Lorong klinik yang lenggang seakan menyempit, saat derak roda kereta dorong yang berdirik terdengar kencang memecah keheningan. Lantai yang dingin menyimpan banyak kenangan, kehilangan dan kebahagiaan. Sudut-sudut ruang yang lengang seperti mata dan yang mengawasi, menunggu untuk memberi kejutan.
Saat matahari kembali bersinar, Ranti perlahan terbangun. Mencoba menggerakan tubuhnya yang masih terasa lemas. "Brengsek, lama banget lagi," gumamnya kesal, mengingat lamanya efek obat dari Agung.
"Pagi," sapa seorang suster.
"Pagi Sus," balas Ranti pelan, berakting seperti orang yang masih sangat syok. Menunjukan wajah sedih agar terlihat natural, dan tak lama Ragil masuk bersama istrinya.
"Mama, Papa," ucapnya sedih, memasang ekspresi bagai orang yang sangat kehilangan.
"Pak, maaf," ucap sang suster. "Pasien masih shock," lanjutnya meminta pengertian. Ragil mengangguk mengerti, merangkul istrinya yang terlihat sangat rapuh.
"Ma, Indra mana?" tanya Ranti merengek sedih.
Dita perlahan mulai terisak, dan menangis di pelukan Ragil yang hanya diam termenung. Suasana duka bergelayut, memenuhi setiap sudut ruang.
"Ma," rengek Ranti seperti sangat kehilangan, menjalankan perannya dengan sangat baik.
Dita langsung memeluk Ranti, menumpahkan air matanya. Tersedu-sedu sangat kehilangan. Kata seperti tersendat di ujung lidah, tidak mampu terucapkan.
Ragil mematung, berdiri diam melihat mereka. Wajahnya seperti masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Hmmm," dia menarik napas dalam, menghembuskan apa yang tersimpan di dada. "Dia sudah....," ucapnya lirih, tidak mampu meneruskan kata-kata hanya air mata yang melambangkan kesedihannya.
Awan gelap perlahan menggantung di ruangan, isak tangis Dita semakin keras. Ranti berusaha semaksimal mungkin mengimbanginya, merengek-rengek, memanggil-manggil nama suaminya.
"Indra, jangan tinggalin aku sayang," rengeknya terdengar putus asa. "Indra, aku ga bisa hidup tanpa kamu," tangisnya terdengar pilu.
Dia terus berusaha menggerakan tubuhnya yang masih sangat lemas, seperti layaknya orang yang akan berontak. "Aku ikut sayaaang!" serunya.
Tangis Dita semakin menjadi. "Indraaa!" jeritnya pilu, memenuhi setiap sudut ruangan. Sinar matahari bagai tidak terang, karena mendung yang bergelayut di langit-langit kamar. Tidak ada tempat untuk keceriaan pagi ini, hanya ada kesedihan dan ratapan.
Sampai akhirnya suasana perlahan mulai tenang, Ragil merangkul istrinya yang terlihat sangat lemas. Menatap Ranti yang putus harapan, termenung sambil berusaha menjaga ekspresi wajahnya.
"Ranti," ucap Ragil lirih. "Teruskan cita-cita Indra," lanjutnya penuh harap.
"Aku ga bisa kehilangan Indra," isak Ranti seperti tidak ingin melanjutkan hidupnya.
"Kamu putri kami sekarang," ucap Ragil sambil mnatap kosong. "Kamu adalah pewaris Indra, jangan lupakan kerja keras suami mu," lanjutnya lirih.
"Indra," isak Ranti sedih. "Jangan tinggalin aku sendiri, aku ikut sayang," tangisnya, meratapi kepergian suaminya.
Ragil mendekat, dan membelai lembut kepala Ranti. "Yang kuat ya sayang, Papa akan urus semuanya agar perjuangan Indra tidak sia-sia," ucapnya pelan.
Ranti terus menangis, meratapi kepergian suaminya. Melakoni perannya dengan sempurna. Harta seperti tidak berharga di wajahnya, menunjukan Indra adalah hidupnya.
Seorang dokter jaga masuk ke dalam kamar bersama seorang suster. "Pak, maaf," ucapnya. "Saya mohon jangan memberatkan pasien dulu," lanjutnya sambil mendekati Ranti, dan memeriksa kondisinya. "Ibu yang tenang," ucapnya lembut.
"Indra, jangan tinggalin aku sayang," tangis Ranti terus meratapi suaminya.
"Pak, mohon untuk meninggalkan pasien agar tenang," ucap sang dokter meminta pengertian. Melangkah ke arah pintu, mengajak mereka semua untuk pergi agar situasi menjadi tenang.
Ragil merangkul istrinya perlahan, melangkah keluar kamar. Suara ratapan Ranti mengiringi langkah mereka yang gontai.
Pintu tertutup, sebuah senyum tiba-tiba terlukis. Matahari kembali menyinari hari yang cerah, membawa semangat baru untuk berjuang. Seperti di perkebunan sejak pagi Loji sudah sangat sibuk, mengurus istrinya sepenuh hati. Membangun suasana ceria sedemikian rupa, mondar-mandir meminta bantuan para pakerja.
Suster yang menjaga Linda tersenyum memperhatikan hal itu. Loji membuat suasana sedemikian rupa, seperti tidak terjadi sesuatu terhadap Linda. Berusaha menerapkan apa yang dia katakan semalam.
Loji mengajak Linda ikut memilih sayuran bersama yang lain. Awalnya semua kaku, tapi dia terus menunjukan ke mereka agar mengikutinya.
"Sayang, ini sayurnya bagus-bagus," ucap Loji riang, menunjukan ke Linda yang ada di sampingnya. "Aku kerja ngatur distribusi sayur, nanti kamu aku kenalin sama Oma," lanjutnya.
"Jangan mau, si Oma suka ngomel," celetuk Ujang ikut menghidupkan suasana.
"Nah, iya orangnya unik," balas Loji keheranan. "Semalem aku kan WA dia," ucapnya seakan Linda mendengarkan. "Oma, aku ijin Linda sama keluarga menginap di sini," lanjutnya bercerita tentang isi pesannya.
"Nih, dia bales gini," ucap Loji sambil mengeluarkan hp. Menunjukan seluruh pesannya ke Linda, seakan sedang membaca bersama.
"Orang kaya harus bayar sewa, minimal dua kali lipat," ucap Loji membacakan balasan oma. "Nah, aku bingung di sini kan ga ada uang sewanya," lanjutnya sambil menatap istrinya. "Trus aku bales aja, Ini kan tempatnya kuno jadi setengah harga aja ya Oma," ucapnya sambil tersenyum lebar.
Mereka semua memperhatikan, apa yang dia lakukan. Tersenyum haru melihat bagai mana Loji berusaha untuk istrinya, perlahan mengerti apa yang sedang di bangunnya. Binar-binar kehidupan di matanya, seperti mengajak mereka semua untuk ikut bersemangat.
Ekspresi serta tawa Loji perlahan merubah keharuan di wajah mereka, keceriaan timbul layaknya matahari pagi, terbawa keseruan pesan-pesan Loji dan oma yang penuh canda.
"Nih, dia bales lagi," ucap Loji seru. "Kamu biasa tidur pake kipas tangan aja mau pake AC, masuk angin," lanjutnya sambil tertawa-tawa, membuat senyum yang lain ikut mengembang.
Mereka mulai tertawa-tawa, mendengarkan bagai mana Loji dan oma berbalas pesan.
"Aku di ledekin mulu sama dia, liat aja balesannya," ucap Loji sambil menggelengkan kepala. "Masih miskin, ga pantes mandi air anget cepet keriput," bacanya sambil tertawa lepas bersama yang lain.
"Nenek-nenek rata-rata aneh," Djunet tertawa lepas.
"Bener," sambut Helen tertawa geli.
Hendro dan Ajeng juga ikut terbawa, sebisa mungkin mendukung suasana menjadi ceria. Kicauan burung serta semilir angin terasa menyegarkan, melambungkan harap mereka tinggi ke angkasa.
Linda merasakan getaran-getaran di hatinya, suara yang hilang mengisi setiap sudut ruang di kepala. Pikirannya yang kacau perlahan tertata, walau belum bisa membedakan kenyataan dan realita.
Lembutnya semilir angin, seperti membangunkannya dari mimpi buruk. Dia mulai mencari-cari asal suara itu datang. "Loji," panggilnya dalam kegelapan, mendengar suara yang sangat di rindukan sangat dekat dengannya.
Tapi di sekelilingnya gelap gulita, seakan menelan dirinya. "Lojiiiii!" jeritnya ketakutan.
"Linda merespon," ucap sang suster tiba-tiba. " Dan responnya sangat bagus," lanjutnya, menunjukan tubuh Linda yang sesekali bergetar. "Dia mulai menerima rangsangan," ucapnya menerangkan, menunjukan ke mereka yang ikut memperhatikan.
Semangat mereka semakin berkobar, melihat respon yang di berikan Linda. Loji langsung menggengam tangannya. "Sayang kamu pasti sembuh," ucapnya optimis. "Kita jalan-jalan, honey moon lagi tapi jangan ajak mereka," candanya sambil menggerakan kepalanya ke Helen dan Djunet.
Tawa terlempar di udara bersama canda, keceriaan yang merasuk ke telinga Linda. Bagai titik cahaya dalam kepekatan malam, yang perlahan melumat kegelapan.
"Mas Loji, tolong berat banget!" seru Bejo sambil mendekat, tergopoh-gopoh mengangkat karung berisi sayur. "Waduuhh!" serunya tiba-tiba jatuh terpleset.
Tawa mereka kembali pecah, memperbesar titik cahaya di mata Linda. Bayangan-bayangan realita perlahan muncul, walau tertutup kabut tebal.
"Loji," ucap Linda tiba-tiba, kepalanya bergerak perlahan membuat mereka semua langsung terdiam.
"Sayang aku di sini," balas Loji sambil menggenggam tangannya, bagai menuntun istrinya.
"Loji," ucap Linda kembali, seperti sedang mencari-cari.
Loji memegang kepala istrinya. "Aku di sini sayang," ucapnya mesra, mencium kening Linda sepenuh hati. Haru menyelimuti dirinya, terisak pelan karena bahagia.
Sang suster tersenyum penuh makna. "Luar biasa," gumamnya sambil menghentikan aliran infus. Memperhatikan Linda yang berusaha kuat untuk tersadar, melawan obat bius yang di berikan.
"Loji, jangan tinggalin aku," ucap Linda bersama air mata yang perlahan mengalir di pipinya, bayangan samar perlahan terlihat semakin jelas.
"Aku selalu ada untuk mu," isak Loji sambil menghapus air mata istrinya. "Maafin aku," tangisnya penuh penyesalan.
"Loji," tangis Linda sedih, samar-samar mulai melihat wajah suaminya di depan mata.
Suara tangis bahagia mulai terdengar, ucapan syukur di lantunkan ke langit. Sebuah rahmat mereka dapatkan di pagi yang cerah.
Senyum gembira terlukis, menghiasi wajah mereka di antara air mata. Senyum juga terlukis di wajah nenek, namun terlihat dingin. Dia menatap dalam Ragil yang ada di hadapannya, duduk diam sangat ketakutan.
Dia hanya diam, sampai akhirnya bersuara. "Harusnya Mama membiarkan kalian menjadi aktor, bukan pebisnis," ucapnya menyesal. "Tapi Indra harus tetap di asingkan," lanjutnya tegas.
"Ma," ucap Ragil memelas. "Tolong ampuni Indra, kita sudah lakukan apa yang Mama perintahkan," lanjutnya memohon.
Nenek hanya diam, detak jam berbunyi pelan menandakan waktu masih berputar. Duduk santai menatap mereka berdua. "Itu saja tidak cukup," balasnya dingin.
"Ma, maafin Indra jangan kirim dia ke pengasingan," isak Dita sambil menangis.
"Ma, ini kesalahanku," ucap Ragil lirih. "Aku tidak bisa mendidik putraku dengan benar, tolong beri Indra kesempatan," lanjutnya memohon.
"Banyak kesempatan telah di berikan," balas nenek sambil menatap putra sulungnya. "Mama kecewa, perbuatan Indra sudah sangat keterlaluan," ucapnya tegas, garis-garis kesedihan terukir jelas di wajahnya yang berkerut.
"Ma, tapi dia masih muda," ucap Ragil beralasan. "Dia bisa berubah, ini bukan kesalahan fatal," lanjutnya sambil berlutut, memohon untuk sang putra tercinta. "Ma, aku dulu juga pernah salah dan mau berubah," ucapnya penuh permohonan.
"Ma, aku akan pastikan Indra akan berubah," ucap Dita ikut berlutut. "Ini juga kesalahanku, hukum kami saja," lanjutnya tidak tega bila putranya terbuang.
"Ragil, kamu tau kesalahan terbesar Indra sampai harus di asingkan? Atau mungkin Dita yang merestui langkahnya?" tanya nenek sambil menatap dalam mereka berdua.
Ragil langsung menatap istrinya. "Kenapa?" bertanya ke istrinya yang menggelengkan kepala, mereka sama sekali tidak tahu menahu apa yang terjadi di Bali.
Dia mengalihkan pandangan ke nenek yang terus menatapnya. "Apa Ma? Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk ini hanya kenakalan biasa," ucapnya.
"Hhmm," nenek menghembuskan napas panjang. "Apa yang Hendro dan Linda lakukan untuk kalian selama ini?" bertanya sambil menatap putranya.
Ragil menunduk, terbayang di matanya apa yang di lakukan mereka selama ini. "Mereka selalu membela kami, memberikan banyak kesempatan untuk kami maju," jawabnya jujur.
Nenek mengangguk-angguk. "Hendro juga selalu menutupi jejakmu, mencukupi semua kebutuhan kalian di belakang Mama," ucapnya menatap mereka berdua yang menunduk.
Ketegasan nenek kepada penerusnya memang tidak biasa. Membuat mereka bersaing satu sama lain, tapi tidak satupun dari mereka berani melakukan hal di luar batas. Semua hanya hanya sebatas ucapan, ada ikatan yang selalu mereka jaga.
"Apa yang kalian lakukan saat Hendro dan Ajeng di kirim ke perternakan?" tanya nenek kesal.
Ragil memejamkan mata. "Hendro adikku," jawabnya lirih sambil membuka matanya. "Aku menjual salah satu rumah serta tanah hadiah dari Mama, dan memberikan seluruh uangnya untuk mereka," ucapnya tanpa penyesalan.
Dia menatap jauh ke depan, terbayang saat melihat adiknya sedang membersihkan kandang. "Aku tidak akan membiarkannya hidup susah," ucapnya tanpa ragu. "Harta tidak bisa membeli keluargaku, aku sudah meminta Ali membuat surat membagi dua warisan Mama," lanjutnya tegas.
Nenek tersenyum dingin. "Hendro juga akan melakukan itu kepadamu," balasnya, sangat tahu apa yang akan di lakukan ke dua putranya. Semua tersembunyi dengan sempurna di balik sikap mereka yang terlihat acuh satu sama lain.
"Ma, itu kesalahan kami menjual rumah dan tanah tanpa ijin Mama," ucap Dita membela suaminya. "Bagai manapun juga mereka keluarga kami, Jangan sangkut pautkan keputusan kami dengan Indra," lanjutnya sambil menggenggam tangan suaminya.
"Apakah kalian tau, Indra mengirim orang untuk membunuh Linda saat di Bali," balas nenek sangat kecewa. "Bisa saja itu atas permintaan kalian," ucapnya curiga.
"Hahh!" seru Ragil tersentak. Matanya terbelalak, dan mulutnya sampai terbuka lebar. Terkejut, bagai melihat hantu di siang bolong. "Indra mau membunuh Linda," ucapnya lirih. Sesuatu yang tidak terbayang olehnya. "Mah, aku yang menggendong Ajeng saat dia akan melahirkan Linda," ucapnya sambil menatap nanar.
Keterkejutan seperti tidak hilang dari wajahnya. "Dia lahir di tanganku dan Dita, saat kita dalam perjalan ke rumah sakit," ucapnya lirih, teringat saat itu adiknya sedang berada di luar kota. "Apapun yang dia lakukan, tangan ini tidak akan mampu menyakitinya," lanjutnya sungguh-sungguh.
Dita memegangi dadanya, jantungnya seakan berhenti berdetak. "I in indra mau membunuh Linda," gumamnya tidak percaya. Linda dan kakaknya besar di gendongannya, bayi kecil yang bersemayam di hatinya. Seperti Indra yang besar di gendongan Ajeng dan Hendro.
"Mama juga tidak menyangka Indra sampai begitu, Ranti lah otak di belakang semua ini," balas nenek sambil menarik napas dalam. Menatap mereka berdua yang kembali terkejut.
Dita tersentak, sampai memegang sofa di belakangnya karena hampir terjatuh. "Ra Ranti?" ucapnya penuh tanya, menatap suaminya yang tersandar lemas di badan sofa.
"Kalian sudah melihat bagai mana dia berakting," ucap nenek sambil menatap mereka berdua. "Mama sudah mengawasinya sejak lama," lanjutnya mulai bercerita.
Ragil terbelalak, mendengar kejadian di hotel. Saling menatap dengan istrinya yang terlihat sangat kecewa. Suara nenek bagai membuka mata mereka, selama ini tertipu dengan sikap Ranti yang manis. "Ranti otak semua ini," gumamnya.
Terbayang di kepalanya saat tergesa-gesa datang ke apartemen. "Indraaa!" serunya saat masuk kamar. Melihat Indra sedang di periksa oleh dokter keluarga. "Indraaaa!" jeritnya histeris.
Ali langsung memeganginya. "Pak Indra hanya pingsan," ucapnya menenangkan, menatap Ragil yang terlihat panik.
Ragil melihat dua orang wanita juga ada di situ, duduk diam ketakutan. "Kalian siapa!" bentaknya meradang marah.
"Pak, Ibu menunggu di ruang sebelah," ucap Ali menenangkan. "Pak Indra hanya pingsan, kami akan mengurusnya," lanjutnya sopan.
"Hhhhmmmm," Ragil langsung menarik napas dalam, melangkah gontai menuju ruang sebelah.
Saat ini dia baru mengerti. "Jadi ini alasan Mama meminta aku dan Dita bersandiwara," ucapnya melihat nenek mengangguk membenarkan.
"Mama sengaja membiarkan mereka terus bersama," balas nenek, padahal mudah saja baginya menyingkirkan Ranti. "Mama ingin Indra mendapatkan pelajaran yang berharga, begitu juga dengan kalian," ucapnya sambil menatap penuh kasih sayang.
Ragil haru, tidak menyangka hal ini. "Terimakasih, Ma," balasnya lirih, ternyata nenek sangat perhatian kepada mereka.
"Motif yang dia lakukan ke Indra, sama seperti yang dia lakukan ke Rudy," cerita nenek sambil mendengus pelan. "Seperti suami Ayang, tidak bisa meninggalkan mantan pacarnya." ucapnya mengingat cucunya yang telah tiada. "Ranti juga tidak bisa meninggalkan Loji," lanjutnya sambil memberi kode ke Ali.
Cerita nenek bagai potongan puzzle yang terhampar di kepala Ragil, tidak habis pikir bagai mana putranya bisa melakukan hal itu.
"Silahkan Pak Ragil," ucap Ali, meletakan beberapa lembar foto serta bukti lain di meja. "Ini Agung, orang yang kami utus untuk mendekati Ranti," lanjutnya, mulai bercerita tentang apa yang terjadi. "Setelah ke jadian di hotel, Ranti selalu kami ikuti."
Dita langsung meraih foto tersebut. "Keparat," gumanya meradang, mengetahui putra tercintanya hanya di jadikan boneka mainan.
Tatapan Ragil terlihat nanar, mendengarkan setiap kata yang terasa menyakitkan. Semua potongan puzzle di kepalanya perlahan mulai tersusun jelas. Cemburu adalah pemicunya dan harta menjadi hadiah utama.
"Rudy sengaja menjerumuskan Indra, dia ingin menyelamatkan bisnisnya," ucap Ali bercerita tentang bagaimana sikap Indra mulai berubah. "Dia yang mengajarkan Indra cara-cara kotor," lanjutnya menceritakan apa yang terjadi. "Kami biarkan eksekusi Rudy terlaksana, menjaga Pak Indra tidak semakin liar," ucapnya, menjelaskan kenapa membiarkan rencana Ranti berjalan.
Ragil bersandar lemas di sofa, mendengar bagai mana putranya di manipulasi oleh Rudy dan Ranti. Terdiam menggelengkan kepala melihat perjanjian kerja sama yang di taruh oleh Ali di meja. "Sungguh tidak di sangka," pikirnya.
Kelam menyelimuti wajahnya, seperti awan gelap yang menyelimuti siang yang terang. "Ranti," gumamnya penuh dendam. Mendengarkan bagaimana menantunya menyusun semua ini. Tangannya mengepal erat, mendengar rencana Ranti untuk Linda.
"Ranti licik, dan sadis," ucap nenek sampai menyipitkan mata, tidak menyangka hal itu. "Tapi dia terlalu serakah, dan labil," lanjutnya bersama sebuah senyum yang tersungging. Dia mengangguk ke Ali agar meneruskan ceritanya.
"Kami membuat asuransi palsu untuk Pak Indra," ucap Ali menatap Ragil yang mengernyitkan dahi. "Saat mengurus dokumen, kami sengaja memasukan dokumen palsu tersebut karena Pak Indra tidak akan membacanya." Bercerita tentang umpan yang mereka lemparkan.
Dia menatap Ragil yang mendengarkan dengan seksama. "Seperti yang Ibu perkirakan, dia akan langsung memakan umpan tersebut karena lebih mudah untuk mendapatkannya," ucapnya bercerita. "Uang besar membuatnya tidak bisa berpikir panjang," lanjutnya sambil menatap Ragil dan Dita yang mengangguk mengerti.
Ragil mencoba mengingat sikap menantunya selama ini. "Ada dua kepribadian dalam dirinya," balasnya mengerti. "Itu yang membuatnya bisa berperan sangat baik," desisnya sambil mengepalkan tangan, seakan sedang melumat menantunya.
"Hhhmmm," dia menghembuskan napas panjang, semua jadi sangat jelas di matanya.
"Sekarang kamu sudah tau siapa menantumu," ucap nenek sambil menatap wajah putranya.