Judul : Luka Yang Kembali Terbuka
Penulis : Rana Kurniawan
Hari-hari berlalu tanpa senyum di wajah Alya.
Ia tetap mengajar, tetap datang ke sekolah, tapi sorot matanya tak lagi sehangat dulu.
Anak-anak yang biasanya ia sambut dengan tawa, kini hanya mendapat senyum tipis yang dipaksakan.
Di ruang guru, bisik-bisik masih terdengar setiap kali ia lewat.
“Itu loh, yang katanya pacaran sama tukang bengkel…”
“Iya, katanya dulu pernah ditinggal calon suaminya, makanya sekarang gampang jatuh cinta.”
Alya berpura-pura tak dengar, tapi setiap kata itu menancap di hatinya.
Dan setiap sore, ketika ia pulang dan melewati bengkel Rana, hatinya seperti berperang — antara ingin mampir atau menahan diri agar tidak makin memperkeruh keadaan.
Surat Panggilan
Sore itu, kepala sekolah memanggilnya ke ruang kantor.
Di atas meja, ada selembar kertas bertuliskan “Surat Teguran.”
“Bu Alya, mohon maaf, tapi kami harus menindaklanjuti laporan warga,” ucap kepala sekolah dengan nada hati-hati.
“Tapi, Pak… saya tidak melakukan hal yang memalukan,” jawab Alya, suaranya bergetar.
“Saya tahu. Tapi foto itu sudah tersebar. Sekolah harus menjaga nama baik. Kami hanya minta Ibu menandatangani surat pernyataan untuk sementara tidak berhubungan dengan warga pria bernama Rana Kurniawan selama proses klarifikasi.”
Alya menunduk, matanya mulai basah.
Dalam hati ia tahu — bukan sekolah yang kejam, tapi dunia yang mudah menilai hanya dari potongan gambar tanpa tahu kisah di baliknya.
“Baik, Pak…” katanya pelan sambil menandatangani surat itu.
Begitu keluar dari ruangan, langkahnya gontai.
Langit sore tampak kelabu, seolah ikut menahan air mata bersamanya.
Rana yang Tak Tenang
Di bengkel, Rana sudah mendengar kabar itu dari Doni.
Ia melempar kunci pas ke meja, napasnya berat.
“Mereka keterlaluan, Don. Hanya karena foto pelukan, Alya dihukum. Padahal aku cuma nenangin dia.”
“Gue tahu, Ran. Tapi lo juga harus hati-hati. Orang kampung cepat banget percaya gosip.”