“Hei, kamu tidak apa-apa?”
Suara itu memaksaku untuk membuka mata. Ternyata aku tidak terabrak dan mati, si pengendara berhasil menarik rem sebelum motornya menyentuh tubuhku.
“Lho, Sitta? Sedang apa kamu berjongkok di sini?” tanya pengendara itu.
Aku mengerjap dan memfokuskan pandangan, merasa heran karena pria itu mengetahui namaku.
“Ah, Mas Ibra?”
Aku terkejut dan tak menyangka, pria yang hampir menabrak tubuhku adalah pemilik restoran Gangnam House, restoran bertema Korea yang selama ini menjadi tempat aku bekerja.
“Kamu tidak terluka?” tanya pria itu seraya meraih pergelangan tanganku. “Ayo bangun.”
Aku berdiri dengan tegap, kemudian menepuk celana bagian belakang untuk menghilangkan debu dan perasaan malu.
Ibra jarang terlihat ketika di restoran kecuali jika ada acara penting, aku merasa sial karena bertemu dengannya dalam keadaan yang menyedihkan seperti ini.
“Sitta, telapak tanganmu berdarah!” seru Ibra seraya meraih kedua tanganku, ada bercak merah di sana tapi aku tidak merasa perih atau sakit sama sekali.
“Kita ke rumah sakit sekarang,” ujar Ibra seraya mencoba untuk memapahku, aku langsung berkelit karena mulai menyadari dari mana darah itu berasal.
“Hngg… aku tidak apa-apa, Mas. Kita tidak perlu ke rumah sakit karena ini hanya—”
“Ya Tuhan! Di celanamu lebih banyak lagi!” Ibra memutar tubuhku sehingga kini celana bagian belakang yang sedikit basah terlihat sepenuhnya oleh pria itu.
“Jangan, Mas! Tolong!” pintaku setengah menjerit.
Alih-alih mendengar permohonanku, Ibra langsung mengangkat tubuhku menuju motornya yang tinggi. Aku terkejut dan belum sempat berbuat apa-apa, tapi pria itu sudah menggunakan helmnya kembali.
“Bukan apa-apa gimana, Sitta. Kamu terserempet dan jatuh sampai berdarah begitu, kalau keguguran bagaimana?”