Rayhan dan Mike ada dalam satu mobil yang dikendarai oleh sopir pribadi Mike. Keduanya dalam perjalanan menuju ke rumah. Di sepanjang perjalanan, Mike tidak ada henti-hentinya menerima telepon dari semua pacar-pacarnya silih berganti.
Sementara Rayhan terlihat sibuk menatap ke luar jendela mengamati gedung-gedung tinggi yang mereka lewati sepanjang perjalanan. Di kejauhan dia juga melihat puncak Monas yang terlihat kecil karena jauhnya jarak pandang.
Rayhan tersenyum tipis. Akhirnya aku bisa pulang ke Indonesia setelah sekian lama.
"Iya, iya, nanti aku hubungi lagi. Sekarang aku lagi banyak kerjaan, nih. Aku selesein kerjaan aku dulu baru setelah itu kita ngobrol lagi. Oke? Daaa ...." Mike akhirnya melepas baterai ponselnya sambil ngedumel sendirian. "Dasar cewek. Kalau ada maunya aja, nggak bisa dikasih janji. Maunya yang cepet-cepet aja. Heran gue?"
"Emang tahun ini ada berapa cewek yang kamu pacarin?" tanya Rayhan. Rupanya topik tentang Mike dan pacarnya berhasil mengalihkan perhatian Rayhan dari gedung-gedung tinggi yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya.
"Ada banyak. Aku aja sampe lupa siapa aja nama mereka," jawab Mike tanpa rasa bersalah. "Hari ini juga, aku terpaksa batalin janji sama Nindy cuma buat jemput kamu ke bandara."
Rayhan tertawa geli melihat tingkah kakak sepupunya yang memang tidak berubah sama sekali dari dulu. "Umur udah 30 tahun, masih aja doyan gonta-ganti pacar."
"Ini namanya seleksi, Ray." Mike membela dirinya.
"Ya, ya."
"Oh iya, belakangan ini kenapa kamu nggak jawab telepon aku? Kamu juga nggak bales chat, nggak bales email, nggak online, dan lain-lain?" Mike menyerbu Rayhan dengan berbagai pertanyaan. "Emangnya ke mana aja kamu? Apa yang kamu lakukan di New York? Semua cewek aja nggak ada yang nggak angkat telepon dari aku, nah kamu pacar juga bukan tapi sok-sok nyuekin aku?"
"Aku sibuk. Soalnya kan aku harus nyelesein tugas-tugas aku di perusahaan sebelum aku balik ke sini. Ya maklum aja," ujar Rayhan sok sibuk.
Mike mendengkus. "Dasar. Tapi dari yang aku denger dari om Vicko, kamu dapet kerjaan baru di Jakarta, ya? Perusahaan yang mana? Perusahaan apa?"
"Emang kapan kamu ngobrol sama bokap?"
"Kemarin. Emang kamu pikir siapa yang nyuruh aku buat jemput kamu kalau bukan om Vicko?"
Rayhan melipat kedua tangannya di belakang kepala dan bersandar di kursi mobil yang empuk. "Iya. Aku dapat rekomendasi langsung dari owner perusahaan di Jakarta, buat gantiin posisi dia jadi CEO. Dan ternyata si owner ini---pak Carlo---dia juga punya perusahaan lain di Amerika. Dia milih buat pindah ke sana dan fokus ngurus perusahaan yang di New York."
Mike hanya mengangguk-angguk dan berperan sebagai pendengar.
"Mulanya aku sih, ragu-ragu apalagi harus balik ke Jakarta dan ngurus perusahaan itu. Kerjaan aku di New York udah klop banget dan aku ngerasa cocok. Sayang kalau aku harus tinggalin gitu aja. Tapi setelah aku lihat berkas-berkas perusahaannya pak Carlo, kayaknya nggak ada ruginya buat aku."
"Jadi intinya, kamu balik ke Jakarta setelah seabad lamanya di New York, karena kerjaan baru kamu yang bagus apa karena ada alasan lain?" Mike mengajukan pertanyaan yang lebih tepatnya sedang menyelidiki.
Rayhan menatap Mike bingung. Bukan bingung mau menjawab apa, tapi bingung kenapa pria playboy itu bisa mengajukan pertanyaan seperti itu padanya? Tentunya dia tidak pernah berharap akan mendapat pertanyaan serupa, apalagi dari Mike---orang yang tahu dirinya luar dalam.
"Maksud kamu, kamu berharap aku jawab kalau alasan aku balik ke Indonesia karena aku kangen sama kamu? Jangan ngimpi."