Judul : Saat Kisah Kita Jadi Tulisan
Penulis : Rana Kurniawan
Malam itu, setelah sekian lama terjebak dalam kenangan, Rana menatap layar laptop tuanya.
Kursor di halaman kosong berkedip pelan — seolah menantang, seolah berkata, “Ayo, tulis semuanya.”
Di luar, hujan kembali turun. Anginnya membawa aroma tanah basah dan dingin yang menembus jendela.
Namun di dada Rana, ada sesuatu yang mulai menghangat: keberanian untuk menuliskan kisah yang dulu ia sembunyikan.
Tangannya gemetar saat menekan huruf pertama.
Kata demi kata mengalir — bukan sebagai kenangan, tapi sebagai kisah yang ingin ia lepaskan.
Ia menulis tentang dirinya, tentang Een, tentang jalan antara Kadubana dan Ciburayut yang dulu jadi saksi cinta mereka.
Ia menulis tentang tawa, tangis, rindu, dan penyesalan.
Semua yang tak pernah sempat ia ucapkan, kini tertulis di layar.
“Cinta bukan tentang siapa yang memiliki,” tulisnya,
“tapi tentang siapa yang tetap mendoakan, bahkan setelah kehilangan.”
Menulis untuk Sembuh
Setiap malam, Rana menulis sampai larut.
Ia seolah berbicara dengan Een lewat tulisan.
Ada rasa sakit di setiap kalimatnya, tapi juga kelegaan.
Kadang ia berhenti dan termenung lama, mengingat wajah Een, lalu tersenyum kecil.
Tulisan itu awalnya hanya untuk dirinya sendiri — sebuah pelarian dari luka.
Tapi semakin lama, Rana merasa kisah itu harus dibagikan.
Mungkin, ada orang lain di luar sana yang juga sedang belajar melupakan dengan cara yang sama.