Malam datang bersama tawa anak kecil yang berlarian, suara yang bisa mengguncang hati walau setegar karang. Drama baru saja di mulai, saat bujuk rayu berhias senyum manis mengawang di udara. Terselip niat yang menguntungkan diri sendiri, seperti Ranti yang duduk diam mendengarkan ocehan Indra yang sangat membosankan.
"Kita akan menguasai L&R," cerita Indra penuh semangat, menceritakan bagai mana nenek akan memberikan mereka tambahan saham, mengurangi saham Linda yang posisinya menjadi semakin lemah. "Kamu benar, aku beruntung mengikuti nasihat kamu," ucapnya dengan mata berbinar.
"Kamu bilang Linda sudah memiliki pasangan?" tanya Ranti penasaran, tiba-tiba ada rasa sakit yang menghujam dada. "Jangan ambil Lojiku," pikirnya geram, tidak bisa menerima bila hal itu terjadi.
"Dia cuma menggertak," jawab Indra santai, tidak terpikir olehnya Linda bisa memiliki pasangan. "Orang kayak gitu ga akan ada yang mau," ucapnya tenang.
"Kamu yakin?" tanya Ranti kembali.
"1000% yakin," jawab Indra meyakinkan.
"Apa yang kamu lakukan kalau ternyata benar?" tanya Ranti mengejar, entah bagai mana feelingnya mengatakan kalau Linda bersama Loji.
"Rudy akan mengurus calon Linda," jawab Indra penuh makna. "Tidak ada yang boleh menghalangi kita mengambil L&R," ucapnya lirih sambil menatap jauh ke depan. "Aku sudah berdiskusi dengan Rudy, Linda harus bersamanya tidak bersama orang lain," lanjutnya penuh makna, terjerumus dalam pengaruh yang menyesatkan.
Ranti menatapnya dalam. "Dua manusia goblok bersatu," pikirnya berhati-hati. "Kepentingan gw harus terlaksana lebih dulu," pikirnya kembali, memprioritaskan bisnis di atas segalanya. Dia tersenyum manis menebar jebakan. "Kamu memang luar biasa," ucapnya merayu.
"Aku memang terlahir istimewa," balas Indra riang, tersanjung setinggi langit.
Ranti tertawa dalam hati, memperhatikan pacarnya yang bodoh. "Kamu sudah mengurus merger dengan Rudy? Aku kagum, kamu sangat pintar berbisnis," ucapnya, terus menerbangkan Indra ke langit.
"Kamis semua perjanjian beres," jawab Indra gembira. "Kamu tau? Kita mendapatkan ratusan milyar dana dari masyarakat dan terus bertambah," ucapnya riang. "Uang pemesanan pembelian sudah aku pisahkan. Kita harus bersiap untuk project L&R di Kalimantan," lanjutnya sambil menggenggam tangan Ranti.
"Aku tau kamu memang bisa diandalkan," balas Ranti manis. "Aku di suruh Mama pulang, padahal masih kangen sama kamu," ucapnya beralasan, padahal sudah jenuh menemani Indra yang tidak menarik di matanya.
"Yuk, aku antar," balas Indra, ingin mencari muka ke calon mertua.
"Yuk," ucap Ranti, menggandeng tangan Indra dan bersandar di pundaknya. "Enaknya punya cowok goblok," pikirnya sambil tersenyum ke Indra yang terlihat sangat gembira. Menikmati setiap perhatian yang di berikan, walaupun hatinya berkata lain. "Linda, lo sentuh Loji atau gw hancurin kalian berdua," pikirnya.
Di sebuah restoran, di lantai bawah apartemen. Linda duduk sambil memperhatikan anak-anak yang berlari-lari gembira, suara tawa yang membawa pemikiran baru. Dia tersenyum sendiri melihat suami istri sedang menggoda anaknya sambil tertawa lepas, teringat masa kecilnya yang indah.
Menghela napas pelan teringat seseorang. "Mba Ayang," ucapnya dalam hati, terbayang wajah almarhum kakaknya. Salah satu alasan yang membuatnya memilih untuk sendiri, tidak ingin memiliki pasangan hidup. Namun, semenjak kehadiran Loji semuanya hancur.
"Lin," sapa Helen sambil duduk, membuyarkan lamunannya.
"Hai," balas Linda kaget.
Helen senyum-senyum sendiri, Linda sedang memperhatikan keluarga kecil sampai termenung. "Waktunya belajar," ucapnya, tersenyum lebar karena Linda langsung cemberut.
"Ya," balas Linda sambil berdiri. "Di kamar aja," ucapnya merajuk.
"Oke," balas Helen tidak peduli.
Di dalam kamar, di ruang tamu. Linda duduk diam, mendekapkan ke dua tangan di dada. Ini semua terasa berat baginya dari pada mengelola bisnis. Terus cemberut, menunggu Helen yang tak kunjung keluar kamar. "Lama banget sih!" serunya kesal sendiri.
"Halo," ucap Helen saat keluar kamar. Mengenakan kumis palsu, dan menggelung rambutnya. Memakai topi, berusaha tampil layaknya seorang pria.
Linda menatapnya terheran-heran. "Lo ngapain sih? Gw ga konsen jadinya," ucapnya sambil tertawa lepas, tidak tahan melihat gaya Helen yang menyamar.
"Udah lo ikutin aja," balas Helen sambil duduk. Tersenyum lebar menatap Linda yang tertawa geli. "Gw harus coba metode Djunet," pikirnya karena kemarin gagal. "Lin, anggep gw partner bisnis lo," ucapnya sambil menatap Linda yang menarik napas berkali-kali.
"Haduh, oke," balas Linda santai, bisnis adalah bidangnya.
"Ini adalah bisnis, tapi juga drama," ucap Helen mengatakan maksudnya.
Linda mengerutkan dahi. "Drama gimana? Bisnis ya bisnis, drama dalam bisnis cuma buat looser," ucapnya bersikeras.
Helen tersenyum datar, Linda kembali seperti biasa. "Lo ikutin gw aja, sekarang gw bosnya," ucapnya mengingatkan.
"Hmm, ya," balas Linda sambil menghela napas pelan, sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia terima.
"Siap yah," ucap Helen sambil menatap Linda yang mengangguk.
"Kamu mau minum apa?" tanya Helen sambil bergaya layaknya seorang pria sedang merayu.
Linda langsung menutup mulut, tertawa lepas karena tidak tahan melihat wajahnya. Suasana ceria membuat Helen lebih mudah mengajarkannya, canda dan tawa menggantung di langit-langit kamar memeriahkan malam yang dingin.
Di rooftop apartemen, Loji termenung menatap bulan purnama yang bersinar terang. Berdiam diri mencoba mengerti apa yang sedang ia hadapi, sebuah realitas yang di ceritakan oleh Djunet ada di depan mata. Satu hal yang mengganggu hatinya, seperti ganjalan penopang pintu agar tidak tertutup rapat.
Dia terbayang saat Djunet mengajaknya ke kafe di sebelah boutique, sebuah janji telah terucap dan sebuah kewajiban harus di laksanakan. Takdirnya terbolak-balik bagai telapak tangan.
Sehari setelah nenek mengultimatum Linda, Helen menceritakan kondisi yang terjadi kepada Djunet. Rencana yang telah di persiapkan harus di percepat, hampir tidak ada waktu lagi untuk menunggu. Serangan nenek sama sekali tidak mereka prediksi, ini sebuah kejutan serta ancaman.
Pagi itu saat Loji datang dengan ceria, Djunet yang sudah menunggu langsung mengajaknya duduk di kafe sebelah boutique. Duduk berdua, untuk membicarakan sesuatu.
"Ji, ada hal yang ingin gw tanya sama lo," ucap Djunet serius, menatap dalam Loji yang kebingungan.
"Kenapa Mas Djunet?" tanya Loji, khawatir telah melakukan kesalahan.
"Jujur sama gw, lo ada rasa sama Linda?" tanya Djunet sambil menatap wajahnya lekat-lekat, seperti sedang mencari kebenaran yang tersembunyi.
Loji diam berpikir, sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuknya. "Saat ini saya ingin menjaga Mba Linda setulus hati, ini adalah ucapan terimakasih saya untuknya," jawabnya jujur, walaupun tersirat sedikit rasa takut. "Jangan sampai Mas Djunet salah sangka," pikirnya, menyadari ada yang tumbuh di lubuk hatinya.
Dia tidak ingin perasaan tulus di hatinya di salah artikan, tidak memungkiri wajah Linda saat tertidur masih lekat di ingatan. Sebuah tempat yang membuatnya ingin bersandar. Namun, hal itu terasa mustahil mengingat sikap Linda selama ini.
"Kenapa, gw liat ada ketakutan di mata lo?" tanya Djunet bisa menangkap hal itu di sorot matanya.
"Saya tidak ingin apa yang saya rasakan jadi salah arti kalau sampai Mba Linda tau," jawab Loji jujur, tidak mau dianggap oportunis yang selalu mengambil kesempatan.
Djunet mengangguk mengerti, melihat kejujuran serta ketulusan yang tersirat. "Lin, lo beruntung banget," pikirnya, karena Loji akan melakukan apa yang telah di ucapkannya sepenuh hati.
Dia berpikir sebentar, mencoba meramu ucapannya agar tidak berkesan memanfaatkan. "Gw nanya ini karena ada hal yang harus lo tau, Linda saat ini butuh bantuan dan cuma lo yang bisa bantu dia," pancingnya sambil memasang wajah khawatir.
"Apa yang bisa saya bantu Mas Djunet, saya akan berusaha sepenuh hati membantu Mba Linda," sambut Loji, ingin membalas kebaikan yang telah ia terima. "Mba Linda kenapa," pikirnya khawatir.
Djunet tersenyum penuh makna. "Kena, polos banget dia," pikirnya, menangkap apa yang di rasakan Loji. "Saat ini posisi Linda sedang sulit, dia terpojok," ucapnya prihatin, mengolah situasi yang terbangun dengan baik.
Perlahan dia menceritakan masa lalu, membangun situasi kenapa harus menolong Linda. "Gw kenal Linda dari SMA kelas 1," ucapnya, bercerita bagai mana sahabatnya telah bekerja keras. "Dia putri konglomerat yang ga pernah turun tahta, tapi harus turun karena perintah Neneknya sang Ratu," lanjutnya.
Loji terdiam mendengarkan Djunet bercerita, Linda pernah membagikan brosur di pinggir jalan. Hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Mendengarkan seluruh cerita yang sangat menyentuh hatinya, karena saat ini keluarga Linda jadi taruhannya.
"Kasihan orang tua Mba Linda," pikir Loji tidak tega, rasa kesal terlihat di wajahnya saat mendengar nama Indra. "Orang brengsek dengan nama yang sama," pikirnya, terbayang kembali saat itu.
Djunet menangkap semua yang terpancar dari sorot mata Loji. "Orang tua," pikirnya, ada perubahan jelas setiap kata ini muncul. "Titik kelemahannya," pikirnya kembali.
Memanfaatkan situasi tersebut untuk menjadikannya sebuah alasan. Menolong Linda adalah sebuah keharusan, walaupun ada banyak konsekuensi yang akan terjadi.
Dia mengolah kata-katanya dengan baik, dan perlahan mulai masuk ke masa lalu Linda yang membuat sikapnya seperti itu. "Linda bukan anak tunggal, tapi anak ke dua," ucapnya, mulai bercerita tentang Mba Ayang. "Dia melihat bagai mana kakaknya di sakiti, itu meninggalkan bekas di hatinya," lanjutnya.
Loji mengangguk mengerti. "Itu yang bikin dia agak sinis," pikirnya memahami kenapa kadang Linda bersikap aneh.
"Saat ini Nenek, sang ratu meminta satu hal. Itu bisa membuat orang tua Linda jatuh dan hidup dari jatah seadanya," ucap Djunet, mengarahkan ceritanya ke satu titik. Memperhatikan setiap perubahan di raut wajah Loji. "Linda yang masih trauma di paksa harus menikah, dan saat ini dia akan di jodohkan dengan laki-laki bejad seperti suami Mba Ayang," lanjutnya merasa kasihan.
Loji terlihat sangat khawatir. "Kasihan Mba Linda," pikirnya, sangat ingin membantu Linda keluar dari masalah ini.
"Dia saat ini terpojok, tapi di sisi lain juga harus menolong orang tuanya," ucap Djunet, terus menekan titik lemah Loji. Membiarkan rasa kasihan di hati Loji menguat. "Jangan sampai dia tersinggung," pikirnya, karena Loji bukan pria yang bisa di beli. Memberi waktu kepadanya untuk berpikir, mempertimbangkan untuk ikut berperan dalam drama yang akan di gelar bersama Linda.
"Apa yang bisa aku bantu Mas?"tanya Loji, ada rasa bersalah di matanya jika membiarkan Linda menghadapi semua ini sendiri tanpa bantuannya.
"Lo mau bantu Linda?" tanya Djunet serius, melihat Loji mengangguk. "Dia tulus mau bantu," pikirnya, menangkap sebuah ketulusan yang tak terucap.
"Iya, Mas," jawab Loji serius. "Kasihan Mba Linda," pikirnya.
"Tapi lo ga bisa mundur, kalau udah bantu dia," pancing Djunet, ingin meyakinkan ini bukan hal yang mudah.
"Saya sudah berjanji dengan diri saya sendiri, akan menjaga Mba Linda sepenuh hati," ucap Loji tegas, menggambarkan dirinya bukan seorang pecundang. Akan melaksanakan janjinya apapun yang terjadi.
"Oke," balas Djunet sambil tersenyum senang, berhasil mendapatkan sebuah pelakon yang hebat. "Jangan mundur selangkah pun," ucapnya mengingatkan.
"Saya ga pernah mundur dari janji saya," balas Loji serius, karena menepati janji adalah bagian dari dirinya yang tidak punya apa-apa.
Deru suara kendaraan yang lalu-lalang menyadarkan Loji dari lamunan. Melihat bulan yang bersinar dengan indah, serta bintang yang bertabur menggantung menghiasi langit malam.
"Gw ga akan mundur," pikirnya meyakinkan dirinya sendiri, dan melangkah turun menuju kamar.
Lift yang berjalan pelan seperti mengurungnya dalam kerangkeng, terasa sempit sampai dia tidak bisa bernapas. Saat pintu terbuka Loji langsung melangkah keluar apartemen, ingin mengalihkan pikirannya. Mencari tempat di mana ia bisa bercerita dan menjadi dirinya yang dulu.
Menyusuri malam gelap, menuju sebuah pasar yang terlihat ramai. Ingin menumpahkan apa yang ada di hatinya, mencari tempat di mana kegembiraan dulu ada. Senyum terlukis saat melihat mobil bak yang di kenalnya. "Si Oma,' pikirnya sangat gembira.
Loji segera melangkah ke tukang kopi, melihat oma duduk santai menikmati kopi hitam. "Oma," sapanya riang.
"Hei, kamu ngapain ke sini lagi?" tanya oma sambil menatap wajahnya. "Ga terima curhat, hanya terima duit," ucapnya sambil melotot kesal, sudah tahu hanya dengan melihat mata Loji.
"Ahahahahaha," Loji tertawa lepas, sedikit meringankan beban yang di tanggungnya. Duduk sambil tersenyum lebar, melihat oma yang tidak peduli. "Ayo, kita belanja kali ini ga usah kasih tips," ajaknya riang.
"Kirain mau beliin," balas oma sambil menaruh kopi di meja. Dia segera berdiri memegang lengan loji yang sudah menunggu.
Selama membeli sayuran, Loji sesekali curhat ke oma yang terlihat tidak peduli. Menceritakan semua kegundahan hatinya, keraguannya untuk menjalani peran yang telah di siapkan.
"Rasanya hidup aku kayak di bolak-balik," ucap Loji mencurahkan semua isi hatinya.
"Ayok ke tukang pancong," balas oma tidak mendengarkan curhatnya. Mereka berdiri di depan tukang pancong yang sedang sibuk.
"Mas, pesen 5 tapi jangan di balik," ucap oma.
"Nanti ga mateng atasnya Oma," balas Loji mengingatkan.
"Kamu kan tadi bilang hidup kayak di bolak-balik," ucap oma santai. "Pancong aja kalau di balik ga enak," lanjutnya penuh pesan.
Loji tersadar, contoh simple yang sesuai dengan keadaannya saat ini. Dia mengangguk-angguk mengerti. "Bener juga yah, biar aku lebih matang dan siap," ucapnya mengingatkan dirinya sendiri.