yang di tolongnya bisa membangun anak tangganya sendiri. Dulu dia hanya berpikir Loji hanya akan menjadi preman pasar, atau salah satu tukang sayurnya.
"Nyampe juga dia," ucap Sueb sambil menghela napas dalam, mengalihkan pandangan merasakan dadanya sesak. Mengingat saat anak-anak remaja bermain, Loji bekerja dengannya untuk menyambung hidup.
"Hilang satu calon tukang sayur," balas Oma sambil meraih kopi hitam di meja. Menghapus air mata, dan menikmati kopi yang tersaji.
"Bener, saya harus nyari tukang angkut semen lagi," balas Sueb, tersenyum lebar sambil tertawa lepas bersama Oma.
Fahmi yang mendengar tidak mau kalah. "Si Alvi ga ada saingannya, harus nyari tukang ngaduk rendang baru," selorohnya sambil menatap Loji.
Suasana haru bercampur bahagia, suara tawa seperti mengangkat atap. Mengisi setiap sudut rumah makan dengan kegembiraan.
Loji ikut tertawa sambil terisak-isak, masa lalu terasa tidak nyata baginya. Dia melangkah mendekati Sueb yang langsung menarik tangannya, dan memeluknya dengan erat.
"Yang sabar," ucap Sueb menasehati. "Banyak orang baik, orang aneh, dan orang-orangan," lanjutnya sambil tertawa lepas.