Sejak dari ratusan tahun lampau sampai kini hasil daya cipta artistik manusia negeri ini telah diboyong ke negeri-negeri lain, kemudian diabadikan di monumen-monumen penting mereka. Koleksi tembaga, tenun, batik, patung batu dan kayu, ukiran kayu, kerajinan perak dan emas, merupakan koleksi-koleksi yang dibanggakan dan amat digemari. Ciri artistik manusia di negeri ini adalah yang paling menarik, memesonakan, dan merupakan sumber serta tumpuan harapan bagi hari depan setiap keturunan mereka. Dengan bakat artistik besar dan indah, daya kreatif menjadi kekuatan terbesar manusia negeri ini.
Kau berlari dengan gadis kecil itu menyusuri lereng yang lebih landai ke puncak bukit. Berada sekitar lima meter dari bibir sungai. Pepohonan tinggi menjulang berdiri saling merapat bagai tengah melindungi sesuatu dari sesuatu yang lain. Rerumputan di bawah mereka bergandengan, berbaris, berjajar bak menyambut lawan perang. Bunga-bunga mengatup. Kelopak menutup mahkota, mahkota memerisai benang sari, putik, dan bakal buah. Tangkai-tangkai kecil berputar saling melingkar di antara sesamanya, menguatkan diri. Retakan tanah merapat, susunan batu bersembunyi. Seluruh makhluk hidup dan tak hidup saling menyiapkan diri. Dan kita, para manusia, malah datang menghampiri, berdiri menantang marabahaya.
Baru kali ini bagimu menaiki bukit dengan cara berlari. Meski ketinggiannya tak seberapa. Namun, seorang pelukis sepertimu jelas bukanlah bagian dari para pencari kayu bakar di hutan yang naik-turun begitu mudahnya karena memang sudah terbiasa. Keuntungannya, kau sudah bisa lebih mudah mencari dukungan untuk objek lukismu selanjutnya, di sepanjang kaki bukit hingga di puncaknya. Seperti yang kau lihat saat ini.
“Sebuah tanah lapang yang luas.”
“Dan tandus,” tukas gadis kecil itu.
Namun, apa kau memang masih sempat terbayang akan sebuah lukisan bila sesaat lagi malapetaka tiba..? Apa kau masih bisa menggapai-gapai konsep dan sebuah gaya lukis jika dalam hitungan tak lebih dari sepuluh menit lagi bencana datang..? Apa kau masih sanggup bertahan merekam penampang alam di atas bukit ini manakala badai paceklik raksasa datang menggulung tanpa ampun setiap apa pun yang ada di bawahnya..?
Sepertinya tidak.
“Kurasa sudah cukup lengkap ceritaku tentang bagaimana wilayah ratusan hektar di kaki bukit ini begitu tergantung pada Air sungai,” Airi memotong lamunanku. “Ayah tidak mengharapkan ucapan terima kasih yang emosional.”
Kau juga, Dik … serupa ayahmu, tidak mengharapkan ucapan terima kasih yang emosional.
Ayahnya melihat kelobaan membibit di masing-masing mata tamak penduduk desa. Gadis kecil itu tahu seberapa besar kepedihan ayahnya harus melihat sendiri alam ini terkuliti oleh angin kering dan cuaca panas. Retak dan rusak di mana-mana.
Airi menggenggam erat-erat tanah di sekotak bekas tempat Mata Air di atas bukit. Sementara kau berada enam langkah di samping kirinya. Mineral bumi tersapu ombak bawah tanah. Dia membuka tanah dan mengangkat mantel bumi. Dia menariknya kuat-kuat dan tak berapa lama tanah di sekelilingnya basah.
“Tekanan yang sangat luar biasa hingga ke batas atom Air, menyebabkan hidrogen menjadi seperti besi cair,” katanya.
Kau melihatnya mulai mengempaskan tanah basah di bawahnya. Sorot matamu mengamati lekat-lekat, nyaris tak berkedip, ketika aliran Air mulai mengalir keluar dari tanah di bawah kedua kakinya. Air bawah tanah menyembur deras diikuti lumpur yang melesak naik. Benar-benar keajaiban asli. Kau melihat itu terbukti. Ia gali perasaan-perasaan cinta (terhadap siklus alami satu semesta) dengan kepiawaian yang belum ada tandingannya. Gadis kecil itu membawa keluar Mata Air baru untuk sungai.
“Kak! Jangan melamun di saat-saat genting seperti ini, kumohon!!”
“Eh, iya, ada yang harus segera kubantu?” tanyamu kelabakan, tetapi juga penuh semangat. Sebab secercah harapan baru kini tumbuh menghalau ancaman marabahaya.
“Sejujurnya ...”
“Kenapa? Ada apa? Apa masih ada yang kurang dari persiapan di bawah sana?” Kau masih cukup tenang menanggapinya. Walau tanda tanya mulai menelusup keluar dari balik bayang-bayang harapan.