Malam ini di dalam hall terasa mencekam, semua orang menunggu kabar yang akan menggembirakan sebagian orang. Beragam kepentingan mengawang, menunggu keputusan penting yang akan terucap.
"Aku....," ucap Linda, kata bagai tercekat di tenggorokan. Jemarinya seperti sedang menarik pelatuk, memainkan Russian Roulette dengan taruhan nyawa Loji.
Rudy tersenyum simpul, hawa kemenangan berhembus kepadanya. "Ga mungkin lo berani nolak," pikirnya sambil melirik Indra yang mengangguk, mereka tahu Linda sudah menyerah. Memberi waktu kepada kesunyian untuk menyudutkannya.
Linda menatap nanar, bayangan Loji semakin jelas di matanya. "Maafin aku," ucapnya dalam hati, mengepalkan tangan erat-erat. Menguatkan diri, karena tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan orang yang ia cintai.
Keheningan seperti terasa mencekam, mencekik leher Linda sampai tidak bisa berkata-kata. Melihat tatapan orang-orang bagai senjata yang terhunus, tersudut tidak ada tempat bersembunyi.
Helen memegang tangan Linda. "Ga ada jalan lain," bisiknya menguatkan. Ini jalan terbaik, satu-satunya cara agar mereka bisa menang.
Nenek tersenyum simpul. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang," ucapnya lirih, menikmati ketegangan yang tercipta.
"Seorang putri harus di perjuangkan setidaknya lebih dari satu pangeran." Sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan, memenuhi setiap sudut ruang.
"Loji," ucap Linda kaget, langsung melihat ke arah pintu masuk.
Mereka yang hadir ikut mengalihkan pandangan, menatap seorang pria muda yang sangat gagah. Melangkah tenang melewati Rudy yang langsung berdiri dengan wajah pucat pasi, begitu juga Indra dan Ranti.
Mata mereka bertiga terbelakak, bagai meloncat keluar. Seseorang yang telah mati tiba-tiba bangkit, melangkah melawati mereka seperti hantu. Ketakutan perlahan menyelimuti hati, bagaimana jika siasat mereka terbongkar dan siapa yang harus di gadaikan.
Mata Linda membesar melihat Loji datang, jantungnya seperti berhenti berdetak. Sorot mata penuh kerinduan yang tak terucap datang bersama penyesalan, telah membuat nyawanya terancam. "Loji!" jerit hatinya, jiwanya seakan melayang dan memeluknya. Mulutnya terkunci rapat, tapi ekspresinya wajahnya bagai melemparkan ribuan kata penyesalan dan rindu ke udara.
Helen juga terkejut, tadi mendapat email Loji duduk terikat. Sebuah pesan ancaman terlampir, Linda harus menerima lamaran Rudy untuk Loji mati.
Djunet langsung menarik tangannya, menempelkan jarinya di bibir. Diam, biarkan sandiwara ini di gelar.
Loji terus melangkah mendekati Linda. Kemarin, di saat-saat akhir hidupnya, wajah Linda terbayang jelas di pelupuk mata. Ada janji yang belum di tuntaskan.
Dia berdiri di hadapan Linda yang masih terbelalak melihatnya. "Aku tidak memiliki apa-apa saat ini," ucapnya sambil berlutut, mengadahkan kepalanya sambil menatap lembut. "Tapi aku akan berusaha membuat hari-hari mu bahagia, menemani dan menjagamu sampai maut memisahkan kita," lanjutnya sepenuh hati.
Melupakan ini sebuah drama, tapi tanggung jawab yang harus di penuhi olehnya. Linda, wanita yang terbayang di saat-saat terakhir.
Nenek yang duduk di lantai dua menyaksikan dari balik topi lebar, memperhatikan semua yang terjadi. "Akan semakin seru," gumamnya sambil berdiri, melangkah pergi dengan senyum simpul di wajah.
Mereka yang hadir menyaksikan dengan wajah terpukau, terpikat dengan cerita yang di gelar dengan apik di hadapan mereka. Para pengeran sedang memperebutkan seorang putri. Sunyi-senyap tanpa suara, semua menungu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Cincin ini warisan ibuku," ucap Loji lirih, mengeluarkan satu-satunya peninggalan orang tuanya. "Semoga cukup pantas untuk ku persembahkan kepadamu." lanjutnya penuh harap.
Linda haru, tak terasa air mata mengalir di pipi. Dia tahu kisah hidupnya, sebuah peninggalan yang tidak ternilai di berikan kepadanya. Kata-kata hanya bisa menari-nari di ujung lidah tanpa ada suara, hanya sebuah anggukan pelan serta senyum tulus yang bisa ia berikan.
Dia mengulurkan tangan, merasakan betapa lembutnya Loji saat mengenakan cincin ke jari manisnya. Sebuah ikatan tercipta, mengikat mereka berdua jauh di lubuk hati terdalam, ini bukan lagi sebuah sandiwara. Ini adalah penyataan tulus dua insan yang sedang jatuh cinta.
Loji perlahan berdiri, menatap Linda yang tersenyum. "Aku akan selalu ada untukmu," ucapnya mengikrarkan sebuah janji. Kata-kata yang tidak bisa dia ucapkan di saat-saat akhir hidupnya malam itu.
Mereka berdiri berdampingam sambil bergandengan tangan dengan erat, dan menyapukan pandangan ke semua yang hadir.
"Saya Loji Gandrung, calon suami Linda Atmadja," ucap Loji percaya diri, menatap Rudy, Indra dan Ranti. Melemparkan pernyataan dialah pemenangnya malam ini.
Helen langsung bertepuk tangan bersama Djunet, menyambut mereka berdua. Para relasi bisnis langsung berlomba-lomba memberi selamat. Sebagian mencari muka, mengharap bisa mendapatkan keuntungan di hari bahagia.
Hendro dan Ajeng juga mendekati Linda dan Loji. Sesekali saling melirik sambil tersenyum bahagia, melihat wajah putri mereka yang berseri ceria.
"Jadi ini calon kamu?" tanya Hendro sambil tersenyum.
Linda langsung membalikan badan, senyum gembira terlukis di wajahnya. "Papa dan Mama," ucapnya canggung, melirik Loji di sampingnya. Berusaha mati-matian mengimbangi sikapnya.
"Malam Pak, malam Bu," sapa Loji sopan, mencium tangan Hendro dan Ajeng.
Hendro menatap wajahnya. "Jaga Linda," ucapnya penuh pesan.
"Saya akan menjaga Linda sepenuh hati," balas Loji berjanji.
Hendro tersenyum lega. "Linda tidak salah memilih," pikirnya melihat ketulusan di matanya. Dia memeluk Loji dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungnya. Menitipkan cahaya hati yang telah menerangi langkahnya selama ini.
Waktu terus berputar, Loji merasakan kehangatan sebuah keluarga, sesuatu yang selama ini hilang. Sebuah janji kembali terucap di hatinya, tanpa di sadari. "Aku akan berikan yang terbaik untuk Linda," ucap hatinya yang terdalam. Melupakan semua skenario yang berjalan.
Dia terhanyut terbawa sikap Hendro dan Ajeng. Tatapanya juga perlahan berubah, merasakan perbedaan sikap Linda. Walau tak banyak kata terucap, tapi hanya senyum manis yang terlukis indah sudah cukup baginya.
Sampai sebuah harapa timbul ini semua bukan drama, apa lagi mimpi sesaat yang menyakitkan.
Setelah Hendro dan Ajeng pergi, Loji menatap Linda. "Mba Linda ikut aku sebentar," bisiknya lirih.
Panggilan yang terasa tidak pas di telinga Linda, tapi dia hanya diam dan mengangguk. Mengikuti kemana Loji melangkah. "Mereka yang mengancam," pikirnya, melirik Loji yang terlihat tenang. "Gw juga harus tenang," pikirnya sambil menghela napas pelan.
Loji mendekati Rudy yang sedang bersama Indra dan Ranti, menggenggam erat tangan Linda. Berdiri tegak di hadapan mereka, ada dorongan di hatinya yang ingin menyatakan kalau dia belum kalah. Tidak ada kata terucap, tapi kehadirannya sudah menggambarkan semuanya.
"Lo cuma kacung beruntung," ucap Indra sinis sambil menatap tajam.
Rudy hanya diam, ketakutan terlihat jelas di wajahnya. Beragam pikiran terlintas, khawatir kalau semuanya terbongkar ke permukaan.
Loji hanya diam, senyuman terlukis di wajahnya. Dia melirik Linda yang berdiri di sampingnya, menikmati harum parfum yang membelai hidung. Linda langsung menempelkan tubuhnya ke Loji, dan menatap wajah Ranti yang memerah terbakar cemburu.
"Waktunya honey moon, lupakan orang-orang goblok ga guna," ucap Linda manis, menusuk musuh yang terlemah. Mereka melangkah pergi dengan senyum di wajah.
Perasaan Ranti campur aduk, kenyataan Loji masih hidup menambah rasa sakit di hatinya. Jiwanya terguncang, mengingat kata-kata yang di tancapkan oleh Linda. Sisi jiwanya yang gelap mengambil alih, membutakan hati serta pikirannya.
"Lo emang bangsat Loji! Gw bunuh lo berdua!" jerit Ranti dalam hati, menatap mereka berdua yang melangkah pergi. Hatinya menjerit-jerit tidak terima akan semua ini.
"Sakit, ini sangat menyakitkan!" jeritnya dalam hati, setiap langkah mereka terasa bagai cambu berduri. Mencabik-cabik dirinya, mengingat setiap kata Linda yang tertancap di kepala.
Dia ingin mengamuk, melampiaskan kemarahan. Napasnya perlahan memburu, mencari-cari kambing hitam untuk di salahkan. Perlahan matanya melirik Rudy yang pucat pasi.
Senyum dingin terbit di wajahnya. "Lo harus hilang," pikirnya, menancapkan target di kepala Rudy. "Anjing ga berguna, harus di buang ke tempat sampah," gumamnya lirih.
Mulai menyusun rencana di kepala, menghilangkan Rudy akan menambah pundi-pundi keuntungan. "Perusahaan lo bisa gw peres abis," pikirnya, mengingat management di pegang Indra, boneka yang bisa di mainkannya dengan mudah.
Rudy seperti tidak bisa bernapas, tangannya gemetar melihat sebuah pesan masuk dari nomor tak di kenal. Matanya terbelalak ketakutan, melihat foto empat orang yang di sewanya sedang duduk berlutut bersama anak buahnya.
Dia hampir jatuh terduduk, kakinya terasa lemas. Menatap nanar Indra yang memperhatikannya. "Gimana nih? Lo harus tolongin gw," ucapnya, menyodorkan hpnya.
Indra menerima hp tersebut, melihat bersama Ranti. "Udah tenang aja," balasnya tidak bisa berpikir. Dia menyerahkan kembali hp tersebut. "Apus pesennya, buang aja hp lo," ucapnya tegang.
"Oke," balas Rudy, tapi tangannya terus gemetar sampai hpnya beberapa kali terjatuh. Setelah selesai dia melangkah cepat keluar ruangan, membuang hp tersebut.
Ranti tersenyum simpul, ini saatnya untuk memainkan peran. "Kamu lebih pinter dari Rudy," ucapnya manis. "Jangan sampai terseret, dia enak kamu rugi," lanjutnya, membelai lembut wajah Indra yang juga terlihat tegang.
"Aku ga bisa ninggalin dia sekarang," balas Indra sambil menatap Ranti, tapi sorot matanya seperti meminta pendapat.
"Ikut aku," ajak Ranti merayu, mengerti bagai mana cara memanipulasi Indra. Tersenyum manis sambil membisikan kata-kata menggoda. "Yuk," ucapnya, menarik Indra bagai kerbau di cocok hidungnya.
Sepanjang jalan, Ranti membisikan kata-kata indah. Menancapkan pemikirannya di kepala Indra, menggodanya dengan hasrat demi melancarkan tujuannya. Menyingkirkan musuh satu persatu dari yang terlemah.
Di jalan yang sepi, di dalam sebuah mobil. Djunet melirik Helen yang duduk di sampingnya, saling melempar kode dalam keheningan. Memperhatikan Loji dan Linda yang hanya diam saling melirik, canggung dengan apa yang telah mereka lewati bersama.
"Loji, yang sandera kamu siapa?" tanya Helen penasaran. Linda langsung melirik Loji, ingin mendengar apa yang terjadi. "Gimana caranya kamu bisa lolos?"
"Hhmm," Loji menghela napas dalam, terbayang olehnya saat nyawanya di ujung tanduk. "Aku di selamatin anak buah Oma," jawabnya, mulai bercerita apa yang terjadi malam itu. "Mereka diskusi mau nyulik aku di warung Uda Fahmi, di belakang apartemen," ucapnya mengingat cerita Ando sahabatnya.
Setelah orang-orang yang mengincar Loji pergi, oma langsung menghubungi para tukang sayur yang menjadi anak buahnya. Sebagian bergerak, ikut mengawasi Loji. Mereka memperhatikan dan mengikuti, membiarkan semuanya terjadi.
"Kok, mereka diem aja kamu di culik? Trus si Oma itu siapa?" potong Djunet penasaran, tidak habis pikir kenapa di biarkan hal itu terjadi.
"Mereka pengen tau kenapa, dan siapa dalangnya," jawabnya Loji sambil mengingat-ingat. "Oma, itu penguasa tanah di belakang apartemen, dan bosnya para tukang sayur keliling," ucapnya, menceritakan siapa oma.
"Terusin dulu ceritanya jangan di potong-potong," ucap Helen penasaran, ingin mengetahui keseluruhan cerita.
"Malem selesai kirim email aku keluar apartemen," ucap Loji, melanjutkan ceritanya. "Tengkuk aku di pukul sampai pingsan," lanjutnya, teringat matanya tiba-tiba gelap.
Dia siuman tapi biusan obat bius membuatnya setengah sadar, pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa. Semua terasa mengawang-awang, tidak bisa mengingat sepenuhnya apa yang terjadi karena bagai di alam mimpi.
"Aku berusaha sadar tapi pingsan lagi," ucap Loji, sudah siap bertemu dengan orang tuanya. "Aku sadar sudah ada di kamar kost," lanjutnya, sempat mengira sudah mati.
"Kenapa tadi kamu nyamperin mereka bertiga?" tanya Linda, merasakan kecurigaan terhadap Rudy dan Indra.
"Aku lupa-lupa ingat karna obat bius, tapi rasanya ingin menunjukan kepada mereka," jawab Loji tidak bisa mengingat sepenuhnya kejadian kemarin. "Tapi Oma minta ga usah di terusin, biar dia yang ngurus," ucapnya mengingat pesan oma. "Aku di minta jalanin apa yang sudah aku janjikan ke Mba Linda," lanjutnya polos.
Linda langsung mengalihkan pandangan, menyembunyikan wajahnya yang merona. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. "Dia janji apa," pikirnya, sesekali melirik Loji yang menunduk malu-malu.
"Mba Linda, maaf yah kalau tadi aku kurang sopan," ucap Loji lirih, sadar kalau terbawa perasaan. Takut-takut sambil sesekali melirik, walaupun jauh dalam lubuk hatinya berharap ini bukan sebuah sandiwara.
"Ya," balas Linda singkat, terus mengalihkan pandangannya ke arah jalan. Dia sesekali melirik seperti menunggu apa yang di janjikan Loji untuknya. Rasa penasaran semakin memeluk erat dirinya, tapi Loji hanya diam tidak mengatakan apapun.
Helen dan Djunet juga hanya diam, saling melirik karena Linda kembali ke setelan awal. Untung ada Loji, orang yang bisa melunakan hati sang putri. Mereka tahu malam ini bisa saja menjadi sebuah peperangan, apa lagi ada sebuah email ancaman.
Waktu terus bergerak, seperti roda mobil yang berputar. Linda terus menunggu apa yang di janjikan Loji, sampai rasa penasaran membuatnya hampir gila.
Di sisi lain, Loji merasa sikapnya ada yang salah. "Gw terlalu terbawa perasaan," pikirnya, melirik Linda yang duduk sambil menyilangkan kaki. Mendekapkan tangan di dada, sesekali melirik dengan wajah seperti tidak suka.
Linda tidak menyadari hal itu, menungggu bukanlah keahliannya. Kesal sendiri dan lama-lama cemberut. "Kenapa ga ngasih tau sih," pikirnya bete. "Memangnya kamu janji apa ke aku? Harus jelas kalau cerita," ucapnya tegas, tidak sabar lagi.
Dia melirik Loji, tapi wajahnya terlihat judes serta nada suaranya seperti mengintrogasi. Semua itu terbungkus rapi bersama sikapnya, dia juga mengalihkan pandangan ke luar jendela seperti tidak membutuhkan apapun.
"Aku janji untuk menjaga Mba Linda," jawab Loji tulus, tapi ada rasa hambar di hatinya. Harus menerima kalau tadi adalah sebuah drama, karena sikap Linda yang kembali seperti semula.
Linda hanya diam tidak menjawab sambil terus melihat keluar, tapi wajahnya merona bahagia. Menutup mulutnya rapat-rapat, khawatir apa yang keluar tidak sesuai ekspektasi. Hangat, lembut, senang, dan semua terasa indah. Rasa baru memenuhi hatinya saat ini.
Helen saling melirik dengan Djunet, gatal ingin meledek tapi mereka tahu malah akan membuat suasana menjadi tidak enak. Membiarkan keheningan menyelimuti, di selingi sayup-sayup suara kendaraan yang melintas.
"Jadi kamu ga tau siapa yang sandera kamu?" tanya Djunet tiba-tiba, masih penasaran.
"Aku ga inget Mas," jawab Loji, berusaha mengingat tapi tidak bisa.
"Lin, situasi masih bahaya," ucap Helen mengambil kesimpulan. "Otaknya ga ketauan siapa," lanjutnya.
"Pasti, si bangke," balas Linda yakin, Rudy adalah otak dari semua ini.
"Ga bisa nuduh juga, dia sama Indra bisa bikin alibi," ucap Helen mencoba berpikir tenang. "Net lo nginep aja, Loji juga tidur di tempat Linda," lanjutnya.
"Udah ga apa kok Mba Helen," balas Loji sungkan.
"Nanti kalau di culik lagi gimana," sambut Linda ketus.
"Maaf Mba Linda," balas Loji lirih.
"Hhmm," Linda menutup mulutnya rapat-rapat. "Bego, kenapa gitu sih gw," pikirnya, mengutuk sikapnya sendiri. Melihat lampu-lampu jalan, untuk menenangkan diri.
Malam terus bergerak, perlahan berganti dengan pagi yang cerah. Matahari yang baru keluar menyambut tiga orang yang baru datang, melangkah cepat masuk ke dalam apartemen. Bejo tertunduk bagai tawanan, melangkah di depan mereka.