Manipulasi

anakucilibo
Chapter #7

7. Lamaran.

Hari Jumat datang bersama senyum ceria di wajah sebagian orang, banyak angan terbangun seperti mimpi yang menjadi nyata. Hati berdebar bersama beragam keinginan yang terpendam, menggelitik khayal ingin segera terlaksana.

Di apartemen, Linda heboh sejak pagi melihat jejeran baju yang di bawa pembantunya Tapi tidak ada satupun yang menarik hatinya. Dia mulai menggerutu, menyalahkan ini itu.

Helen yang sibuk bekerja tidak tahan. "Pake itu aja, bagus kok Bu Linda," ucapnya, saat Linda sedang melihat sebuah set pakaian miliknya.

"Nanti ga cocok sama jasnya Loji," balas Linda, mengingat perkataan Djunet apa yang akan di kenakan Loji nanti malam.

"Bagus kok, baru sekali di pake juga," ucap Helen, sudah tahu Linda ingin keluar berbelanja. "Saya sibuk kerjaan seabrek, si Loji dah kelar semua kemarin, tapi saya belum gara-gara Bu Linda," lanjutnya kesal, mencibir Linda yang cemberut.

"Panggil Hesti aja ke sini," balas Linda sambil duduk mendekap ke dua tangan di dada, merajuk kesal menatap Helen yang tersenyum datar.

"Oke," ucap Helen, segera menghubungi salah satu designer langganan Linda. Dia kembali sibuk menyelesaikan pekerjaannya, melirik Linda yang sibuk melihat-lihat hp tapi tak lama kembali cemberut kesal.

"Kenapa sih, dia ga ngasih kabar," gerutu Linda, karena Loji tidak pernah memberi kabar kepadanya.

"Ya, ga tau juga ya," balas Helen pura-pura acuh. Melirik Linda yang meliriknya curiga. "Dia ga ngasih kabar juga ke saya Bu," ucapnya sambil menatap Linda yang hanya diam menyipitkan mata, seperti mencari sesuatu di wajahnya.

"Mau saya telepoinin," ucap Helen sambil meraih hpnya.

"Ga usah," balas Linda, mengalihkan pandangan. Duduk bersandar sambil memainkan rambutnya. "Dia yang ngejar gw kok," ucapnya percaya diri.

"Oke," balas Helen, menaruh hp dan kembali sibuk bekerja. Sesekali melirik Linda yang menatapnya, seperti menunggunya untuk menghubungi Loji. "Tunggu aja, nanti malem pas ketemu kan bisa di lampiaskan rasa rindunya," ucapnya meledek.

"Heh, siapa yang rindu," balas Linda ketus. "Udah buruan kelarin, jam 3 kita ke salon," ucapnya sambil berdiri melangkah ke arah kamar.

"Kepedean," gumam Helen, geli sendiri melihat sikap sahabatnya.

Linda masuk ke kamar duduk di meja rias. "Dia kali yang rindu sama gw," gumamnya sambil menyisir rambut. Melihat wajahnya di kaca dan bersenandung pelan, tapi perlahan-lahan bayangan saat Loji membetulkan tali sepatunya tergambar jelas di kaca.

"Hhhmm," dia menghela napas panjang, menaruh sisir mengingat semua moment yang tersimpan rapi di benaknya. Tersenyum sendiri saat melihat tangannya, terbayang tatapan Loji saat menghampirinya. "Kamu datang untukku," ucapnya mengartikan tatapan itu.

"Nanti malem gw harus bisa bersikap," pikirnya, mengingat semua skenario yang di siapkan Djunet. Dia tertawa kecil, mengingat dirinya tidak siap saat pertama Loji memainkan perannya.

Perlahan dia berdiri, dan merebahkan dirinya di kasur. Menerawang jauh menatap langit-langit kamar terbayang kembali saat jatuh di pelukan Loji, kehangatan serta kenyamanan yang ia dapatkan saat mereka bergenggaman tangan. Banyak hal-hal indah untuk di kenang saat ini.

Kesendirian membuatnya harus mengakui perasaannya, di balik sikap serta tutur kata yang terdengar sinis. Rasa yang tumbuh telah mengakar kuat di dalam hati, mengikat erat tidak ingin terpisahkan. Linda menyapukan pandangan, merasakan keindahan mengisi setiap sudut kamar, bagai berada di sebuah taman bunga yang sedang bermekaran.

Beragam mimpi dan hayalan menggantung di udara, mengawang-ngawang menunggu semua menjadi nyata. Hal sama juga terasa di sebuah restoran, Rudy, Indra, dan Ranti duduk bersama. Mereka berdiskusi tentang apa yang telah di laksanakan.

"Loji udah di eksekusi," ucap Rudy riang, mengingat sebuah foto yang dia terima tadi malam. Melempar kode ke Indra, seperti mereka tidak bersama malam tadi.

Kenyataan yang menusuk hati Ranti, sampai harus menarik napas dalam. Mencoba tenang mengingat itu adalah yang terbaik, dari pada Loji bersama Linda. "Gw akan bales apa yang lo lakuin ke Loji," sebuah suara tiba-tiba terdengar di kepalanya, sisi lain dirinya masih tidak menerima hal itu.

Indra mengangguk-angguk. "Jadi sekarang ga ada lagi penghalang," ucapnya senang, mimpi yang di tanamkan di kepalanya hampir menjadi kenyataan. Melirik Ranti yang tersenyum bangga, membuat dirinya seperti terbang tinggi ke angkasa.

"Ya, ga ada lagi penghalang," balas Rudy datar, masih ada ganjalan di hatinya. "Kalau Linda nolak gw, paling enggak kita bisa ambil alih L&R abis kalian nikah," ucapnya rasional, karena kemungkinan di terima oleh Linda sangat kecil.

"Gw pas sarapan bilang sama bokap," ucap Indra menenangkan. "Dia akan bantu push om Hendro, kalau enggak kita singkirin mereka dan hidup dari jatah," lanjutnya sambil tersenyum penuh makna.

"Bokap lo mau bantu?" tanya Rudy bersemangat, ada secercah harapan timbul di hatinya.

"Iya lah, gw kan anaknya masa ga dukung gw," jawab Indra, mengingat papanya selalu mendorongnya untuk melanjutkan bisnis. "Dia mau ketemu om Hendro nanti sore," ucapnya sambil tersenyum penuh kemenangan.

Ranti hanya diam, ada pertengkaran hebat di kepalanya. Suara-suara keras saling bersahutan, antara menyalahkan dan membela.

"Lo pembunuh!" jerit satu sisi jiwa Ranti, menggema memenuhi isi kepala.

"Dia lebih baik mati dari pada sama Linda!" jerit sisi lain jiwanya. "Dia cowok brengsek! Selingkuh sama Linda!" serunya membela diri.

"Lo yang selingkuh duluan!" balas satu sisi jiwa yang lain. "Lo ga hanya nyakitin hatinya! Lo nyakitin badannya juga! Pembunuh!"

Ranti tidak tahan lagi. "Jalan yuk, aku bosen," ucapnya sambil berdiri, tidak mau mendengar pertengkaran di kepalanya. "Aku ke toilet dulu," lanjutnya sambil melangkah pergi.

Indra hanya mengangguk, kembali berdiskusi serius dengan Rudy. "Nanti malem Nenek datang, tapi kayaknya cuma sebentar," ucapnya, mendapatkan informasi dari papanya. "Investor gede juga pasti dateng," lanjutnya sambil tersenyum senang.

"Oke, gw akan bilang nyokap," balas Rudy mengerti, itu adalah moment yang tepat baginya untuk melamar Linda.

"Kita pojokin dia di depan Nenek," ucap Indra sambil tertawa lepas.

Di toilet, di dalam kubikal. Ranti duduk diam, air mata terus mengalir di pipinya. Segala rasa bercampur aduk, bersama rasa sakit seperti menusuk-nusuk dada. Dia terus menangis dalam diam sambil menatap kosong ke depan.

Pertikaian terus memenuhi kepalanya, sampai semua terasa gamang. Dia bagai berdiri diantara mimpi dan realitas. "Tapi semua sudah terjadi," gumamnya lirih, perlahan berdiri menghapus air mata.

Keluar dari kubikal, menatap lurus kaca besar yang terpajang di dinding. Membetulkan make up yang terhapus air mata. "Maafin aku," gumamnya sambil menutup mata, sebuah pisau kembali menghujam dada. Dia menghela napas pelan, perlahan membuka matanya.

Sorot dingin terlihat jelas. "Aku akan balaskan rasa sakitmu," ucapnya lirih. "Kematianmu tidak akan sia-sia," gumamnya sambil melangkah keluar toilet.

Dia berjalan menuju tempat Indra dan Rudy, menatap mereka berdua yang masih tertawa-tawa. Tangannya memegang tas erat-erat bagai sebuah pisau yang siap di tusukan. "Tertawalah sekarang, nanti kalian akan menangis meminta ampun karna menyakiti Lojiku," pikirnya di balik senyum manis yang terlukis.

Waktu terus berjalan seiring rencana Rudy dan Indra, menjelang sore saat Linda dan Helen sibuk mempersiapkan diri di salon. Di rumah nenek, Ragil bersama istrinya menatap penuh kemenangan ke Hendro. Sebagai kakak dia selalu di kalahkan oleh adiknya, tapi kali ini semua berbalik.

"Apa tidak ada yang lebih baik lagi, selain pria pinggir jalan?" tanya Ragil mengejek. "Selera Linda ternyata sangat rendah," ucapnya, melirik nenek yang hanya diam memperhatikan.

"Linda sudah dewasa," balas Hendro, baru mendengar kalau putrinya memiliki seorang kekasih. "Siapapun itu saya akan mendukungnya," lanjutnya sambil melirik istrinya. Meyakinkan putrinya juga memiliki hak untuk menentukan calon pasangan.

"Ajeng, kamu tidak malu?" tanya Dita, istri Ragil. Menatap seperti mencemooh. "Nanti kalau rekan bisnis kita berkumpul, dan tau siapa calon Linda bisa rame, gengsi lah," ucapnya sinis sambil menggelengkan kepala, merasa tidak selevel dengan pilihan Linda.

Ajeng hanya diam, berusaha sekuat tenaga menahan diri. Namun kekecewaan terlihat jelas di wajahnya, melirik suaminya yang berusaha tenang. Dia mengerti harus sejalan, tidak bisa mengikuti egonya.

"Kasih tau Linda, Rudy itu pintar berbisnis," ucap Ragil memojokan. Dia menatap nenek seperti meminta dukungan. "Mana bisa matahari di satukan dengan bumi, Mama pasti ikut malu," lanjutnya memanasi.

Nenek mengangguk-angguk. "Memang tidak bisa di satukan," balasnya sambil mengambil teh, menatap Hendro yang hanya diam.

Perasaan Hendro campur aduk, tidak ingin mencampuri keputusan putrinya. Dia percaya putrinya bisa menentukan pilihannya sendiri. "Terima kasih Mas Ragil dan Mba Dita sudah mengingatkan," ucapnya sambil menghela napas pelan. "Tapi Linda sudah dewasa," lanjutnya, tetap dalam keputusannya.

Dia menatap Ragil dan Dita, sorot matanya terlihat berubah. "Kalian boleh pertanyakan kami, tapi jangan menghina Linda," ucapnya tegas. Wajahnya mengeras, dan tatapannya berubah dingin.

Sebuah senyum terlukis di wajah nenek, bangga melihat putranya bungsunya melawan. Dia melirik Ragil dan Dita, menangkap ada ketakutan di sorot mata mereka.

"Ajeng, kamu siap pindah rumah dan hidup dari jatah?" tanya Dita, melembutkan suaranya. "Saya yakin kamu tidak kuat, cinta hanya sementara tapi kebutuhan hidup itu sampai kita mati," ucapnya mengingatkan.

Ajeng hanya diam melirik suaminya, berusaha untuk sekata. "Hhmm," dia menghela napas dalam. "Terima kasih Mba Dita, saya akan coba mengingatkan Linda," balasnya lembut.

"Ma, Indra dan Rudy sangat luar biasa," ucap Ragil bangga, sengaja mengalihkan pembicaraan. "Mereka merger, berhasil mengumpulkan dana investasi 900 Milyar lebih dan terus bertambah," lanjutnya bersemangat.

Nenek kembali mengangguk-angguk. "Ternyata cukup berguna," balasnya dingin. "Apa lagi yang kamu berikan? Perusahaan makanan hampir bangkrut, rugi 1 trilyun. Linda setengah mati menutupi masalah kalian," ucapnya ketus, menatap tajam Ragil yang langsung menunduk.

"Ma maaf, Ma," balas Ragil ketakutan, melirik istrinya meminta bantuan. Saling melirik melempar kode, ketegangan terlihat jelas di wajah mereka.

Dita sesekali melirik nenek. "Ma, nanti kita minta Indra dan Rudy mengurus perusahaan makanan," ucapnya kembali melirik suaminya yang mengangguk.

"Oh, begitu," balas nenek, padahal mengetahui kalau salah satu penyebab kebangkrutan karena kesalahan Indra.

Dia menyandarkan punggungnya. "Hendro, ada yang mau kamu sampaikan? Ragil tadi bilang Rudy dan Indra berhasil mengumpulkan uang sebesar 900M lebih," pancingnya.

"Tidak lagi ada support," balas Hendro dingin, membalas hinaan terhadap putrinya.

Ragil panik, tanpa dukungan dari perusahaan yang di pegang adiknya semua akan kacau. "Ma, kita masih butuh support," ucapnya memelas. "Kamu jangan gitu dong," lanjutnya menatap adiknya dengan wajah kesal.

"Kenapa?" tanya hendro datar, habis kesabaran. "Kamu bilang Rudy pintar berbisnis, silahkan minta bantuan ke perusahaan merger Indra dan Rudy," ucapnya tegas.

"Tadi kamu bilang berhasil mengumpulkan dana masyarakat 900 Milyar lebih," sambut nenek ketus, mempertanyakan ucapan Ragil. "Pakai dana itu untuk support, kembalikan modal L&R," perintahnya tegas.

"Ya, Ma," balas Ragil sambil menunduk, sesekali melirik nenek yang terlihat kesal.

"Hendro, kamu siap hidup dari jatah? Tapi Ajeng sepertinya tidak siap," ucap nenek sambil menatap dalam mereka berdua.

"Mama, sudah memberi saya kepercayaan," jawab Hendro tenang. "Hidup di mana saja tidak masalah untuk saya, asalkan Linda bisa bahagia," lanjutnya tanpa keraguan.

"Ajeng, kamu siap?" tanya nenek.

"Insya Allah saya siap, Ma," balas Ajeng pasrah.

"Oke," balas nenek sambil berdiri. Dia melangkah santai meninggalkan mereka tanpa berbicara apapun.

Ragil menarik napas lega, mengalihkan pandangan ke Hendro serta istrinya. "Lebih baik kalian siap-siap," ancamnya sambil berdiri. Dia melirik istrinya yang ikut berdiri. "Selamat menikmati dana jatah," ucapnya penuh kemenangan. Sebuah pembalasan atas putusnya support untuk perusahaannya, tapi sorot matanya seperti menyimpan sesuatu saat menatap adiknya.

Hendro hanya diam menatap mereka pergi. "Hhmm," menghembuskan napas panjang bersama emosinya.

"Kita harus ingatkan Linda," ucap Ajeng, masih tidak bisa menerima jika harus hidup dari dana jatah.

"Kenapa?" tanya Hendro sambil menatap istrinya.

"Aku malu sama relasiku," balas Ajeng cemberut kesal. "Kenapa dia ga sama Rudy aja," lanjutnya.

"Linda tau yang terbaik untuk masa depannya," balas Hendro, mencoba mengerti keputusan putrinya. "Hati mana bisa di bohongi," ucapnya sambil menerawang jauh ke depan.

"Tapi gimana nanti sama Mamanya Rudy," balas Ajeng bersikeras. "Aku malu kalau mereka tau calonnya Linda siapa," ucapnya kesal.

Hendro hanya diam, tidak ingin membuat suasana semakin tidak enak. Membiarkan semua terjadi tanpa ada paksaan, tidak ingin mengulangi kesalahan seperti pada Ayang, putri pertamanya.

Sore terus bergerak, matahari mulai tenggelam, menghilang di ganti lampu-lampu yang benderang. Di loby sebuah hotel mewah, jejeran kendaraan mewah mulai berdatangan. Wajah-wajah penuh senyum dan kegembiraan mulai terlihat, saat pintu-pintu mobil di buka. Namun, kepanikan terlihat di dalam mobil yang di tumpangi Linda. Loji menghilang seperti di telan bumi.

"Lo kenapa ga bilang dia ga dateng dari tadi pagi!" seru Helen panik, menelepon Djunet sambil menatap Linda yang ikut panik.

"Gw pikir dia sama lo," balas Djunet kebingungan. "Kemarin semua baju dah gw suruh dia bawa, biar ga bolak-balik ke sini," lanjutnya.

Linda langsung mencoba menghubungi Loji, tapi teleponnya tidak aktif. "Kemana sih dia!" serunya kesal. "Bejo, cari Loji sekarang!" perintahnya.

"Siaaap!" balas Bejo sambil berpikir keras. Terlintas di kepalanya saat peristiwa Ranti, dan menyambungkannya dengan Loji yang mulai menjalankan perannya. "Bu, semoga Mas Loji ga apa-apa, kok saya jadi keingetan waktu kejadian di hotel," ucapnya tiba-tiba.

Linda langsung terdiam, begitu juga dengan Helen. Mereka saling menatap, ada percikan ketakutan yang terlihat. Tanpa sadar mereka menyeret Loji ke dalam sebuah permainan yang sangat berbahaya.

"Net, lo ke sini! Kita buat back up plan," ucap Helen mencari jalan keluar. "Indri biar gw yang kasih tau," lanjutnya.

"Oke," balas Djunet dan menutup telepon.

Di dalam mobil, suasana terasa tidak nyaman. Banyak pertanyaan mengawang-ngawang tanpa jawaban, mereka semua terdiam mencari alasan di balik hilangnya Loji. Beragam bayangan melintas di pikiran mereka, memperbesar ketakutan yang membutakan pikiran.

"Dua manusia bodoh bertemu dengan iblis betina," ucap Linda tiba-tiba, mencoba merangkum kemungkinan terburuk. "Indra mulai berubah sejak sama Ranti," lanjutnya sangat menyadari hal itu.

Lihat selengkapnya