Mantan

Bentang Pustaka
Chapter #3

Part 3: Mendadak Horor

“Perhatian itu memang bisa datang dari siapa pun.

Akan tetapi, kalau diperhatikan orang yang masih disayang itu beda.”

Tidak ada hal yang lebih buruk dalam hidup Fara daripada hari Senin. Hari ini adalah hari pertama ia akan bertatap muka langsung dengan Aga. Jangan ditanya bagaimana perasaan Fara! Sudah pasti gugup, grogi, dan sedikit panik. Dengan status yang berbeda, pasti akan menimbulkan kecanggungan yang luar biasa, bukan?

Tak hanya itu, Fara malah merasa takut. Bertatap muka dengan mantan terasa lebih mencekam dibandingkan dengan duduk sendirian di kuburan. Aroma mantan yang dulunya wangi, kini berganti menjadi aroma kembang khas kuburan. Keringat dingin mulai menghiasi wajah Fara. Jantungnya benar-benar berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia belum siap untuk bertemu dengan Aga atau teman-teman yang lainnya. Jomlo.

Langkah Fara terhenti di ambang pintu. Kelasnya masih kosong, belum ada seorang pun di sana. Fara menilik jam tangan putih yang ia kenakan. Ia mendelik saking kagetnya saat melihat jam di pergelangan tangannya baru menunjukkan pukul 06.10. Demi apa Fara sudah berangkat jam segini? Ini jelas bukan kebiasaannya. Apakah jomlo telah memengaruhi dirinya?

“Gila! Pantesan sepi, baru jam segini,” gerutu Fara.

Mata Fara kembali memandang ke arah jam tangannya. Ia baru ingat jika itu adalah jam tangan yang dibelikan oleh Aga saat mereka mengunjungi pasar malam beberapa bulan yang lalu. Fara masih mengingatnya dengan jelas. Menurut Aga, jam tangan itu sangat cocok di pergelangan tangan kiri Fara. Warna dan gambarnya juga sangat lucu, selucu Fara. Itu kata Aga dulu.

“Kenapa semua hal harus berkaitan dengan mantan?” omel Fara yang mulai kesal sendiri. Ia mengacak rambutnya dengan frustrasi.

Fara buru-buru melepas jam tangannya sebelum Aga melihat Fara masih memakai barang pemberiannya itu. Bisa-bisa Aga semakin kepedean. Ia harus bisa menunjukkan kepada Aga, dan kepada semua warga Negara Indonesia, jika seorang Fara berhasil move on dalam waktu singkat.

“Kenapa dilepas? Bukannya lo suka sama jam itu?”

Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Fara, membuat jam tangan yang baru dilepas dari pergelangan tangannya itu jatuh ke lantai.

Terciduklah Fara. Jangan tanya bagaimana reaksi Fara saat itu! Fara menoleh ke kanan dan melihat Aga berdiri bersandar di dinding, melipat tangannya di dada, dan menatap lekat ke arah Fara. Bibirnya menyunggingkan senyum miring yang membuat hati Fara goyah. Ketampanan Aga masih mampu membuat Fara kagum walaupun cowok itu sudah jadi mantannya.

Aga membungkukkan badan untuk memungut jam tangan putih yang tadi jatuh. Fara masih diam layaknya patung. Lidahnya terasa kelu tak bisa mengucapkan kata-kata. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan pada saat ia ingin berlari menghindari Aga. Aga meraih tangan kiri Fara dengan lembut. Sentuhan Aga di tangan kiri Fara berhasil membuat Fara menegang hebat.

Aga memakaikan kembali jam tangan putih itu di pergelangan tangan kiri Fara tanpa meminta persetujuan dari Fara. Fara tak berkedip sedikit pun saat menatap Aga.

“A-Aga,” ucap Fara dengan terbata. Rasanya bibir Fara sulit sekali untuk mengucapkan nama Aga dengan lancar.

Aga menatap ke arah Fara dengan alis yang naik sebelah. “Iya, kenapa, Sayang? Eh, salah, maksudnya Fara. Maafin bibir yang terbiasa panggil ‘Sayang’ ini, ya,” kata Aga, santai.

Fara menggeleng cepat saat matanya bertemu dengan mata Aga. Ia tidak kuat berada dalam posisi seperti ini.

“Tangan lo dingin, Far. Lo kedinginan?”

“Eh, ng-nggak ….”

Aga terkekeh geli melihat Fara salah tingkah. Menurut Aga, tingkah Fara yang seperti itu membuatnya terlihat menggemaskan. Tangan kanan Aga terulur untuk mengusap puncak kepala Fara dengan lembut.

“Biasa aja, Far. Lo kok salting sendiri, sih? Masih belum move on juga? Katanya lagi deket sama Reza,” goda Aga.

Move on nggak semudah yang lo pikir, Ga! Apalagi kalau lo baperin mulu! teriak Fara di dalam hati. Rasanya, Fara ingin sekali mencakar-cakar wajah Aga sampai kegantengannya hilang. Wajah yang tersenyum dengan tampang tak berdosa, seolah tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. Aga benar-benar membuat Fara geram sendiri.

“Lo tumben udah berangkat?” tanya Fara, mengalihkan pembicaraan. Ia tidak suka pembicaraan Aga.

Aga memasukkan kedua tangannya ke saku jaket hoodie abu-abu yang ia kenakan.

“Ada urusan sama anak OSIS, jadi harus berangkat pagi,” jawab Aga, setengah berbohong. Sebenarnya, Aga sendiri tidak tahu kenapa ia bisa berangkat sepagi ini, mengingat biasanya ia selalu sampai di sekolah pada detik-detik menjelang bel tanda mulai pelajaran berbunyi.

Fara menganggukkan kepala, ia percaya saja dengan apa yang Aga ucapkan karena, toh, Aga memang Ketua OSIS.

“Terus, lo ngapain berangkat sepagi ini? Bukan Fara banget kalau berangkatnya pagi. Jomlo bikin banyak perubahan rupanya,” ejek Aga.

Fara tentu kesal mendengarnya. Apa Aga tidak ada cermin di rumah? Bukannya Aga juga seorang jomlo?

Fara mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Aga.

“Bukan urusan lo! Mau gue berangkat pagi kek, siang kek, atau nggak berangkat sekalipun,” jawab Fara, ketus, lalu melenggang meninggalkan Aga yang masih bersandar di dinding sambil tersenyum miring menatap Fara.

“Fara!” seru Aga untuk menghentikan langkah Fara. Fara berhenti dan membalikkan badan, menatap Aga dari jarak yang tidak terlalu jauh.

“Apaan? Nggak usah caper pake manggil-manggil segala,” omel Fara.

Lihat selengkapnya