Mansheviora: Semesta Alternatif

Miftachul Arifin
Chapter #5

Gadis Kecil Air Tawar #2

Airi memunguti keong-keong emas dari balik pangkal-pangkal tetumbuhan padi tempo hari. Kau tak sengaja tertarik memerhatikannya, padahal kau sedang bergegas mengejar matahari terbenam. Dan kau tahu akan seperti apa nanti jika tetap mengamati gadis kecil itu. Meski begitu, benakmu membisiki ketakmungkinan berpaling dari kegiatannya. Sekalipun cahaya meredup di ufuk barat, sekalipun angin jadi agak penat dan menyesakkan, sekalipun lukisanmu lagi-lagi tak tuntas, tertangguhkan. Lagi-lagi gadis itu meresapkan hasrat penasaran kepadamu.

Dirimu mulai bergolak putus asa. Memandang Sang Surya tanpa daya, menghitung waktu demi waktumu berlalu sia-sia. Lukisanmu tetap begitu saja. Kau ingin duduk saja di sana, merenungkan nasib pada siput-siput sawah. Rasanya menunggu satu hari lagi demi matahari terbenam bukan lagi sesuatu yang menggairahkan. Rasanya ingin kau sudahi saja segala upaya, sampai perhatianmu tercuri kembali oleh si Gadis Kecil. Ia mau beranjak pergi, tetapi sepertinya ia juga berjalan menghampirimu.

Kebetulan, cetusmu dalam hati. Daripada seluruh upayamu sia-sia, daripada uang sewa kamarmu mengalir berpindah kantong percuma, daripada hari-harimu di desa itu berlalu begitu saja, mengapa tak sebaiknya kau menegur-sapa..?

Mulanya kau kira ia pasti berpura-pura. Zona khayalmu menebar imaji-imaji tak logis. Nalarmu bercampur dengan nalurimu. Hingga kau simpulkan gadis itu pasti jelmaan siluman penguasa Air. Atau, bisa saja ia ternyata adalah nenek-nenek tua penunggu sawah, yang merasa kasihan melihat anak-cucunya kesusahan bertani. Antara nenek tua, jelmaan siluman ular, katak, tikus, belalang, ulat, atau entah apa saja, tak mungkin ia sungguh-sungguh gadis biasa.

Namun, wajahnya bagai tak berbohong. Kau melihat ketenangan Air, kejernihan Mata Air di sana. Di seluruh gerak laku, di setiap napas getar suaranya.

“Ada banyak cacat di kakiku, Kak,” ucapnya kepadamu.

Kau bergeming. Memandanginya dari atas ke bawah, seakan sulit memercayai ia sedang berdiri beberapa jengkal dari tempat dudukmu, di depanmu.

“Aku harus rutin mencari keong emas sambil memasukkan kaki-kakiku ke dalam lumpur,” katanya lagi kepadamu.

Kenapa sepertinya ia begitu mengenalmu. Bahkan kau hanya berjumpa dengannya beberapa kali. Tak terlalu sering sampai kau sendiri mengenalnya. Itu pun tanpa sengaja, dan atas dasar rasa penasaran.

“Lalu mau kamu apakan keong-keong itu?” tanyamu tanpa sadar menyambut percakapannya. Kau seperti merasa punya ikatan dengannya. Kau ingin menunjukkan perhatianmu pada keluh-kesahnya. Sebab gadis kecil itu rupanya mengingatkanmu kepada adik perempuanmu di rumah. Saudarimu satu-satunya, yang kau tinggalkan bersama paman dan bibinya di belahan lain sebuah pulau yang sama. Barangkali, rindumu kepadanyalah penyebab kepedulianmu terhadap si Gadis Kecil..?

Ia mendekat dan mengarahkan bungkusan kain kelabu ke hadapanmu. Bungkusan yang menyimpan keong-keong tangkapannya seharian. Membungkus sekotak plastik tembus pandang dengan tutup berlubang-lubang. Hanya ada itu di dalam bungkusannya.

“Aku memeliharanya, Kak,” jawabnya pada rasa penasaranmu di atas lubang-lubang tempat keong-keong emas berkumpul.

Lihat selengkapnya