“Kimchi saus putih?” tanyaku dengan alis berkerut, aku tidak pernah mendengar makanan itu sebelumnya.
Ibra mengangguk ringan, kemudian membuka wadah putih yang sejak tadi berada di hadapannya.
“Ini memang menu baru, di Korea pun tidak terlalu banyak orang yang tahu karena tidak lazim.” Ibra menyahut seraya mengangguk-angguk, mungkin merasa puas pada hasil kreasinya yang tampak lezat itu.
“Tolong aduk ini sekali lagi, Sitta,” pinta Ibra seraya memakai sarung tangan.
Selama beberapa saat, kedua tangan kami sibuk mengaduk kimchi dalam wadah yang sama, menyilang ke kanan dan kiri sampai beberapa kali saling bersentuhan tanpa sengaja.
“Selesai,” ujar Ibra seraya mengambil satu lembar sawi yang sudah terbaluri oleh bumbu. “Cobalah dan berikan komentar.”
Ibra membawa kimchi itu ke dekat mulutku, aku bingung apakah harus menerima suapan itu atau mengambilnya menggunakan tanganku sendiri.
Karena Ibra sudah mengangkat kedua alis, aku segera melahap menu baru itu dengan canggung, sambil berharap tidak ada yang benar-benar memperhatikan kami.
“Gimana?” ekspresi Ibra persis seperti anak kecil yang meminta penilaian atas tugas pertamanya.
Aku mengangguk seraya menutupi bibir menggunakan sebelah tangan.
“Kombinasi ini cocok, hanya saja… kurang pedas?”
Sebelum Ibra protes karena resepnya dikomentari oleh anak bawang sepertiku, aku segera melakukan penjelasan.
“Jika target konsumennya adalah orang Korea asli, mungkin ini sudah cukup. Akan tetapi, tetangga dan netizen kita memiliki selera yang lebih pedas dari ini.”
Ibra menanggapi penjelasanku dengan senyum, yang lagi-lagi membuat jiwa jombloku meronta-ronta.
“Aku tidak mengerti mengapa orang-orang gemar sekali membakar lidahnya sendiri,” sahut Ibra dengan kepala menggeleng, aku hanya mengangkat bahu dan memindahkan kimchi itu pada wadah yang lebih kecil.
Melalui ekor mata, aku melihat Ibra sudah membuka sarung tangannya, dia berdiri di belakang tubuhku dan membantu membetulkan ikatan rambutku yang sedikit melonggar karena sejak tadi berlarian.
Selama beberapa saat, napasku serasa tertahan di kerongkongan, aku tidak bisa berhenti menghirup aroma almond lembut yang menguar dari pria itu.
“Jangan sampai ada rambut yang jatuh ke makanan, Sitta,” ujar Ibra setelah berdiri lagi di sampingku.
“Maaf.” Aku menunduk dan mempercepat pekerjaan, sampel kimchi itu rencananya akan dibagikan kepada seluruh staf restoran.
“Mas, sudah ada calon koki baru pengganti Chef Lee?” tanyaku untuk mencairkan suasana canggung yang sepertinya hanya dirasakan oleh diriku sendiri.
Ibra mengangkat wajah dan memandangku dengan lekat, aku sampai memperhatikan penampilan sendiri karena khawatir ada yang salah.
“Kamu keberatan mengisi posisi ini?” Ibra malah balas bertanya, aku menggeleng dengan ragu.
***