Pernikahan antara Ranti dan Indra berjalan sangat meriah, pesta di lakukan besar-besaran di sebuah hotel mewah. Gosip sengaja di sebar, Indra akan mewarisi seluruh perusahaan nenek.
Bisik-bisik para oportunis semakin jelas, melihat sebuah kesempatan emas yang terbuka lebar. Mereka juga memperhatikan sikap nenek yang sangat perhatian, menjadi sebuah gambaran jelas siapa pewaris selanjutnya.
Mereka berlomba mencari celah, di antara gelak tawa yang terdengar. Sampai pesta usai, pagi menyambut pasangan baru yang terlihat bahagia. Sarapan bersama membicarakan masa depan yang seakan indah.
Indra melihat hpnya bergetar, membaca dengan serius kabar yang datang dari Ali. "Mampus!" serunya gembira. Dan sebuah pesan datang dari papanya.
"Kenapa?" tanya Ranti kebingungan.
"Ali bilang Linda sudah sadar, tapi mengalami kerusakan syaraf," jawab Indra gembira, tertawa lepas seperti mendapatkan sebuah kado istimewa.
Ranti tersenyum dingin. "Yes, tinggal lo yang harus mati," pikirnya, senang rencananya berhasil. "Ayo kita rebut L&R," ucapnya, ingin mengambil semua menjadi miliknya.
"Ayo kita ke rumah Papa, mereka nunggu kita datang," balas Indra riang.
Ranti senyum-senyum, sangat gembira. "Semua jadi punya gw," pikirnya, menggandeng Indra dengan mesra. Matanya sesekali melirik, menatap suaminya yang akan menjadi korban berikutnya. "Kamu harus jaga kesehatan, jangan kerja terlalu keras nanti sakit," ucapnya penuh perhatian.
"Tenang aja sayang, pokoknya kita bisa senang-senang," balas Indra, tidak menyadari semua itu hanya ucapan palsu belaka.
Mereka pergi ke rumah Ragil, bercerita dan menyusun rencana untuk L&R. Hari ini semua terasa sangat membahagiakan, mereka mendapatkan hadiah istimewa setelah hari pernikahan.
Saat sampai, Indra seperti tidak sabar. Menggandeng tangan Ranti sambil berlari kecil, menghampiri orang tuanya yang sedang duduk di taman belakang.
"Halo," sapa Indra riang.
"Halo," balas Ragil sambil tersenyum lebar.
"Halo Pa," sapa Ranti, mencium tangan Ragil yang terlihat gembira. "Halo Ma," lanjutnya sambil mencium tangan Dita.
"Halo sayang," sapa Dita bangga, melihat sikap Ranti yang sangat sopan di matanya.
"Nenek tadi telepon Papa," ucap Ragil sambil terus tersenyum, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Ali sedang menuju ke sini dan kita di minta serahkan semua kepemilikan, notaris akan merubah semua kepemilikan atas nama kita sekaligus," lanjutnya riang, menunjuk sejumlah dokumen di meja.
"Yes!" seru Indra sambil meloncat, bagai anak kecil yang kegirangan.
"Kamu memang bawa keberuntungan Ranti," ucap Ragil bangga, menatap Ranti yang tersipu.
"Papa, aku hanya berdoa untuk suamiku," balas Ranti malu-malu.
"Pa, aku mau buat L&R jadi full otonumus!" ucap Indra bersemangat, menceritakan pemikirannya ke Ragil. Sebuah hayalan yang tidak mungkin terjadi, karena tidak menguasai bisnis sama sekali.
Dinding-dinding yang diam membisu menyaksikan kegembiraan mereka, ruangan yang biasanya dingin menjadi ceria. Terisi gelak tawa yang mengisi setiap sudut rumah.
"Selamat pagi," sapa Ali sopan, mendekati mereka yang sedang bergembira.
"Sini duduk Ali," ucap Ragil sambil tersenyum lebar.
"Terimakasih Pak," balas Ali sopan, tetap berdiri menjaga sikapnya.
"Gimana kondisi kakak ipar saya Ali?" tanya Ranti pura-pura khawatir, mengingat mertuanya yang meminta mereka menjenguk. "Semoga baik-baik saja," ucapnya, berusaha menunjukan simpati.
Ali tersenyum menatap mereka. "Terimakasih Bu Ranti, atas perhatiannya," balasnya sopan. "Kondisi Bu Linda saat ini sedang di lakukan perawatan intensif," ucapnya sambil menatap Ranti yang mengangguk-angguk.
"Mana fotonya saya mau melihat kondisinya," ucap Indra bersemangat.
Ali mengeluarkan hpnya, memperlihatkan sebuah foto. Linda duduk diam menatap jendela, wajahnya terlihat sangat pucat. Dia seperti sedang merenung menatap keluar dari kursi roda.
Ranti tersenyum simpul. "Mampus," pikirnya senang, melirik Indra yang menyerahkan foto tersebut ke orang tuanya.
Ragil langsung menarik napas dalam. "Ali, kenapa kamu ga kasih kabar ke saya," ucapnya kesal.
Dita juga terlihat khawatir. "Ayo kita ke sana," ucapnya sambil memegang dadanya, seperti ada yang menusuk hatinya.
"Maaf Pak, tadi pagi sudah saya update Pak Indra," balas Ali mengaku salah.
"Indra, lain kali kamu langsung kasih tau Papa," tegur Ragil kesal, kekhawatiran terukir di wajahnya.
"Ya, Pa," balas Indra sambil tersenyum datar, melirik Ranti yang mengangguk seperti membenarkan perkataan Ragi.
"Bu Linda, dalam kondisi shock," ucap Ali mencoba menangkan suasana.
Senyum ceria tiba-tiba terlukis di wajah Indra. "Pasti dia stress karna saya pemilik L&R sekarang," ucapnya sombong. "Kamu nanti saya kasih bonus besar," lanjutnya sambil berdiri, menyerahkan sejumlah dokumen.
"Indra, jangan seperti itu!" bentak Ragil marah. Dita langsung memegang tangannya untuk menenangkan.
"Tapi dia udah nyakitin kita Pa," balas Indra tidak mau kalah.
"Jangan begitu!" bentak Ragil kesal. "Dia tetap keluarga kamu, kita harus membantu agar dia kembali sehat!" omelnya dengan suara keras.
Mendengus kesal melihat tingkah putranya. "Ayo kita ke rumah sakit, biar Indra yang urus," ucapnya ke istrinya yang mengangguk. Dia segera berdiri, melangkah mendekati Ali dan membisikan sesuatu.
Indra tersenyum datar, melirik istrinya yang tersenyum menguatkan.
"Papa benar, kita harus bantu agar dia kembali sehat," ucap Ranti tapi hanya di mulut, melirik Ragil yang melangkah pergi dan Ali yang ada di situ. "Gw harus hati-hati," pikirnya.
"Terimakasih Pak Indra untuk dokumennya," ucap Ali memecah suasana. "Mohon di tanda tangani surat serah terima ini," lanjutnya.
Indra mengangguk, menerima sebuah surat. "Serah terima dokumen," gumamnya, melirik Ranti dan menyerahkan dokumen tersebut. "Kamu bacain," ucapnya.
Ranti mengangguk. "Surat penyerahan dokumen," ucapnya, membaca judul surat tersebut. "Dengan ini yang bertanda tangan di bawah ini, menyerahkan hak sepenuhnya kepada Ibu Dirgo Atmadja, untuk melakukan pengaturan atas perusahaan dan penerimaan hak baru." lanjutnya.
Dia membacakan seluruh isi surat, dan Indra mendengarkan dengan seksama. Terbersit pertanyaan di benaknya melihat alur yang ada. "Kenapa tidak di tambahkan saja? Jadi bisa lebih cepat," ucapnya, merasa ada sesuatu yang janggal.
"Nah, kenapa tidak begitu saja?" tanya Indra sambil menatap Ali yang ada di dekatnya.
"Pak Hendro tidak akan mau melepakan haknya," jawab Ali tenang. "Ibu Dirgo tidak ingin ada perebutan di kemudian hari," lanjutnya, menerangkan kenapa prosesnya seperti itu.
Ranti mengangguk-angguk, tapi hatinya berkata lain. "Agak aneh, tapi ini harus jadi bonus buat gw," ucap suara hatinya serakah, melirik Indra yang duduk di sampingnya. "Uang cash lebih berharga," pikirnya sambil tersenyum penuh makna.
"Jadi gimana sayang?" tanya Indra menatap istrinya yang sedang berpikir.
"Iya, benar karena bisa ada gugatan dari pihak Om Hendro," ucap Ranti pura-pura setuju, karena memang masuk akal. Menatap suaminya sambil tersenyum. "Kepala lo lebih berharga sekarang," pikirnya senang.
"Ok," balas Indra, menandatangani dokumen tersebut. "Tolong usahakan semua proses bisa cepat," balas Indra sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Infokan saya kalau sudah selesai," ucapnya riang.
"Baik Pak, proses ini tidak lama," balas Ali menenangkan.
Ranti senyum-senyum, menatap Indra yang terlihat sangat gembira. "Ya, urus secepatnya bonus gw," ucapnya dalam hati. Menghembuskan napas lega, rencananya berjalan sempurna.
Di tempat lain, pagi ini terasa sedikit menyesakan. Fahmi yang sedang membersihkan warung menatap Bejo yang keluar dari mobil. Sudah beberapa hari dia menunggu Loji.
Rasa kasihan terbersit di hatinya, sesekali ia menatap istrinya seperti meminta persetujuan.
"Sabar tunggu kabar," ucap Ani, mengerti keresahan dalam hati suaminya.
"Mungkin ada sesuatu, kita salah kalau hanya diam," balas Fahmi resah.
Ani tersenyum sambil membelai punggung suaminya, menguatkan agar bersabar. Ada sesuatu yang harus mereka jaga. "Nanti juga ada kabar," ucapnya menenangkan.
Fahmi mengangguk, menyibukan diri seperti biasa. Membiarkan hari kembali berlalu, membiasakan diri dengan semua ini. Sampai akhirnya sebuah kabar datang.
Senyum lega terpancar di wajah Fahmi, melangkah mendekati Bejo yang termenung. "Mas Bejo, ini cobain pisang goreng," ucapnya memecah lamunan.
"Terimakasih Pak Fahmi," balas Bejo sambil menarik napas pelan. Menatap Fahmi yang duduk di hadapannya.
"Kenapa bengong terus Mas?" tanya Fahmi, padahal sudah tahu maksud kedatangannya.
"Hhhmm," Bejo menghela napas dalam. "Saya kasihan dengan Mas Loji dan Mba Linda," ucapnya jujur.
"Kasihan kenapa?" tanya Fahmi, ingin tahu lebih dalam.
"Saya mengenal Mas Loji, walaupun belum lama," jawab Bejo termenung. "Dia orang baik, dan sangat mencintai Mba Linda tapi jalan yang mereka tempuh bukan jalan biasa," ucapnya prihatin.
"Loji memang baik," balas Fahmi, mengetahui hal itu. "Tapi kalau hanya jadi bahan mainan, lebih baik kalian biarkan dia sendiri," ucapnya tegas. "Dia sudah seperti anak saya sendiri," lanjutnya, tidak ingin ada yang menyakiti.
"Saya mengenal Mba Linda sejak kecil," balas Bejo sedikit termenung. "Dia sangat mencintai Mas Loji, wataknya mungkin aneh tapi dia tidak bersandiwara," ucapnya jujur. "Saya menyaksikan sendiri kebahagiaan mereka," lanjutnya.
Fahmi hanya diam, menatap dalam matanya. Melihat kejujuran tergambar jelas. Ada kata yang bermain di ujung lidah, tapi rasa tidak suka seperti menutupi semuanya. Mereka hanya mempermainkan Loji selama ini.
"Pak Fahmi kan liat sendiri, Pak Hendro Papanya Linda sampai ikut mencari sama istrinya," ucap Bejo, mengerti saat ini sedang di introgasi.
"Ya, tapi itu semua demi harta warisan," balas Fahmi tidak percaya.
Bejo mengangguk dan tersenyum datar, itu adalah sebuah kebenaran. "Itu dulu dan itu benar," ucapnya sambil mengeluarkan hp. "Ini kondisi Mba Linda saat ini," lanjutnya, menunjukan sebuah foto.
Fahmi menarik napas dalam, melirik istrinya yang ikut melihat. Mereka saling menatap, melempar pesan dengan wajah serius. Dia menatap Bejo yang hanya diam, berharap mendapatkan informasi keberadaan Loji.
"Mba Linda tidak bisa kehilangan Loji," ucap Bejo lirih, rasa kasihan seperti menggelayuti dirinya.
Suara knalpot kendaraan yang lalu lalang terdengar kencang, saat kesunyian menyelimuti rumah makan milik Fahmi. Detak jarum jam sampai terdengar mengetuk-ngetuk, tidak sabar menunggu kata-kata terucap. Kondisi yang sama terjadi di rumah nenek, sunyi, sepi tidak ada lagi keceriaan seperti dulu.
Nenek termenung menatap foto keluarganya, terbayang canda dan tawa anak serta cucunya saat mereka masih kecil. Kekuatan yang membuatnya terus maju, bangkit dari keterpurukan. Sampai langkah kaki Ali terdengar seperti menggema, membuyarkan lamunannya.
"Bu, semua dokumen sudah selesai," ucap Ali sambil menaruh dokumen di meja. "Tadi Pak Ragil juga meminta saya untuk meneleponnya, dan meminta di buatkan surat," lanjutnya sambil memberitahu isi surat yang di minta Ragil.
Nenek menarik napas dalam. "Ali, kekayaan itu kadang bagai sebuah kutukan," balasnya sambil termenung. "Uang bisa menghancurkan banyak hal," lanjutnya sedih.
"Saya percaya keputusan Ibu adalah yang terbaik," ucap Ali memberikan dukungan.
"Hhhhmmm," nenek menarik napas dalam. "Mereka harus belajar dari masalah ini," balasnya seperti temenung, kesendirian semakin menyudutkannya. Melayangkan pandangan ke foto keluarga, menatap almarhum suaminya yang sedang tersenyum. "Kamu curang, ninggalin aku sendiri," gumamnya sambil cemberut seperti Linda.
Dia menyandarkan kepala, ribuan pisau seperti di todongkan ke dirinya. "Ali, apakah saya terlalu kejam? Melakukan ini hanya untuk menguji tali persaudaraan mereka," ucapnya gamang, merasakan beban yang sangat berat. Semua ini di lakukan karena tidak ingin ada perebutan warisan saat dia tiada.
Ali terdiam berpikir, mengerti ini bukan hal yang mudah. "Ibu, sudah sangat bijaksana," jawabnya pelan.
"Hhhmm," nenek menghembuskan napas panjang, pikirannya melayang ke para penerusnya. "Saya terlalu egois, memaksakan kemauan sendiri di atas kemauan mereka," ucapnya menyadari kesalahannya, memaksa seluruh penerusnya untuk melanjutkan bisnisnya.
Ali hanya menunduk, mengetahui hal itu. "Ibu juga berhasil membuat ikatan kuat di antara mereka," balasnya sopan.
"Bukan saya," ucap nenek lirih, menatap foto suaminya. "Suami saya berhasil merajutnya, dan saya yang merusaknya dengan harta," lanjutnya sedih.
Dia menutup mata, seperti meyakinkan dirinya sendiri. Setelah beberapa saat meraih dokumen yang telah di persiapkan di meja. Menandatangani dokumen tersebut. "Eksekusi, siapkan tempat pengasingan," ucapnya dingin.
"Baik Bu," balas Ali sopan, dan mengambil dokumen tersebut di meja.
Nenek kembali menghembuskan napas panjang, ruangan yang sejuk terasa penat. Kekosongan terasa mengisi setiap sudut ruang, sepi dan sunyi. Matanya terus menatap foto suaminya. "Kamu benar," gumamnya. "Seharusnya aku biarkan mereka memilih jalan mereka sendiri," ucapnya lirih sambil meneteskan air mata.
Kehampaan seperti mendekap tubuhnya dengan erat, barang-barang mewah terlihat bagai onggokan sampah. Sama sekali tidak berarti tanpa kebahagiaan penghuninya.
Seperti di rumah sakit, kemewahan yang di sajikan juga tidak berarti. Linda duduk diam di kursi roda, tidak ada satu katapun terucap dari bibir yang terkunci rapat. Menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, seperti boneka yang tidak berjiwa.
Dia tidak tahu mana realita atau mimpi, suara-suara yang terdengar bagai berdengung. Bayangan-bayangan apa terjadi terlihat jelas bagai sebuah realita.
"Selamat tinggal sayang."