Mansheviora: Semesta Alternatif

Miftachul Arifin
Chapter #6

Gadis Kecil Air Tawar #3

Malam memang benar-benar telah tiba. Kau masih menatap gadis kecil itu dengan rasa iba. Walau sedari tadi pun kau tahu tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.

Sesosok gadis kecil yang manis dan luar biasa ramah, tetapi juga sekaligus luar biasa sulit didekati. Kini kau terpikir oleh sesuatu, rupanya, jadi orang ramah itu bisa membuat lingkungan sekitar ingin selalu berada di dekatmu. Terlebih, manakala mereka tahu sejauh apa penderitaanmu. Tetapi dengan catatan, jangan sengaja memamerkannya.

Sekarang, kau sadar kau punya tujuan lain di desa itu. Sisi lain dirimu memunculkan rasa kemanusiaan yang bergolak dari dalam lubuk terdalam hati. Membuatmu bergeming sama sekali menatap sisa-sisa bayangan dan jejak kaki Airi. Tebersit seketika –bukan semata-mata disebabkan oleh ego yang membabi-buta—untuk menjadikan Airi sosok pengisi kekosongan di kanvasmu. Tetapi akan sangat tak tahu diri manakala kau hanya memanfaatkannya saja kemudian.

Kau harus menuntaskan ini malam ini juga. Setidaknya, sampai kau tahu di mana ia tinggal dan bagaimana keadaannya di sana.

***

Langkah kakimu melesat mengitari jalanan desa. Menerabas parit-parit kecil, melompati gunduk-gundukan jerami kering. Berupaya secepat yang kau bisa agar sampai di kamarmu, mengambil senter, teropong, dan air minum.

Jalanan desa begitu gelap ketika berjalan di tengah-tengahnya tanpa pakai sumber cahaya. Apalagi jika kau berlari. Seperti melaju di dalam hutan malam-malam buta, gelap gulita, tanpa sinar bulan. Terlebih desa itu, bisa dibilang masih tertinggal daripada desa-desa berporos agraris lain. Rumah-rumah berdinding bilik bambu, berlantai tanah padat, kendi-kendi air dari tanah liat di sudut teras rumah, dan tiada pagar. Nyaris kau tak bisa membedakan antara rumah dan lumbung. Hanya dengan diletakkannya lesung-lesung batu, kau bisa membedakan. Tentu saja, seperti yang juga kau bayangkan, rumah-rumah di sepenjuru desa ialah rumah-rumah bergaya adat Jawa-Joglo. Ujung atap di teras yang begitu rendah, halaman luas, dan bentuk atap mirip tudung saji. Bahkan kau bisa dengan mudah menemukan pendopo di tengah-tengah desa. Masyarakatnya pun lebih banyak menggunakan bambu-bambu dan papan balok kayu sebagai bahan bangunan. Kecuali sejumlah rumah dengan kamar sewaan –termasuk kamarmu sekarang, semuanya berbahan sama. Sebab memang bangunan semacam itu sengaja dibangun dan disewakan untuk para wisatawan. Walau sebetulnya, dengan kondisi tak jauh lebih baik dari rumah penduduk biasa.

Sejujurnya, kau pun tak mengetahui ke arah mana jalan menuju rumah Airi. Kau hanya kembali ke tampat kalian terakhir bertemu dan berpisah, lalu mencari-cari jalan sendiri menuruti hati nurani seraya berharap begitu dalam, bahwa bulatnya rasa penasaranmu bisa membantu merasakan keberadaan si Gadis Kecil. Rasa Penasaran yang lebih dalam dibanding ketika tempo hari kau tahu ia melebarkan kubangan lumpur untuk seekor Kerbau-pembajak-sawah.

Malam yang bergulir begitu pelan kini malah membuatmu merasa kelelahan. Jarum jam di pergelangan tangan kiri bahkan memberi tahu waktu baru bergulir tak lebih dari setengah jam, sejak kau putuskan memulai pencarian. Tetapi jari-jari kaki di ujung sendal jepitmu sudah cukup kesusahan meluruskan diri, atau bermekaran. Sepertinya, mereka ingin kau untuk berhenti sejenak. Mungkin, sekadar untuk duduk berselanjar kaki. Mengistirahatkan diri dari pencarian paling tak masuk akal dalam hidup. Kau hanya merasa, bahwa Airi tentu tinggal di sebuah tempat paling tertinggal di antara seluruh rumah yang ada. Bisa jadi ia tinggal di ujung atau pinggiran desa. Entah akan berwujud seperti apa, langkah sepasang kakimu tak bisa berhenti begitu saja. Beribu maaf –ucapmu dalam hati, dengan rasa menyesal yang teramat dalam kepada tubuhmu sendiri, kepada sepasang kakimu– kau tak bisa tenang sebelum mencapai tujuanmu. Sekarang, atau tak selamanya.

***

Setitik cahaya kuning redup berkedip dari kejauhan. Jauh masuk ke dalam semak belukar, rumput ilalang dan tetumbuhan liar di sebelah kirimu. Barangkali, cahaya itu tak benar-benar berada di sebelah kirimu. Mungkin tepat di depan, atau agak serong, atau melewati jalanan berkelok-kelok. Banyak kelok.

Pikirmu itu pasti rumah Airi. Logikamu langsung bermain di sini. Padahal tanpa kau sadari, gadis kecil yang kau cari sama sekali hidup melawan logika sederhana seorang manusia biasa. Degup jantungmu berdebar dan merasa bahwa sumber cahaya kuning itu pasti sebuah lampu minyak di salah satu sudut rumah berdinding bilik bambu. Sebuah api kecil yang meliuk-liuk, menarik langkah kakimu ke sana. Mendekat.

Bagaimana mungkin seorang manusia dengan logika berpikir biasa, bahkan merasa sudah menemukan jalan yang benar hanya berbekal keyakinan pada sepucuk api dari sebuah lampu minyak? Sungguh mustahil, gumammu. Lebih tepatnya, gumam sepasang kakimu. Tapi mana kau peduli?! Adalah hakmu untuk membawa sepasang kakimu tetap melangkah.

Langkah kakimu bergemeletak seiring jalanan yang mulai berisi batu-batu kerikil, tersebar tak merata terinjak-injak kaki manusia. Ada daya upaya luar biasa dari sisa tenagamu agar mampu mencapai sesuatu yang menurutmu rumah si Gadis Kecil sebelum persendianmu menderita cedera. Air minum telah habis, senter meredup, berkedip, kembang-kempis bersamaan dengan napas tak beraturanmu. Hingga kau lupa bahwa masih ada teropong malam di sudut paling dasar di dalam tas. Tetapi bahkan kau tak sesekali pun melepas tas dari punggungmu.

Meski bagimu kau telah menempuh ratusan meter mengejar setitik cahaya kuning, pemandangan yang kau dapat hanyalah masih tak seberapa. Rasamu kau sudah berjalan begitu jauh, tetapi pada kenyataannya separuh jalan pun belum tercapai. Apa memang seberat ini, menuntaskan rasa penasaran terhadap keanehan seorang gadis kecil asing di sebuah desa tertinggal? Kau tak pernah ada habisnya berpikir. Bahkan sampai batas kemampuan menjaga kesadaran diri di tengah tanah lapang bertetumbuhan liar tanpa ada penerangan dari mana pun, kau masih berharap bisa mendapatkan keajaiban. Persoalan lumrah bagi siapa saja yang telah berada di antara ambang batas kesadaran dan ketidaksadaran. Hanya tampak bayang-bayang kehitaman di pelupuk sepasang matamu kemudian, yang mendekat dari arah setitik cahaya kuning. Kau pasrah saja sekarang. Mau siapa pun dan apa pun itu, dayamu telah selesai malam itu.

***

“Kak?”

Suara seorang anak kecil ... perempuan ... barangkali seorang gadis.

“Kak??”

Terdengar lagi ... begitu merdu merasuk di telingamu. Begitu hangat dan menenangkan.

Tapi siapa?? Tanyamu penasaran. Lalu kau membuka mata perlahan. Ingin rasanya terperanjat seketika tahu siapa yang sedang duduk sambil memegang lengan tangan kirimu.

Rambut yang masih sama ... Kulit, hidung, mata, air muka, semua fisiknya masih sama. Kau mulai tenang kembali ... Terpejam sesaat, dan menatap ia sekali lagi.

“Apa Kakak baik-baik saja? Mengapa tadi ada di tengah jalan malam-malam begini?”

Suara itu ... keramahan ini ... kau sungguh merasakan kerinduan yang teramat dalam sekarang.

Lihat selengkapnya