Judul : Retak di Tengah Bahagia
Penulis : Rana Kurniawan
Hubungan Rana dan Een berjalan tanpa banyak rencana.
Mereka tak pernah menghitung berapa lama sudah bersama, tak pernah membicarakan tanggal jadian, tak butuh perayaan.
Yang mereka punya hanyalah kebiasaan — saling menunggu, saling menjemput, saling merindu.
Namun seperti semua hal yang indah, tak ada yang tahu kapan kebiasaan itu mulai terasa berbeda.
Sudah beberapa hari, Een tidak datang ke tempat janjian.
Pesannya mulai jarang masuk, bahkan kalaupun membalas, hanya singkat dan datar.
Biasanya, setiap pagi Rana menerima pesan sederhana:
“Udah bangun, Na?”
Sekarang pesan itu tak ada lagi.
Awalnya Rana mencoba mengerti.
Mungkin Een sibuk di rumah.
Mungkin sedang ada urusan keluarga.
Tapi makin lama, diamnya terasa seperti jarak yang tak kasat mata — dingin, tapi menyakitkan.
Penantian di Pertigaan
Sore itu, Rana tetap datang ke tempat biasa, pertigaan pohon waru yang menjadi saksi ribuan tawa mereka.
Angin berhembus lembut, langit mulai jingga.
Ia duduk di atas batu besar, menatap jalan kecil yang mengarah ke Ciburayut.
Sudah tiga puluh menit, tak ada tanda-tanda Een akan datang.
Motor-motor warga lewat satu per satu, menimbulkan debu yang menempel di celananya.
Ia tetap menunggu.
Setiap kali suara langkah terdengar, hatinya berdebar — tapi bukan Een yang muncul.
Matahari pelan-pelan tenggelam, menyisakan cahaya oranye yang makin redup.
Rana menarik napas panjang.
Entah kenapa, sore itu terasa lebih sepi dari biasanya.
Ia menunduk, menatap tanah, dan dalam hati berkata pelan,
“Mungkin dia bener-bener nggak bakal datang.”