“Sitta, tunggu sebentar!” Bastian berteriak ketika dia akan masuk ke dalam mobil, aku mengabaikan pria itu dan semakin mempercepat langkah menuju pintu rumah.
“Sitta, tolong dengarkan aku dulu.” Bastian berhasil meraih pergelangan tanganku yang segera aku hempaskan dengan kasar, aku tidak ingin orang rumah melihat dan salah paham.
“Lepas.” Aku mendesis dengan gigi yang terkatup, sekuat tenaga menahan emosi supaya tidak berteriak atau memukul wajah menyebalkan itu.
Bastian memang melepaskaan pergelangan tanganku, namun tubuh tingginya menghalangi jalan sehingga aku tertahan di dekat pintu pagar.
“Tadinya, aku ingin meminta maaf karena sudah memberikan harapan kepadamu tapi malah berakhir dengan Cindy. Namun, melihat tingkahmu yang sombong seperti ini, aku hanya dapat bersyukur karena telah terlepas dari perempuan arogan dan dingin sepertimu.”
Aku tertawa seraya menengadah, muak sekali rasanya mendengar ucapan pria itu.
“Ya, kamu memang harus memilih Cindy, karena dia lebih cantik dan berperangai baik.” Aku mengangkat bahu dengan ringan. “Kejadian kayak gini udah sering aku alami kok, jadi udah nggak aneh lagi.”
Bastian menggeleng pelan, seolah tidak setuju dengan apa yang aku ungkapkan. Namun, apapun penilaian pria itu, sekarang sudah tidak ada artinya, toh dia tetap akan melamar Cindy.
“Sebenarnya, kamu lebih cantik dan asyik dari pada Cindy, kamu hanya terlalu dingin dan ogah-ogahan dalam menjalani sebuah hubungan dengan pria. Selama tiga bulan ini, apa kamu pernah menjawab pertanyaan dariku?”
Oh, aku ingat hari itu, ketika aku dan Bastian duduk di tepi danau yang sepi, lalu pria itu bertanya seraya menggenggam kedua tangaku, “Kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Sungguh, untuk usiaku yang rata-rata sudah menikah dan mempunyai—minimal—satu anak, pantaskan pertanyaan yang seperti itu?
Aku tidak pernah menjawabnya, karena mengira bahwa hubungan kami memang cukup nyata untuk dikatakan serius.