“Nah, Sitta, coba baju ini!” aku dihadapkan pada dua gaun pendek berwarna hitam tanpa lengan, bola mataku hampir menggelinding melihat pakaian itu.
“Nyonya, apakah tidak ada baju kaos dan celana denim saja?” tanyaku sambil meringis, aku tidak ingin ketiakku terkena angin tumisan sambal gochujang, pasti panas dan pedih sekali.
“Panggil saya Miara,” pinta wanita itu.
“Kenapa kamu tidak mau pakai baju ini? Padahal sangat cocok untuk kulitmu yang putih bersih!” Bu Miara mengibarkan pakaian itu di depan wajahku dengan mata yang berbinar.
Aku memandangi kain hitam itu dengan ngeri, tak terbayang bagaimana jika aku menggunakannya di dapur yang sibuk oleh menu pedas yang meletup-letup di atas wajan.
“Tapi, aku bekerja sebagai tukang masak, Bu Miara. Baju ini tidak melindungi tubuhku dari cipratan minyak.” Aku mencari alasan lain yang lebih masuk akal dan dapat dimengerti.
Mendengar profesiku, binar di mata Bu Miara semakin menyilaukan. Wanita itu duduk dengan tergesa di sampingku, kemudian menggenggam kedua tanganku seolah aku adalah penyelamat seorang musafir di gurun sahara.
“Kamu seorang Chef? Wah, kapan-kapan saya harus mencicipi masakanmu!”
Wanita paruh baya itu malah salah fokus dan terus-terusan membahas mengenai masakan favoritnya, beliau lupa pada pakaianku yang basah dan kotor yang mungkin akan meninggalkan jejak noda pada sofa putihnya yang terlihat mahal.
“Berjanjilah untuk membuatkan sesuatu yang spesial untuk saya,” pinta Bu Miara. “Setelah itu, kamu boleh pilih sendiri baju yang ada di lemari anak perempuan saya.”
Aku mengangguk kencang, kemudian menuruti kemauan aneh orang kaya untuk membuatkan beliau menu spesial—yang masih belum aku ketahui apa jenisnya.
Setelah mendengar janji manis itu, Bu Miara menggiringku menuju walk in closet yang terdapat di lantai dua, aku merasa seperti tengah berada di butik mewah saking banyaknya pakaian dan segala jenis sepatu beserta tas yang sangat lengkap.
“Ini khusus untuk pakaian casual. Coba kamu pilih sendiri, siapa tahu ada yang cocok.” Bu Miara membuka satu pintu lemari dan membiarkan aku untuk mengobrak-abriknya.
Sungguh, meskipun terlihat sederhana, baju-baju ini membawa merk yang harga satuannya bisa setara dengan satu toko baju yang biasa aku beli.
Untuk biaya mencucinya saja sangat mahal, tanganku urung mengambil salah satu kaos berlengan panjang yang sangat imut karena khawatir malah akan merusaknya.