Aku sadar kalau aku bukan siapa-siapa, tapi memilih jalan yang sulit. Jalan terjal dan mendaki, pilihan bodoh dari seorang yang belum tahu kejamnya dunia. Aku sudah menyadari dan harusnya bersiap untuk sakit hati, namun tetap saja itu bukan hal yang bisa di persiapkan.
Layaknya matahari pagi yang selalu terbit, seperti rasa sayangku yang tidak pernah pergi. Menghantui pikiran ini sepanjang hari.
Aku tidak tahu di mana Linda, terusir dari kenyamanan dan pekerjaanku kembali ketempat di mana aku berasal. Sesekali aku berdiri di tepi pagar L&R atau apartemen hanya untuk melihatnya, menaruh harap melihat seseorang yang ku cintai. Sampai aku akhirnya memilih menepi, bukan menyerah tapi berusaha mengerti.
Hancur, sebuah kata yang bisa menggambarkan kondisi hati ini. Bagai barang yang menjadi sampah, di buang saat tidak di butuhkan lagi.
Sudah hampir sebulan Linda pergi, beragam pesan aku kirimkan tapi hanya di baca. Sampai akhirnya datang sebuah balasan. "Ini hanya sandiwara, dan harus berakhir di sini. Kamu harusnya tau saat menerima tugas ini."
Sebuah balasan pahit, tapi aku mencoba mengerti. Linda tidak memiliki pilihan lain.
Loji duduk diam menatap langit sore berwarna jingga merekah, tapi tidak terlihat indah di matanya. "Kenapa begini," gumamnya sedih, mengarungi waktu yang sangat menyakitkan. Mencoba mengingat konsekuensi saat menerima semua ini.
"Ji, turun jangan bengong aja!" seru Sueb, melihat Loji duduk di atap rumah yang sedang di bangun. "Jangan bunuh diri, repot ngurusnya," lanjutnya sambil tersenyum lebar.
"Ya, Bang," balas Loji lesu, perlahan turun ke bawah.
"Bangkit, jangan terpuruk," nasihat Sueb sambil menepuk-nepuk pundak Loji. "Ambil napas sesaat, manusia tidak selamanya bisa berlari," lanjutnya penuh makna.
Loji tersenyum datar, bagai berdiri dalam perahu kecil yang terombang-ambing. Mencoba bersikap dewasa menerima semua ini, namun perpisahan dengan Linda yang begitu mendadak menghancurkan dirinya.
"Yuk, makan," ajak Sueb, menarik tangan Loji dan merangkul pundaknya. Memberi nasihat sebisanya, mengerti karena sakit hati bukan masalah yang mudah untuk di hadapi.
Mereka berjalan menuju warung Fahmi, tanpa menyadari ada sepasang mata menatap sendu dari balik kaca mobil. "Kita jalan," isak Linda sambil menangis di pelukan Helen.
Deru suara mobil perlahan hilang menjauh, bersamaan dengan Fahmi yang menyambut Loji dan Sueb dengan senyum lebar. "Makan dulu, jangan sampe sakit badan juga," ucapnya santai.
Dia melempar kode ke oma yang baru datang, duduk sambil meraih pisang goreng dan kopi hangat yang sudah menunggunya.
"Sini duduk," panggil oma, memberi kode agar Loji duduk di sampingnya. "Calon tukang sayur sedih gini, mana bisa laku dagangan," ucapnya sambil tertawa lepas bersama Fahmi dan Sueb.
Oma tersenyum lebar menatap Loji yang tersenyum datar. "Udah di kasih tau jangan urusan sama konglomerat," ucapnya seperti mengingatkan.
"Iya Oma," balas Loji pasrah. "Ini salah saya," lanjutnya, menyadari perbuatannya. "Tapi aku cinta," ucapnya jujur.
Tawa oma, Fahmi dan Sueb bagai melempar atap. Mereka melihat wajah Loji bagai anak kecil yang merajuk, suasana ceria terbangun di antara kesedihan. Loji tersenyum malu-malu sambil tertawa pelan, bersyukur mereka selalu ada di sekelilingnya saat susah dan senang.
"Makan tuh cinta," ucap oma geli, tertawa tekekeh tanpa henti.
"Nih, makanan beneran dari pada makan cinta," ucap Fahmi sambil menyodorkan sepiring nasi. Menatap Loji yang senyum malu-malu.
"Makasih ya Uda," balas Loji sambil menghela napas pelan. Tersenyum lebar ke mereka semua, supporting system yang sempurna dalam hidupnya.
"Sekarang kamu mau gimana, jangan nongkrong di atap rumah mulu," tegur Sueb sambil menatap Loji yang duduk di hadapannya. "Cari kesibukan sana biar ga stress," nasihatnya.
"Iya Bang, aku cari kerja lagi, tapi aku akan tetap bertahan dengan Linda, karena dia istriku sekarang," balas Loji gamang, sadar pernikahannya hanya secara agama. "Walau di sisi lain aku ngerti dia pasti ga mau mengorbanin orang tuanya," ucapnya logis.
"Oma punya perkebunan, kamu bantu urus sana," ucap oma tegas, tidak ingin Loji terlarut kesedihan.
"Sana gih, urus perkebunan Oma," ucap Fahmi lembut. "Bangkit, kalau memang jodoh ga akan kemana," lanjutnya memberi semangat.
Loji mengangguk sambil tersenyum, mengerti apa yang mereka sampaikan. "Ya udah, aku bantuin Oma urus kebun," balasnya sambil tersenyum. Berusaha mendorong perasaan dengan logika. "Gw harus bangkit," pikirnya.
"Nah gitu dong, kalau Linda cinta sama kamu dia pasti nyari kamu," ucap oma menasehati. "Sekarang kamu beri dia waktu, karena tidak ada nelayan yang melaut saat badai menerjang," lanjutnya mengingatkan. "Biarkan melandai, saat itu adalah waktumu untuk berlayar," pesannya.
Berkas-berkas sinar harapan timbul, terselip di antara awan tebal. Rindu yang menyelimuti ruang dan waktu, di paksa menyingkir oleh kesibukan. Mencoba tidak memberi ruang untuk bersedih. Namun, rasa itu tidak bisa hilang begitu saja.
Saat malam datang, Loji berusaha mengalihkan pikiran dengan mengemasi baju, tapi wajah Linda terus terbayang-bayang di pelupuk mata. Datang bersama semua tentangnya, merasuk ke saraf sampai dia jatuh terduduk. Menangis terisak, membiarkan kesedihan berkuasa atas diri.
Jiwanya terus berontak, ingin melihat Linda walau sesaat. Tanpa sadar tangannya langsung meraih hp mencari harap terakhir.
"Beri aku kesempatan terakhir untuk bertemu kamu," tulisnya, mengirimkan pesan tersebut. Duduk diam menunggu. "Aku hanya ingin menatap kamu walau sesaat," gumamnya sambil membelai wajah Linda di home screen hp.
Terbayang pernikahan mereka yang sederhana, senyum lembut sang istri saat dia terbangun dari tidur. Aroma tubuhnya masih terasa membelai hidung, tapi saat ini semua sirna. Pergi bersama air mata yang terus mengalir tanpa henti.
Dalam hatinya seperti berperang, dua sisi berbeda saling berteriak.
"Lo harus paksa dia mengalah! Dia istri lo yang sah!"
"Tapi dia punya keluarga! Lo tau rasanya hidup tanpa orang tua!"
"Ahh, persetan semua itu! Lo udah korbanin banyak hal untuk dia!"
"Ingat, ini semua adalah pilihan lo! Dan lo udah tau akhirnya akan begini!"
Teriakan-teriakan itu terus bergema di kepala, saling menyalahkan dan membela. Sampai akhirnya Loji tidak lagi bisa menahan diri.
Melangkah cepat keluar kamar, menembus rintik hujan yang datang. Kerinduan membuatnya hampir gila.
"Beri aku waktu walau hanya sesaat!" jeritnya dalam hati, diantara teriakan-teriakan yang terus menggema di kepala, berdiri diam menatap ke dalam lobby apartemen dari balik kegelapan. Ingin menghilangkan siksaan di bathinnya.
Hujan yang semakin deras tak menyurutkan niatnya, terus menatap lobby tanpa berkedip. Dingin yang menyelimuti merasuk tulang, terasa seperti jalan hidupnya selama ini.
"Sayang, kamu di mana?" gumamnya kesepian. Memperhatikan mobil yang lalu-lalang. "Linda," ucapnya sangat gembira. Menatap dua orang wanita turun dari mobil. Kakinya bergerak tanpa ia sadari. "Linda," panggilnya bersama kerinduan yang membuncah di dada.
Langkah kaki Linda terhenti, jantungnya berdebar kencang. "Loji," gumamnya terkejut. Perlahan membalikan badan, melihat seorang pria yang memenuhi isi kepala dan hatinya. Kosong yang berkuasa di hati tersingkir, terobati walau sesaat.
Mereka hanya berdiri diam saling menatap, karena kata tidak cukup mewakili apa yang mereka rasakan. Linda berusaha mengingat keluarganya, mengucapkan kata yang pernah di tulisnya. Namun, jiwanya berontak sampai bibir tidak mampu untuk berucap.
Berusaha sekuat tenaga, terus mengingat kondisi orang tuanya saat menjemput mereka. Tangannya mengepal, mencoba bertahan demi mereka.
Loji perlahan membuka hoddie, membiarkan air hujan membasuh kepalanya. Menghapus semua ingatan yang menyiksa, tapi teriakan dalam dirinya semakin kencang. Antara ego dan logika.
"Dia istri lo! Jangan mau mangalah!"
"Kasihan Linda, lo harus bisa mengerti."
"Bodo amat! Mereka juga ga mau ngerti perjuangan lo!"
Pertengkaran hebat terus berkecamuk di kepalanya. "Hhhmm," dia hanya bisa menghela napas pelan, berdiri di antara dua sisi.
Linda menutup mata, berusaha keras membayangkan orang tuanya. "Untuk Mama dan Papa," ucapnya dalam hati, melawan sakit yang mendera. Menenangkan diri sebisanya, walau badai terus mengamuk di dalam hati. "Jangan temui aku lagi," ucapnya tegas.
Dia menyipitkan mata, berusaha tampil seperti sebelumnya. "Ini cuma sandiwara, jangan pernah berharap lebih!" ucapnya ketus, tapi perkataannya seperti melukai hatinya sendiri. Tubuhnya perlahan mulai gemetar, tidak kuat lagi menahan deraan rasa sakit yang datang.
Loji mencoba tersenyum mendengar semua itu. "Aku mengerti," balasnya dengan suara bergetar, berusaha tegar menghadapi semua ini. Memenangkan logika dari ego di dalam diri.
Dia terus menahan diri untuk memeluknya, melihat air mata mulai mengalir di wajah istrinya. "Aku hanya ingin melihat mu walau sesaat," ucapnya pelan.
Tenggorokan Linda tercekat, dan air mata semakin deras membasahi wajahnya. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak menghampiri, menumpahkan rindu ke belahan sang jiwa. "Maafin aku," sebuah kata yang hanya bisa terucap di mulut yang terkunci.
Ego di hati Loji perlahan terhapus, melihat istrinya menangis. "Jangan ragu dengan keputusan mu," ucapnya tegas. "Aku sudah biasa terluka," lanjutnya sambil menarik napas dalam, ini adalah resiko yang harus di tanggungnya.
Dia terus menatap Linda, memuaskan rasa di dada. "Semoga kamu bahagia," ucapnya tulus. "Mungkin nanti ada waktu untuk kita kembali bersama," lanjutnya penuh harap. "Selamat tinggal sayang," ucapnya lirih sambil melambaikan tangannya yang gemetar.
Perlahan membalikan badan, merasakan sakit sampai menembus dada. Menunduk kalah, melangkah di antara rintik hujan yang semakin deras.
Tubuh Linda bergetar hebat, ini mengguncang jiwanya. "Maafin aku," ucapnya lirih, tidak bisa melihat Loji pergi. Tidak kuat menahan gempuran ombak yang datang menerjang.
Helen yang sejak tadi hanya diam segera merangkulnya, memegangi sahabatnya yang hampir ambruk. "Sabar," bisiknya lembut, memapah Linda masuk ke apartamen.
Saat di dalam kamar, dia membiarkan sahabatnya menangis. Menumpahkan semua kesedihan, mulutnya terkunci tidak bisa berkata-kata. Berlinang air mata menatap sahabatnya yang sangat terluka.
Terbayang olehnya rencana yang mereka buat, saat pergi meninggalkan Loji di Bali.
"Lin, lo yakin bisa pisah sama Loji?" mempertanyakan ke siapan Linda saat itu.
"Gw yakin," balas Linda tegas, karena saat itu di kepalanya hanya ada orang tuanya. "Ini semua bagian dari rencana kita, dia juga udah tau akhirnya akan begini," lanjutnya.
Helen menatap dalam matanya. "Lin, ini ga mudah," ucapnya mengingatkan. "Saat ini lo bisa lupa, tapi nanti belum tentu," lanjutnya.
"Gw ga ada pilihan lain," balas Linda jujur, mengalihkan pandangan ke luar jendela pesawat. Air mata perlahan mengalir di pipinya. "Kasian Mama sama Papa," ucapnya lirih, merasakan lehernya bagai di kalungi pisau.
Helen hanya menatap sahabatnya, mengerti ini bukan sebuah pilihan. Kali ini nenek benar-benar mendorong Linda ke dalam jurang.
Dia menyaksikan bagai mana Linda perlahan mulai terpuruk, tidak kuat menjalani ini. "Ayo kita cari Loji, temuin dia biar lo ngerasa tenang," ucapnya mengingatkan.
"Ga bisa," balas Linda sedih, membaca pesan-pesan yang masuk dari Loji. Menarik napas dalam melihat cincin di jari manisnya.
"Mata lo dah item gitu, jangan minum obat tidur terus," ucap Helen, tidak ingin sahabatnya kecanduan.
"Tapi gw ga bisa tidur," balas Linda lesu.
"Gw dah tau akan begini, lo ga bisa pisah sama dia," ucap Helen mengerti, dan membelai lembut kepala sahabatnya.
Linda mulai menangis. "Hati gw sakit," isaknya. "Tapi gw harus kuat," tangisnya.
Helen merenung seperti sedang berpikir. "Lo ga boleh ketemu, tapi kalau liat dia boleh karena itu ga masuk di perjanjian lo sama Nenek," balasnya mengingat isi perjanjian, mencari cara mengobati luka sahabatnya. "Dengan gitu pelan-pelan lo bisa ngelupain dia," lanjutnya.
Mata Linda tiba-tiba membesar. "Telepon Bejo, suruh siap-siap pake mobil yang lain," balasnya bersemangat, mendapatkan obat untuk hatinya. Menghapus air mata, bergegas berdiri penuh semangat.
Tapi itu semua hanya sesaat, sampai akhirnya malam ini datang. Perpisahan yang tertunda terjadi, akhir dari sandiwara yang mereka perankan.
Linda meringkuk di sofa, ini sangat menyakitkan. "Jangan tinggalin aku!" serunya sambil menangis sedih.
Suara rintik hujan yang mengetuk kaca jendela, menyadarkan dirinya arti kehilangan sesungguhnya. Perasaan yang coba di singkirkan itu ternyata sangat dalam, merusak sendi-sendi hidupnya.
Helen ikut menangis tanpa tahu harus berbuat apa, selama ini telah menyaksikan bagaimana sahabatnya tersiksa.
"Aku ga bisa hidup sendiri," isak Linda pilu, dunianya luruh lantah ke tanah.
"Lin," ucap Helen dengan suara bergetar. Kesedihan seperti menyelimuti ruangan. "Lo harus kuat," isaknya, tidak bisa menahan tangis.
"Gw ga kuat," rintih Linda sambil memukul-mukul dada, ingin mengeluarkan sakit yang bersarang.
Helen langsung memegangi tangannya, memeluk sahabatnya yang sangat terpuruk. "Jangan sakiti diri sendiri," isaknya lirih.
"Ini ga adil!" seru Linda. "Kenapa gw yang selalu di korbanin!" jeritnya marah. Tidak lagi bisa menerima perlakuan nenek.
Dia berdiri tegak, bathinnya memberontak. "Gw mau ikut sama Loji!" serunya.