Pejam matamu terbuka begitu saja. Sebuah dinding putih, bergaris biru warna langit di sebelah kiri. Lukisan-lukisan menghampar, berjajar di sebelah kanan. Pajangan-pajangan, gantungan-gantungan di seberang mata. Lampu tidur berkedip perlahan, warna kuning kemerahan. Cahaya mentari kuning cerah menembus menerobos masuk dari jendela di atas kepala.
Bagaimana tetiba kau bisa ada di sini? Apakah ini semacam alam lain dari duniamu? Tidak. Pasti bukan. Sebab kau lalu merasakan jantungmu berdetak. Nadimu berdenyut. Hidungmu kembang-kempis. Dadamu naik-turun. Ini pasti dunia nyata. Apa kau rupanya masih hidup?
Sekonyong-konyong kau melompat dari atas kasur darurat, berlari menyibak pintu terpal, menerobos kepungan orang-orang di sekeliling. Satu persatu celotehan mereka membisingkan kebingungan. Kau dikelilingi oleh orang-orang asing, yang mengejutkannya, mereka semua nyata. Isak tangis haru menyambut, tetapi bukan itu yang kau mau. Sesenggukan saling sahut-menyahut mengisi seluruh tanah menghampar, tetapi bukan itu juga yang kau cari. Kemana Airi? tanyamu dalam hati.
Betapa kau bisa selamat, tetapi dia justru tak ada. Kau butuh penjelasan pada kenyataan yang terbolak-balik dan mengepungmu. Tadinya kau menghadapi takdir kematian, dan ratusan keajaiban di dunia yang begitu primitif, tetapi sekarang kau benar-benar berada di duniamu kembali.
Napasmu masih tak beraturan di hamparan tanah lapang, ketika masih terkenang bukit Mata Air tawar tempatmu berpisah untuk waktu yang akan menjadi tarlampau lama. Terbayang di sepanjang kekuatan imajinasi dalam pikiranmu: semak-semak tanaman yang mengering menjadi cokelat dan ungu serta gunung-gunung bebercak putih, di balik bukit hijau. Suatu kerinduan yang hebat akan bukit-bukit itu melandanya: gunung-gunung mencuat ke atas dengan tajam dan agung, petak-petak ladang luas yang sudah menguning dan siap dipanen serta domba-domba menggendut dan berbulu lebat untuk menyambut musim dingin. Pepohonan Pinus, Klerek, Oliander, Damar, Juwet, Kayu Manis, dan Kayu Putih di lereng-lereng bukit, berdiri rapat di sekeliling lapangan.
Napasmu masih tak beraturan, ketika kau lalu teringat sekalimat terakhir yang memisahkanmu dengannya. Sekujur tubuhmu masih gemetaran, saat kau sadar pesan itu bukanlah pertanda hal biasa. Dengan bola mata terputar-putar, kelebatan suara-suara mulai jelas terdengar. Satu persatu kata tersusun. Pesan demi pesan terjelaskan. Menangkap tiap kali percakapanmu dengannya mengandung pesan tersirat tanpa kau sadari. Mencerna lebih dalam tiap butir makna dan arti. Mendengar ia menyebutmu si Pelukis Gila.
Kau dengar ia menanyakan soal adikmu di saat-saat terakhir sebelum badai menggulung. Mengingat berkata kepadanya bahwa kau masih tak rela meninggalkan adikmu. Kau ingat betapa kau masih ingin pulang dan memperbaiki keadaan. Adikmu sebelum ia. Yang punya segala ciri serupa. Selain tentu saja, kemampuan pengendalian Air. Yang berjiwa jernih. Yang sekarang tak pula berarti ada di depan, atau memeluk erat, atau pun merindukanmu.
“Airi?” Sebuah bayangan tipis, halus, dan lembut berlalu dari hadapanmu. Kau dengar sesaat lalu ia meletakkan harapan kepadamu agar orang-orang tak lupa pada badai raksasa. Kau ingat sesaat lalu pula ia tak begitu saja membawa-serta dirimu bersamanya ke atas bukit … demi apa.