Manisnya Rasa Hangatnya Cinta

Alfath Abhim
Chapter #1

Bawang Putih yang Malang

“Semuanya, perkenalkan, ini Bastian, calon tunangan aku.”

Suara adik tiriku yang halus dan merdu itu terdengar bagaikan guntur yang paling menggelegar, mengantarkan perasaan terkejut luar biasa hingga akhirnya menjadi muak dan marah.

Pria tinggi itu, yang menebar senyum dan bersikap sopan di hadapan semua orang, merupakan pria yang beberapa bulan terakhir ini kerap menghubungiku, mengajak jalan dan berbelanja, juga bertanya mengenai pernikahan impian.

Bagaimana bisa dia mendekati kakaknya namun malah berniat untuk melamar adiknya?

“Tunggu, ini Bastian yang di restoran tempat Cindy bekerja kan?” Bapak tampak tertarik dan bahkan sampai mencondongkan tubuh ke arah pria itu, Ibu melirik sekilas padaku dengan tatapan sinis.

Ibu pasti menertawakan aku yang lagi-lagi kalah dari Cindy, putri kandungnya yang selalu dibanggakan oleh semua orang. Sedangkan aku, hanyalah putri dari seorang istri siri, yang saat ini menghilang entah ke mana.

“Benar, Pak Harun, saya manager di restoran Gangnam House.”

Aku memalingkan wajah ke arah lain, muak sekali rasanya karena lagi-lagi harus kalah dari si anak manja. Ini bukan kali pertama, di mana para pria mendekatiku dengan tujuan supaya lebih mudah untuk PDKT dengan Cindy.

Tak ingin berlarut-larut menjadi sosok yang menyedihkan, aku segera beranjak dari ruang tamu. Tujuan Cindy dan Bastian adalah Bapak dan Ibu untuk membicarakan perihal acara lamaran itu, kehadiranku tidak berarti bagi mereka.

“Tata, mau ke mana?” Ibu menegurku dengan senyum yang anggun, namun aku tahu sorot matanya menyimpan marah.

“Cari angin sebentar,” sahutku asal, lalu melangkah dengan lebar ke luar rumah.

Di depan garasi, mobil Bastian terparkir manis, aku langsung menendang-nendang ban mobil itu sampai ujung kaki terasa sakit. Jika bisa, aku ingin menendang pemiliknya sekalian, supaya dendam yang mengendap di dalam perutku langsung habis.

“Sitta, tunggu!”

Suara Bastian membuatku terlonjak kaget, aku tak ingin ketahuan telah bersikap kekanakan karena patah hati olehnya.

Aku berbalik dengan anggun, tak lupa memasang wajah datar supaya terkesan tidak peduli.

“Apa?” tanyaku dengan ketus, lalu melirik arloji untuk menegaskan bahwa waktuku amat berharga untuk meladeni basa-basi dari pria itu.

“Terima kasih sudah menemaniku selama ini…” Bastian berdiri dengan tegap, senyum di bibirnya tak kunjung luntur ketika menatap wajahku.

“Aku harap, kamu bisa segera mendapatkan pendamping hidup. Aku berdoa supaya kamu bisa mendapatkan pria yang mampu mengimbangi kamu dengan baik dan—"

“Sudah cukup basa-basinya?” potongku dengan mata menyipit. “Sebaiknya, kamu urus lagi acara pertunangan kalian yang sangat penting itu!”

***

“Hah? Si Bastian mau lamar adik tiri kamu?” Dara menggebrak meja ketika aku menjelaskan masalah yang tengah aku hadapi. “Kok bisa sih?”

Lihat selengkapnya